Nasional BANJIR SUMATRA

Aksi Kamisan Ke-891, Mahasiswa Asal Mandailing Natal Soroti Banjir Sumatra dan Minimnya Perhatian Negara

NU Online  ·  Kamis, 18 Desember 2025 | 22:00 WIB

Aksi Kamisan Ke-891, Mahasiswa Asal Mandailing Natal Soroti Banjir Sumatra dan Minimnya Perhatian Negara

Mahasiswa UPNVJ asal Mandailing Natal, Sumatra Utara, Rafi, saat berorasi dalam Aksi Kamisan Ke-891 yang digelar di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Mahasiswa UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) asal Mandailing Natal, Sumatra Utara, Rafi, menyuarakan kondisi krisis kemanusiaan yang dinilai belum tertangani secara serius oleh negara, khususnya pascabencana banjir bandang di Mandailing Natal.


Hal itu disampaikan Rafi berorasi dalam Aksi Kamisan Ke-891 yang digelar di depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025).


Rafi menegaskan bahwa situasi di Sumatra, terutama di wilayah terdampak bencana, masih jauh dari kata membaik. Ia mengkritik narasi pemerintah yang menyebut kondisi sudah pulih, mulai dari listrik hingga distribusi bantuan.


“Per hari ini kondisi di Sumatra belum membaik sama sekali. Yang dibenturkan ke publik itu seolah semuanya sudah normal. Saya tidak tahu Presiden dibohongi atau dibodohi oleh aparatur di bawahnya, termasuk kepala daerah,” ujar Rafi dalam orasinya.


Ia menyebut praktik politik asal bapak senang (ABS) masih sangat kuat, terutama ketika pejabat pusat melakukan kunjungan ke daerah. Menurutnya, kondisi lapangan kerap dipoles agar tampak baik-baik saja, sementara penderitaan warga di akar rumput diabaikan.


Rafi mengungkapkan bahwa di Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, terdapat desa yang hingga hari ke-14 pascabencana belum menerima bantuan apa pun. Bahkan pada hari ke-15, bantuan yang diterima warga hanya satu kaleng ikan untuk setiap keluarga.


“Satu ikan kaleng per rumah. Itu mau dibagi berapa ke anggota keluarganya?” katanya.


Di tengah situasi darurat tersebut, Rafi juga menyoroti maraknya praktik mafia tanah yang memanfaatkan kondisi bencana. Ia menilai longsor dan banjir justru dijadikan celah untuk memperluas kepentingan industri ekstraktif.


“Sawah-sawah keluarga kami tertimbun longsor, di situlah mafia tanah bergerak memperjuangkan hak guna usaha tambang,” ujarnya.


Ia menambahkan, banjir bandang di Mandailing Natal minim sorotan media nasional, seolah wilayah tersebut hanya titik kecil di peta. Padahal, berdasarkan data lapangan dan hasil overlay peta, banjir terjadi di wilayah yang sarat dengan izin industri.


“Hampir seluruh wilayah Madina dipagari blok-blok tambang emas dan tembaga. Banjir tidak datang ke wilayah kosong,” tegasnya.


Menurut Rafi, masyarakat Mandailing Natal, Sumatera Utara, Sumatra Barat, hingga Aceh kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Negara, kata dia, lebih berfokus pada eksploitasi sumber daya alam seperti tambang dan geothermal, sementara masyarakat lokal menanggung dampak sosial dan ekologisnya.


Dalam orasi tersebut, Rafi juga mengapresiasi solidaritas warga, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Ia menyebut banyak mahasiswa perantauan Mandailing Natal yang bertahan hidup berkat kepedulian masyarakat.


“Hanya dengan modal Kartu Tanda Mahasiswa, kami bisa makan gratis di warteg-warteg kecil. Ini bukan MBG, tapi murni solidaritas warga karena kami tidak mendapat kiriman dari keluarga,” tuturnya.


“Benar artinya warga jaga warga,” tambahnya.


Rafi mengajak peserta aksi untuk terus bersuara dan tidak melupakan perjuangan korban pelanggaran HAM dan bencana kemanusiaan. Menurutnya, Aksi Kamisan menjadi pengingat bahwa keadilan tidak boleh sunyi.


“Hari ini kita patut bertanya, negara ini berdiri untuk siapa? Sumatra hari ini hanya punya satu hal, yaitu sesama warga yang saling menjaga. Maka tugas kita jelas bersuara lebih lantang, lebih berisik, menolak lupa, dan menuntut hak-hak keadilan,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang