Alissa Wahid Jelaskan Demokrasi ala Gus Dur: Jadi Ruang untuk Perjuangkan Kemaslahatan
Senin, 27 November 2023 | 12:00 WIB
Alissa Wahid saat menyampaikan Orasi Demokrasi dalam Festival 4 Peace yang menjadi rangkaian dari agenda Rakernas Gusdurian di Wisma Hijau, Depok, Jawa Barat, pada Ahad (26/11/2023). (Foto: NU Online/Suwitno)
Malik Ibnu Zaman
Penulis
Depok, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh (Alissa Wahid) menekankan pentingnya mengembalikan esensi demokrasi sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Ia lalu menjelaskan demokrasi ala Presiden Ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bagi Gus Dur, demokrasi bukan sekadar alat untuk memperoleh kekuasaan tetapi justru menjadi ruang untuk memperjuangkan kemaslahatan bangsa.
Alissa menuturkan bahwa Gus Dur di dalam banyak kesempatan selalu mengutip satu kaidah yang sangat terkenal di kalangan pesantren. Kaidah itu berbunyi, tasharruful imam ala ra’iyah manutun bil maslahah.
“Artinya, kebijaksanaan dan keputusan setiap pemimpin seharusnya adalah untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk memproduksi kekuasaan, bukan untuk memusatkan kekuasaan, bukan untuk mengambil sumber daya Indonesia untuk kepentingannya, keluarganya, dan kelompoknya,” terang Alissa saat menyampaikan Orasi Demokrasi dalam Festival 4 Peace yang menjadi rangkaian dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Jaringan Gusdurian di Wisma Hijau, Depok, Jawa Barat, pada Ahad (26/11/2023).
Alissa menjelaskan bahwa demokrasi diperjuangkan oleh Gus Dur saat konsep ‘demokrasi’ itu sendiri masih asing di Indonesia. Gus Dur kemudian mengajak rakyat Indonesia untuk bergerak bersama, lalu menekankan pentingnya setia pada nilai-nilai dasar demokrasi tanpa memandang konsekuensinya.
Sebagai contoh, Alissa menyebut peran Gus Dur dalam memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua. Saat menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur berperan menjaga keberlanjutan Papua sebagai bagian integral dari Indonesia dengan mendengarkan dan memahami kebutuhan setiap daerah tanpa mengorbankan persatuan bangsa.
Gus Dur juga berkontribusi terhadap kebebasan bagi masyarakat Tionghoa. Gus Dur mencabut aturan yang menghambat masyarakat Tionghoa untuk merayakan hari raya keagamannya. Hal itu dilakukan karena Gus Dur berkeyakinan bahwa demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara tanpa memandang latar belakang apa pun.
“Mudah bagi pemimpin untuk mengambil keputusan kalau dia bersandar pada kemaslahatan rakyat sebagai ujungnya. Makanya ketika beliau (Gus Dur) kalah dalam kontestasi politik dan harus meninggalkan istana, bagi beliau mudah sekali, beliau menyampaikan bahwa tidak ada satu jabatan pun yang layak dipertahankan dengan darah rakyat,” terangnya.
Relevansi Gus Dur
Pada 2022 silam, lanjut Alissa, Gus Dur pernah menulis bahwa kehidupan bangsa saat ini hanya dipenuhi oleh kegiatan mempertahankan kekuasaan, bukan justru untuk mencapai kepemimpinan bangsa yang diharapkan. Bahkan, kekuasan disamakan dengan kepemimpinan dan kekuasan tidak lagi mengindahkan aspek moral.
Menurut Alissa, tulisan Gus Dur itu masih relevan hingga saat ini. Ia menggambarkan bahwa untuk mendapatkan kekuasaan, seringkali dilakukan mengubah keberagaman dan perbedaan menjadi sumber kebencian. Sentimen antarkelompok yang awalnya biasa-biasa saja dapat dipelintir menjadi kebencian saat bertarung untuk kekuasaan.
“Itu yang kita lawan dengan semangat pemilu damai, adil, jujur, dan bermartabat,” ucap putri sulung Gus Dur ini.
Menurut Alissa, Jaringan Gusdurian sangat beruntung karena memiliki teladan seorang Gus Dur yang sangat idealis. Ketika ditempatkan pada posisi tarik-menarik kepentingan, Gusdurian selalu memiliki panduan berupa nilai-nilai Gus Dur yang harus diperjuangkan. Ia pun mengingatkan, saat ini Indonesia sedang berada di persimpangan, karena masa depan Indonesia ditentukan beberapa bulan ke depan.
“Apakah kita bisa menjaga cita-cita kita bersama sebagai sebuah bangsa? Apakah kita akan berhadapan dengan situasi -situasi di mana nanti kita harus bekerja keras? Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada satu atau dua orang saja, tidak kepada KPU, tidak kepada Bawaslu, tidak kepada Kemendagri, tidak kepada Presiden, tidak kepada wakil presiden, tidak kepada parlemen. Tetapi demokrasi adalah milik rakyat Indonesia, demokrasi adalah hak rakyat Indonesia, hak untuk menentukan nasibnya ke depan,” tegasnya.
Alissa kemudian menyampaikan esensi menjadi Gusdurian, yakni sebuah identitas yang tidak sekadar mengagumi sosok Gus Dur tetapi menjadi agen perubahan yang bergerak demi cita-cita, bukan demi kekuasaan semata. Ia menekankan bahwa menjadi seorang Gusdurian adalah komitmen untuk terus berkembang, belajar, dan berjuang demi tujuan besar.
“Mari bangun bangsa dan hindarkan dari pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah tugas kesejarahan kita yang tidak boleh kita lupakan. Sebab yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, mari kita bergerak, Gus Dur telah meneladankan saatnya kita melanjutkan,” pungkas Alissa.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua