Aksi Kamisan Ke-891 Soroti Manipulasi Sejarah, Kekerasan Negara, dan Paradoks Indonesia
NU Online · Kamis, 18 Desember 2025 | 21:15 WIB
Peneliti BRIN 1980-2017 Riwanto Tritosudarmo saat menyampaikan kuliah umum dalam Aksi Kamisan Ke-891 dengan tema Hentikan Manipulasi Sejarah, Adili Pelaku Pelanggaran Berat HAM di Pengadilan digelar di Depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Aksi Kamisan Ke-891 dengan tema Hentikan Manipulasi Sejarah, Adili Pelaku Pelanggaran Berat HAM di Pengadilan digelar di Depan Istana Merdeka, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025).
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) periode 1980-2017 Riwanto Tritosudarmo menyampaikan kuliah umum yang menyoroti akar kekerasan dalam sejarah Indonesia. Ia meyakini bahwa peristiwa 1965 menjadi titik penting, bahkan krusial, dalam memahami sesuatu yang ia sebut sebagai Paradoks Indonesia.
“Saya yakin bahwa Paradoks Indonesia ini dimulai pada tahun 1965. Peristiwa 1965 adalah titik penting, kalau bukan yang terpenting, dalam sejarah Indonesia,” ujar Riwanto.
Menurutnya, sejarah kekerasan yang menyertai peristiwa tersebut tidak mungkin selamanya dikuburkan. Ia optimistis bahwa masyarakat Indonesia akan semakin kritis dan mampu membuka simpul-simpul sejarah kelam bangsa.
“Simpul 1965 harus dibuka terlebih dahulu sebelum kita membuka simpul-simpul lain, seperti Peristiwa Semanggi dan peristiwa pelanggaran HAM lainnya,” katanya.
Riwanto juga berbagi pengalamannya saat berada di Dili, Timor Leste, sekitar sepuluh hari sebelumnya. Ia mengingatkan kembali invasi militer Indonesia ke Timor Timur pada 7 Desember 1975, yang berujung pada referendum 1999, ketika hampir 80 persen rakyat Timor Leste memilih merdeka.
Dalam pemaparannya, Riwanto menegaskan sikap penolakannya terhadap kekerasan dalam bentuk apa pun. Ia menyebut kekerasan sebagai ekspresi buruk dan sisi gelap kemanusiaan, yang menjadi kejahatan serius ketika dilakukan atas nama negara.
“Monopoli penggunaan kekerasan oleh negara dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar adalah tanda kehidupan bernegara yang belum beradab,” tegasnya.
Riwanto juga menegaskan bahwa dengan terus berlangsungnya Aksi Kamisan hingga ratusan kali menunjukkan bahwa negara belum memenuhi tuntutan keadilan dan pertanggungjawaban atas kekerasan yang pernah dilakukan. Ketidakpedulian negara, menurutnya, justru memperpanjang daftar korban kekerasan negara dari waktu ke waktu.
Dalam kesempatan ini, Riwanto menyinggung rencana Presiden Prabowo Subianto terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit dan sawah di Papua. Ia mengkritik kebijakan tersebut dengan mengaitkannya pada bencana ekologis yang tengah melanda Sumatera akibat pembabatan hutan untuk kepentingan proyek, baik legal maupun ilegal.
“Ini menunjukkan sikap yang tidak mau melihat kenyataan bahwa kerusakan lingkungan dan kekerasan struktural saling berkaitan,” ujarnya.
“Mengapa kekerasan justru diangkat menjadi public virtue atau kebajikan publik di negeri ini? Kapan dan mengapa hal itu dijadikan sebuah pilihan? Inilah yang saya sebut sebagai Paradoks Indonesia Yang harus saya pecahkan, dan juga mesti dijawab oleh orang Indonesia sendiri,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Gus Yahya Berangkatkan Tim NU Peduli ke Sumatra untuk Bantu Warga Terdampak Bencana
2
Kiai Miftach Moratorium Digdaya Persuratan, Gus Yahya Terbitkan Surat Sanggahan
3
Kronologi Persoalan di PBNU (7): Kelompok Sultan dan Kramat Saling Klaim Keabsahan
4
Majelis Tahkim Khusus, Solusi Memecahkan Sengketa untuk Persoalan di PBNU
5
Khutbah Jumat: Ketika Amanah Diberikan kepada yang Bukan Ahlinya
6
Penembakan Massal Terjadi di Australia, Seorang Muslim Berhasil Lucuti Pelaku Bersenjata
Terkini
Lihat Semua