Achmad Risky Arwani Maulidi
Kontributor
Jakarta, NU Online
Humanitarian Islam adalah gerakan kemanusiaan yang bertumpu pada nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Gerakan itu bermula di antaranya ketika Gus Dur menjelaskan pemikirannya tentang hubungan hukum Islam dan konstitusi negara.
Hal itu diterangkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf pada Konferensi Humanitarian Islam di Hotel Grand Hyatt Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Pada akhir dekade delapan puluhan, Gus Dur menilai ada perbedaan fundamental antara hukum Islam dan konstitusi negara. Alih-alih mencari pertentangan keduanya, Gus Dur justru memilih mempertahankan fungsi saling melengkapi antara keduanya.
“Perbedaan antara syariah dan konstitusi biarkanlah terbuka, karena ada hal-hal yang memang harus diselesaikan,” kata Gus Yahya mengutip Gus Dur.
Hal itu berbeda dengan kalangan tekstualis. Mereka memandang perbedaan antara kedua hal itu dengan mata konfrontatif. Golongan ini akhirnya terjebak pada tindakan terorisme dan radikalisme global. Hal itu karena sistem demokrasi dan negara bangsa dianggap bukan bagian dari khilafah islamiyah.
Selanjutnya, gerakan Humanitarian Islam didorong oleh adanya persoalan umat Islam yang muncul berkaitan dengan umat non Islam. Gus Yahya mencontohkannya dengan bagaimana status hukum Islam jika berjihad dan bekerja sama dengan non-Muslim dalam bernegara.
“Humanitarian Islam itu intinya membahas status non muslim dan konsekuensi hukumnya,” tegas Gus Yahya.
Kemudian tindakan ekstremisme dan terorisme kelompok ISIS, di dalam fiqih mendapatkan status legitimasinya. Status tindakan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada Imam, bisa berstatus tawanan dan budak. Sejak saat ini, Islam seolah bermasalah sehingga tidak hanya mawas diri tetapi menentukan posisi di tengah konflik yang terjadi.
Sementara itu, Peneliti asal German Prof Mirjam Kunkler mengungkapkan bahwa ada sejumlah faktor yang mengantarkan humanitarian Islam terus berkembang. Kunkler mengatakan ada sinergi antara pemikir dengan infrastruktur.
Periset Institut Belanda itu menengahkan bagaimana pemikiran Harun Nasution tentang kebebasan manusia, yang ditopang dengan kebijakan Munawir Syadzali. Lalu pandangan Nurcholis Madjid (Cak Nur) yang didukung publikasi oleh Dawam Rahardjo dan percetakan Mizan.
Sedangkan, menurutnya, NU saat itu mengambil jarak dengan pemerintah. “NU melawan despotisme dan tirani di era Orde Baru,” ungkapnya.
Senada, Prof Greg Barton berpandangan bahwa Humanitarian Islam tidak bisa dilepaskan dari kontribusi Gus Dur, yakni keteladanan, jihad kemanusiaan, pandangan sufisme, dan intelektualisme bercorak humaniora yang dimiliki Gus Dur.
“Kesenian terutama wayang kulit dengan cerita epos mahabarata menguatkan intelektualitas humaniora Gus Dur. Lucunya, semua elemen itu, bagi Gus Dur, menjadi satu kesatuan yang harus dipelajari,” kata Greg.
Sebelumnya, Greg mengapresiasi adanya pengembangan terhadap gerakan Humanitarian Islam. Greg berkeyakinan bahwa proyek tersebut bisa mengubah tidak hanya dalam skala nasional Indonesia, melainkan dapat mengubah cara pandang dunia internasional.
Terpopuler
1
Khatib Tak Baca Shalawat pada Khutbah Kedua, Sahkah?
2
Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
3
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
4
Wacana AI untuk Anak SD, Praktisi IT dan Siber: Lebih Baik Dimulai saat SMP
5
Jalankan Arahan Prabowo, Menag akan Hemat Anggaran dengan Minimalisasi Perjalanan Dinas
6
Menag Nasaruddin Umar: Agama Terlalu Banyak Dipakai sebagai Stempel Politik
Terkini
Lihat Semua