Nasional

Kasus Siswa Bunuh Diri karena Perundungan, P2G: Harus Jadi Perhatian Serius

NU Online  ·  Kamis, 6 November 2025 | 16:00 WIB

Kasus Siswa Bunuh Diri karena Perundungan, P2G: Harus Jadi Perhatian Serius

Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri. (Foto: instagram @imanzanatul91)

Jakarta, NU Online

Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri menyoroti kasus bunuh diri kepada tiga siswa SMP yang terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat dan Sukabumi, Jawa Barat menunjukkan bahwa sekolah masih belum sepenuhnya menjadi ruang aman bagi anak.


“Tentu kami sangat prihatin dan sangat menyayangkan itu ya, anak-anak yang masa depannya masih sangat jauh, sangat panjang, masih SMP, masih sekolah, tetapi memilih mengakhiri hidupnya. Ini seharusnya ditangani dan jadi perhatian serius, apalagi tiga kasus tadi yang di Sawahlunto dan di Sukabumi,” ujar Iman saat dihubungi NU Online, Kamis (6/11/2025) di Jakarta.


Ia mengatakan bahwa terkadang terdapat kekerasan nonfisik yang tidak terlihat dan kerap luput dari perhatian pihak sekolah maupun orang tua.


“Yang kasus di Sukabumi ini terlihat dari surat yang korban tulis bahwa dia menjadi korban perundungan atau bullying dari teman-temannya. Sekolah yang menjadi TKP-nya, seperti yang kasus di Sawahlunto, bahwa dua kasus terjadi di sekolah yang satu di jam pelajaran dan yang satu lagi di luar jam pelajaran, tetapi lokasinya tetap di sekolah,” ucapnya.


Iman menyampaikan bahwa bentuk kekerasan nonfisik seperti perundungan atau bullying sering kali sulit terdeteksi. Anak-anak yang tampak baik-baik saja di luar, bisa jadi menyimpan tekanan batin yang mendalam.


“Harus ada praktik untuk itu. Anak-anak kalau memendam masalah berarti tidak berani mengutarakan. Dari sekian banyak guru, mengapa tidak bisa terdeteksi bahwa anak ini ada niatan ingin bunuh diri? Berarti fungsi bimbingan konseling tidak berfungsi di sekolah tersebut,” ujarnya.


Ia menduga bahwa anak-anak tersebut tidak memiliki ruang aman untuk didengarkan. “Mungkin saja anak yang bunuh diri itu tidak mendapatkan tempat untuk didengarkan, mungkin teman-temannya tidak aktif listening, orang tuanya tidak aktif listening, atau gurunya juga tidak aktif listening,” ujarnya.


Iman juga menyampaikan keprihatinannya terhadap fenomena anak-anak yang tampak bahagia sebelum berangkat ke sekolah, namun kemudian ditemukan meninggal karena bunuh diri.


“Dari kasus tiga tersebut, pasti orang tua terkejut ya, ada yang berangkat sekolah ceria tapi pulang-pulang bunuh diri. Bagaimana penjelasannya kan? Berarti ada sesuatu yang terpendam di anak-anak kita,” katanya.


Ia menyampaikan bahwa kasus perundungan dan bunuh diri di kalangan pelajar sebenarnya dapat dicegah jika sekolah dan orang tua berperan aktif dalam memperhatikan kondisi psikologis anak. Ia juga menyoroti lemahnya panduan pendidikan keluarga di Indonesia.


“Negara ini belum tuntas membuat panduan pendidikan, terutama untuk pendidikan di rumah. Misalkan di Inggris, setelah menikah itu ada panduan mendidik anak. Kalau di Indonesia, sepertinya belum ada ya sepemantauan saya, belum ada buku saku mendidik anak, yang di dalamnya juga ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak,” katanya.

 

Pada Oktober 2025, terdapat tiga kasus bunuh diri yang dilakukan remaja belasan tahun. Di Sukabumi, Jawa Barat, seorang remaja perempuan berusia 14 tahun mengakhiri hidupnya diduga gara-gara mendapat kekerasan verbal dari teman-temannya. Dua kasus bunuh diri lainnya terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang