Nasional

Hari Tani 2025, KPA Nilai Penyelenggara Negara Gagal Tunaikan Kewajiban kepada Petani hingga Masyarakat Adat

NU Online  ·  Rabu, 24 September 2025 | 10:45 WIB

Hari Tani 2025, KPA Nilai Penyelenggara Negara Gagal Tunaikan Kewajiban kepada Petani hingga Masyarakat Adat

Seorang petani di sawahnya. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Di Hari Tani 2025 yang diperingati setiap tanggal 24 September, Sekretaris Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Sartika menilai bahwa penyelenggara negara telah gagal menunaikan kewajiban kepada petani, nelayan, masyarakat adat, dan rakyat kecil lainnya. Akibat kegagalan tersebut, Indonesia terus memanen berbagai konflik agraria di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, konflik itu telah meneteskan darah dan air mata rakyat.


"Konflik agraria berupa perampasan tanah dan pengusiran rakyat dari tanah-airnya yang berlangsung di berbagai tempat menandakan adanya kejahatan agraria, mulai dari korupsi agraria dan sumber daya alam; monopoli penguasaan tanah, kebun, hutan dan tambang, pengkaplingan laut-pulau-pulau kecil, eksploitasi kekayaan alam secara membabibuta, perusakan alam dan lingkungan oleh segelintir konglomerat," jelasnya menurut keterangan yang dikutip NU Online pada Rabu (24/9/2025).


Menjadi ironi, katanya, ketika berbagai kejahatan agraria tersebut tengah berlangsung, rakyat masih harus menerima ancaman kebebasan berserikat, kriminalisasi, kekerasan POLRI-TNI dan security perusahaan, hingga kehilangan nyawa.


"Aksi demonstrasi yang terjadi adalah akumulasi kemarahan Rakyat terhadap kebijakan dan kinerja Penyelenggara Negara yang tidak pernah memihak kepada Rakyat yang memberi mandat. Sampai dengan hari ini, Presiden dan DPR RI gagal menjawab akar masalah yang menyebabkan Rakyat putus asa dan marah," ujarnya.


Belum lagi, ungkapnya, gelombang kemarahan rakyat dari pedesaan disebabkan oleh persoalan mendasar, yaitu ketimpangan penguasaan tanah dan sumber-sumber produksi yang dikuasai oleh segelintir kelompok elit ekonomi dan politik. 


"Ketimpangan tersebut telah menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin melebar antara rakyat kecil yang miskin dengan sekelompok orang super kaya dan bahkan yang menguasai politik di Indonesia," ungkapnya.


Lebih jauh, Dewi menjelaskan bahwa pada saat kehidupan semakin miskin akibat kehilangan tanah, kehilangan lapangan kerja oleh PHK massal, rakyat masih saja diperas dengan pajak yang mencekik, pencabutan subsidi, dan naiknya harga kebutuhan dasar. 


"Di tengah kepahitan ini, rakyat dipertontonkan dagelan elit politik dan orang super kaya di Indonesia yang terus saja melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kehidupan pribadi dan kelompok, tanpa peduli kepentingan Rakyat secara luas," ujarnya.


Oleh karena itu, KPA mendesak penyelenggara negara dan DPR RI untuk segera melakukan perbaikan menyeluruh di bidang agraria-sumber daya alam melalui sembilan tuntutan perbaikan berikut.


Pertama⁠, ⁠presiden dan DPR segera menjalankan reforma agraria dengan pekerjaan utama: redistribusi tanah kepada rakyat, penyelesaian konflik agraria, dan pengembangan ekonomi-sosial rakyat di kawasan produksi mereka sesuai dengan UUPA 1960; mengevaluasi kementerian dan lembaga yang tidak menjalankan, menyesatkan, dan menghambat reforma agraria; dan DPR segera membentuk pansus untuk memonitor progres pelaksanaan reforma agraria;


Kedua,⁠ ⁠presiden segera mempercepat penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah, setidaknya pada 1,76 juta hektar lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) anggota KPA, menertibkan dan mendistribusikan 7,35 juta hektar tanah terlantar serta 26,8 juta hektar tanah yang dimonopoli konglomerat, termasuk tanah masyarakat yang diklaim PTPN, Perhutani/Inhutani, klaim hutan negara pada 25 ribu desa kepada petani, buruh tani, nelayan, perempuan, serta pemulihan hak masyarakat sdat. Selanjutnya pemerintah harus menetapkan batas maksimum penguasaan tanah oleh badan usaha swasta;


Ketiga, presiden segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden demi mewujudkan mandat Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IX/2001 tentang PA-PSDA dan UUPA 1960;


Keempat, ⁠DPR dan presiden bersama-sama gerakan masyarakat sipil segera menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria sebagai panduan nasional pelaksanaan reforma agraria; mencabut UU Cipta Kerja yang melegalkan perampasan tanah dan liberalisasi pangan; dan mengembalikan arah ekonomi-politik-hukum agraria nasional kepada mandat Pasal 33 UUD 1945;


Kelima, presiden segera memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi petani, nelayan, buruh dan masyarakat miskin kota, sekaligus menjamin pemenuhan hak atas tanah bagi perempuan;


Keenam, presiden segera memerintahkan Polri-TNI untuk menghentikan represivitas di wilayah konflik agraria; membebaskan petani, masyarakat adat, perempuan, aktivis dan mahasiswa yang dikriminalisasi; sekaligus menarik TNI-Polri dari program pangan nasional; dan mengembalikan pembangunan pertanian-pangan, peternakan-pertambakan kepada petani, nelayan, dan masyarakat adat;


Ketujuh, presiden segera membekukan Bank Tanah, menghentikan penerbitan izin dan hak konsesi (moratorium) perkebunan, kehutanan, tambang (HGU, HPL, HGB, HTI, izin lokasi, IUP), proses pengadaan tanah bagi PSN, KEK, bank tanah, food estate, KSPI dan IKN yang menyebabkan munculnya konflik agraria, penggusuran, dan kerusakan alam. Selanjutnya, konsesi dan proyek pengadaan tanah yang tumpang tindih dengan tanah rakyat segera dikembalikan dalam kerangka Reforma Agraria;


Kedelapan, presiden dan DPR RI memprioritaskan APBN/APBD untuk redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pembangunan infrastruktur, teknologi, permodalan pertanian, subsidi pupuk, subsidi solar, benih, dan badan usaha milik petani-nelayan-nasyarakat adat dalam rangka reforma agraria dan pembangunan pedesaan; dan


Kesembilan, presiden harus mendukung dan membangun industrialisasi pertanian-perkebunan-perikanan-peternakan-pertambakan yang dimiliki secara gotong royong oleh petani dan nelayan dalam model ekonomi kerakyatan berbasis reforma agraria demi mempercepat pengentasan kemiskinan, kedaulatan pangan, dan terjadinya transformasi sosial di pedesaan.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang