Buku 'Negara Rasional' tentang Pemikiran Ibnu Khaldun Dibedah Puslitbang Kemenag
Senin, 30 Agustus 2021 | 10:30 WIB
Dr KH Abdul Aziz selaku penulis sedang memaparkan buku Negara Rasional: Warisan Pemikiran Ibnu Khaldun di hotel Sari Pan Pacific, Senin (30/8/2021). (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)
Ali Musthofa Asrori
Kontributor
Jakarta, NU Online
Buku Negara Rasional: Warisan Pemikiran Ibnu Khaldun karya Dr Abdul Aziz dibedah Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (BALK) Balitbang Diklat Kemenag di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Senin (30/8/2021). Abdul Aziz merupakan peneliti produktif Puslitbang BALK pada zamannya sekaligus organisatoris andal.
Kepala Puslitbang BALK Balitbang Diklat Kemenag, Prof M Adlin Sila, dalam sambutannya menyampaikan selamat sekaligus mengapresiasi karya seniornya tersebut. Pasalnya, di usia beliau yang tak lagi muda masih terus berkarya.
“Selamat untuk Pak Aziz. Saya berharap, karya monumental ini bermanfaat dan memantik diskusi yang menarik di kalangan akademisi,” ujar pria asal Makassar Sulawesi Selatan ini.
Dalam paparannya, Abdul Aziz mengatakan bahwa buku tersebut berisi tentang rekonstruksi konsep negara (daulah) menurut Ibnu Khaldun, dalam kerangka ilm al- Umran (llmu Budaya/Peradaban). Konsepnya dari badawah (budaya dusun/gurun) menuju hadlarah (budaya kota/peradaban).
“Selain itu, konsepnya dari ashabiyyah (kohesi sosial) menuju daulah (al-mulk al-tam), sebagai proses dinamis dalam garis badawah–hadharah. Nah, hadharah ini bisa dipahami sebagai al-Tafannun fi al-Taraf atau proses penghalusan kemewahan dan segala ikutannya,” papar Kiai Aziz.
Menurut dia, tiap grup manusia secara alamiah memerlukan ashabiyyah, yaitu kohesi sosial berbasis keluarga atau seketurunan, persekutuan, klien, dan kepentingan. Tujuan pokok ashabiyyah adalah al-Mulk (kekuasaan). Adapun watak dasarnya yaitu pemaksaan dan penaklukan.
“Kelompok dengan ashabiyyah yang kuat çenderung menghegemoni kelompok ashabiyyah yang lemah. Akumulasi ini menjadi basis negara,” terang Kiai Aziz, sapaan akrabnya.
Ketua PBNU periode 2004-2010 ini mengatakan, kekuasaan terdiri atas dua jenis. Pertama, al-mulk al-thabi'i (kekuasaan natural) yang cenderung gagal jadi negara. Kedua, al-mulk al-siyasi (kekuasaan yang telah mengalami adaptasi, penyiasatan, rekayasa).
“Nah, al-Mulk al-Siyasi memiliki wazi' (otoritas pengendali) agar kekuasaan dan negara mampu meniti proses peradaban,” ungkap pria kelahiran Cianjur Jawa Barat, 24 September 1954 ini.
Kiai Aziz menambahkan, al-mulk al-siyasi (kekuasaan politik) terbagi dua. Pertama, kekuasaan yang mengalami adaptasi, penyiasatan, rekayasa berbasis agama atau syariat Islam disebut al-siyasah al-diniyyah (sistem politik keagamaan/khilafah). Beserta semua mukjizat dan ashabiyyah-nya, yakni Arab Quraisy.
“Kedua, kekuasaan yang mengalami adaptasi, penyiasatan, rekayasa berbasis pertimbangan rasional, termasuk pemikiran keagamaan, disebut al-Siyasah al-Aqliyyah (sistem politik rasional). Ashabiyyah-nya: Berber, Furs, Turk,” sambungnya.
Bedah buku ini menghadirkan dua narasumber,yakni Prof Fachry Ali (Peneliti senior LP3ES) dan Prof Ali Munhanif (Guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Bedah buku tersebut digelar secara luring dengan peserta terbatas dan daring di Zoom Meeting yang dihadiri ratusan warganet dari berbagai daerah di Indonesia.
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua