ICJR: Budaya Tertutup dan Hierarkis Jadi Penghalang Reformasi Polri
NU Online · Selasa, 7 Oktober 2025 | 22:30 WIB
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari (Foto: tangkapan layar Youtube AJI Indonesia)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari menilai bahwa akar persoalan reformasi kepolisian bukan hanya terletak pada lemahnya regulasi atau sistem pengawasan, melainkan juga pada budaya internal Polri yang terlalu tertutup dan hierarkis.
Ia menjelaskan, kultur tersebut membuat aparat kepolisian sulit melakukan koreksi dan penegakan etik secara efektif di lingkungan sendiri.
“Di internalnya sendiri terlalu solid secara kultur, sehingga kalau mau menindak satu dengan temannya yang lain ya ada rasa nggak enak,” ujar Iftitahsari dalam Diskusi Publik AJI Indonesia bertajuk Catatan Kelam Perilaku Polisi, Menagih Reformasi Polri, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, sistem pengawasan yang ada saat ini baik melalui Kompolnas maupun pengawasan internal tidak mampu menjawab kebutuhan reformasi secara menyeluruh. Kompolnas, misalnya, hanya berfungsi sebagai dewan penasihat presiden, bukan lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menindak pelanggaran aparat.
“Ekspektasi publik terhadap Kompolnas memang nggak akan ketemu. Kompolnas itu kan cuma jadi dewan penasihat ke presiden,” terangnya.
Sementara itu, pengawasan internal Polri yang diharapkan bisa berjalan justru menghadapi persoalan struktural dan kultural yang serius.
Penelitian sejumlah lembaga masyarakat sipil, kata Iftitahsari, menunjukkan bahwa sistem pengawasan di tubuh Polri belum memiliki mekanisme yang jelas untuk membedakan pelanggaran etik, disiplin, dan pidana.
“Makanya akhirnya praktiknya, kalau sudah selesai di etik dan disiplin, kasus pidananya nggak dijalankan,” jelasnya.
Selain soal kultur, Tita menyoroti minimnya transparansi dalam pengawasan. Tidak ada laporan publik yang secara berkala menginformasikan jumlah pelanggaran, jenis sanksi, maupun proses penanganan kasus internal di kepolisian.
“Publik juga nggak tahu selama ini berapa pelanggaran etik yang terjadi, berapa yang diproses, dan bagaimana hasil penanganannya. Itu nggak ada,” tegasnya.
Ia menilai, tanpa keterbukaan data dan transparansi proses, masyarakat sulit memantau sejauh mana reformasi Polri benar-benar dijalankan. Kondisi ini pada akhirnya memperkuat persepsi publik bahwa praktik impunitas di tubuh kepolisian masih berlangsung.
“Penegakan etik akhirnya berhenti di level administratif. Fungsi pidana untuk menertibkan ketidakteraturan itu tidak berjalan,” tambahnya.
Tita menyebut bahwa lemahnya sistem pengawasan juga berakar dari minimnya pemahaman aparat tentang nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
“Paling nggak minimal itu aja, nggak semua staf Polri ngerti konsep check and balance. Bahwa mereka harus diawasin, bahwa sistem demokrasi memang begitu,” ujarnya.
Menurutnya, pengetahuan dasar tentang pentingnya pengawasan harus menjadi bagian dari pelatihan dan pembinaan di semua level kepolisian, mulai dari Polsek hingga Mabes Polri.
“Untuk pengetahuan itu aja mungkin nggak semua staf dari level Polres sampai Mabes paham. Jadi penting untuk menyadarkan itu juga, bahwa kapasitas soal demokratis di dalam sistem organisasi itu penting,” jelasnya.
Ia juga menyoroti persoalan penempatan pejabat pengawas di internal Polri yang kerap tidak berbasis meritokrasi atau kompetensi. Banyak posisi strategis diisi oleh orang yang tidak memiliki kapasitas maupun integritas yang cukup untuk menjalankan fungsi pengawasan.
“Orang-orang yang duduk di instrumen pengawasan itu harusnya memang kompeten, punya integritas, dan memahami kenapa pengawasan itu penting. Tapi mekanisme penempatan itu sendiri tidak dijalankan dengan prinsip meritokrasi,” ujarnya.
Tita menegaskan, jika Polri ingin memperkuat akuntabilitas internal, maka harus ada pembenahan besar-besaran dalam tata kelola, rekrutmen, dan pola promosi jabatan di bidang pengawasan.
“Ini bukan hanya soal struktur, tapi juga soal cara berpikir dan budaya yang harus diubah,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua