Nasional

Kekerasan dan Penangkapan Sewenang-wenang di Papua Masih Terus Terjadi, Pengungsi Capai 103 Ribu Orang

NU Online  ·  Rabu, 10 Desember 2025 | 22:29 WIB

Kekerasan dan Penangkapan Sewenang-wenang di Papua Masih Terus Terjadi, Pengungsi Capai 103 Ribu Orang

Diskusi Publik Hari HAM Sedunia Mengurai Benang Kusut Problem HAM di Papua yang diselenggarakan PMKRI di Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu (10/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Advokat Aliansi Mahasiswa Papua Michael Hilman mengungkapkan bahwa kekerasan, penyisiran, dan penangkapan sewenang-wenang terhadap warga sipil masih terus terjadi di berbagai wilayah Papua.


“Pemidanaan di luar hukum masih terus dilakukan, terutama oleh aparat militer,” ujarnya dalam Diskusi Publik Hari HAM Sedunia bertajuk Mengurai Benang Kusut Problem HAM di Papua yang diselenggarakan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu (10/12/2025).


Michael juga mengungkap data bahwa jumlah aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Papua mencapai 83.157 personel, lebih banyak daripada jumlah penduduk asli di beberapa wilayah, sehingga melahirkan ketimpangan dan rasa tidak aman yang semakin besar.


Selain itu, Michael menyoroti respons negara yang cenderung meremehkan persoalan rasisme struktural semakin melukai hati masyarakat Papua.


“Pernyataan Presiden Jokowi yang meminta orang Papua ‘memaafkan saja’ menunjukkan ketidakpahaman mengenai dampak rasisme terhadap masyarakat,” tegasnya.


Ia menegaskan bahwa persoalan Papua tidak dapat diselesaikan bila negara terus melihat Papua hanya sebagai objek pembangunan dan keamanan.


“Papua harus dilihat dari kacamata Papua, bukan kacamata Jakarta,” ujar Michael.


Michael juga menjelaskan bertambahnya jumlah pengungsi sejak 2019, terutama setelah operasi militer di berbagai kawasan seperti Kejaraan, Pegunungan Puncak, Maybrat, dan wilayah-wilayah lain.


Masyarakat, termasuk perempuan dan anak-anak, terpaksa meninggalkan kampung karena kehadiran aparat bersenjata, bahkan pos militer dibangun di gereja serta sekolah.


“Bagaimana mungkin masyarakat merasa aman bila tempat ibadah dan sekolah dijadikan pos? Itu membuat mereka memilih mengungsi,” kata Michael.


Senada, Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis Papua PMKRI Gerad Kosamah memaparkan krisis kemanusiaan di Papua turut menjadi masalah demografi yang kompleks.

Gerad menyebutkan laporan Hujan Rights Monitor per September 2025, terdapat 103.218 warga Papua yang masih mengungsi, sebagian besar tinggal di hutan atau menumpang di daerah-daerah lain tanpa kepastian kembali.


“Pengungsian ini bukan sekali terjadi, tetapi berulang, masif, dan berlangsung bertahun-tahun. Banyak pengungsi sudah hidup lebih dari tiga tahun dalam kondisi darurat,” ujar Gerad.


Gerad mencontohkan kondisi di Kabupaten Intan Jaya, salah satu wilayah dengan tingkat kekerasan tertinggi. Tercatat sedikitnya 1.234 warga Intan Jaya, termasuk perempuan dan anak, terpaksa mengungsi akibat operasi militer.


“Pengungsian ini berkaitan langsung dengan operasi militer di sekitar rencana tambang emas dan proyek-proyek negara, penembakan warga sipil, serta penggunaan fasilitas sipil sebagai pangkalan militer,” kata Gerad.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang