Ali Musthofa Asrori
Penulis
Jakarta, NU Online
Kementerian Agama RI melalui Subdit Akreditasi dan Audit Lembaga Zakat, Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Ditjen Bimas Islam, mendorong seluruh lembaga filantropi wajib memiliki izin dan terakreditasi di Kemenag. Perizinan ini diperketat menyusul terungkapnya skandal lembaga filantropi yang diduga menyelewengkan dana umat.
Kasubdit Akreditasi dan Audit Lembaga Zakat Kemenag, Muhibuddin Alawy, mengatakan hal tersebut dalam bincang santai bersama sejumlah jurnalis di kantornya di Jl MH Thamrin No 6 Jakarta, Kamis (7/7/2022).
“Beberapa kali kami sampaikan kepada teman-teman penggerak zakat dan gerakan filantropi, ayo kita berizin ke Kemenag,” ujar Muhib, sapaan akrabnya.
Dengan berizin, kata dia, tentu lembaga tersebut akan mendapatkan banyak benefit atau keuntungan. Dalam hal ini tentu kepercayaan masyarakat. Sebab, publik juga akan melihat bahwa lembaga ini memiliki izin operasional.
“Secara otomatis maka keyakinan bahwa uang yang disalurkan itu betul-betul akan digunakan secara amanah, dikelola dengan jujur, dan disampaikan kepada mustahiq atau yang berhak,” ujar pria asal Lamongan Jawa Timur ini.
Kedua, lanjut Muhib, pihaknya juga akan melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkala kepada lembaga filantropi. Sebagaimana diketahui, lembaga filantropi merupakan lembaga nonprofit yang tidak mencari keuntungan dalam implementasi program-programnya. Tujuan lembaga ini hendak meningkatkan kesejahteraan hidup para penerima bantuan, bukan pengelolanya.
Saat ditanya tentang wewenang Kemenag dalam hal pengawasan terhadap lembaga amil zakat (LAZ) ini, Muhib mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengawasan tegas sekali mengaturnya.
“Pengawasan itu dibagi dua. Pertama, pengawasan dari masyarakat, bahwa masyarakat punya hak untuk mempertanyakan atau bertanya tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh lembaga zakat itu. Mulai terhadap laporannya hingga perkembangannya,” ungkap mantan Auditor Itjen Kemenag RI ini.
Kedua, Kemenag juga mempunyai skema pengawasan. Bentuknya adalah audit yang dilakukan secara berkala. Audit tersebut misalnya berwujud dalam adanya persyaratan bahwa perpanjangan LAZ itu harus dilakukan secara berkala, yakni per lima tahun sekali.
“Dalam perizinan itu juga dinyatakan bahwa perpanjangan dituangkan dalam surat bermaterai bahwa lembaga itu siap menerima audit syariah, ada update, juga dilaksanakan akreditasi,” papar Muhib.
Di samping itu, pihaknya secara berkala juga melakukan pengawasan ke lapangan untuk pendampingan terkait teknis urusan lembaga. Secara berkala dilakukan secara terstruktur.
“Khususnya pengembangan zakat dan wakaf, dalam hal ini Subdit Akreditasi. Akan tetapi, ini tidak hanya kami yang melakukannya. Teman-teman kita juga di Direktorat Zakat dan Wakaf juga melakukannya di kabupaten/kota dan provinsi juga diperiksa,” tandas sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Muhib menegaskan pengaturan ketat terhadap lembaga filantropi karena lembaga filantropis secara umum diatur dalam Permensos No 8 Tahun 2021 tentang Pengumpulan Uang dan Barang. Banyak lembaga, yayasan atau bahkan lembaga internasional yang menghimpun donasi-donasi secara umum yang tentu ini aturannya sangat rinci.
“Akan tetapi, bedanya kalau di lembaga zakat ini fokus kepada zakat itu sendiri. Ketentuannya sudah ada dalam Al-Qur’an bahwa infaq dan sedekah itu untuk fakir-miskin. Setelah itu baru amil zakatnya. Nah, itu juga sudah kita atur dalam hal misalnya penggunaan dana itu sudah diatur yakni 12,5 persen,” tutur Muhib.
Evaluasi lembaga
Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq, mengungkapkan munculnya kasus dugaan penyelewengan dana donasi masyarakat bisa menjadi momentum bagi pemerintah dan lembaga legislatif untuk memperbaiki regulasi yang mengatur lembaga filantropi. Disamping itu, kini telah muncul wacana Pembentukan Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelengaaraan Sumbangan guna memperbaiki regulasi yang telah ada.
Maman mengatakan DPR akan mengusulkan pembentukan RUU baru yang diharapkan bakal jadi payung hukum untuk melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga bantuan sosial agar lebih transparan dan akuntabel.
"Ini sebuah kezaliman yang nyata dan saya rasa DPR nanti akan membuat mengusulkan UU Charity Art seperti yang di Inggris," kata Maman sebagaimana dilansir dari Tempo.co.
Sebelumnya, Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Hamid Abidin menilai kasus dugaan penyelewengan dana donasi yang diduga dilakukan oleh ACT, salah satunya akibat belum adanya regulasi yang jelas mengenai pengaturan lembaga filantropi. "Kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki regulasi," ujar Hamid kepada Tempo, Selasa, 5 Juli 2022.
Hamid menjelaskan, selama ini pengumpulan dana umat hanya diatur lewat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dua regulasi lawas itu hanya mengatur sistem birokrasi perizinan. Belum ada aturan soal akuntabilitas dan sanksi jika terjadi kecurangan dalam penggunaan dana sumbangan masyarakat.
Hamid dkk sejak 2018 silam sudah mengusulkan pembentukan RUU Penyelenggaraan Sumbangan untuk menggantikan aturan lawas tersebut. RUU yang diusulkan tersebut sempat masuk Program Legislasi Nasional pada 2019, namun tidak berhasil masuk Prolegnas Prioritas.
Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Zunus Muhammad
Terpopuler
1
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
2
Kenaikan PPN 12 Persen Berpotensi Tingkatkan Pengangguran dan Kolapsnya UMKM
3
Ketum PBNU Respons Veto AS yang Bikin Gencatan Senjata di Gaza Kembali Batal
4
Kisah Inspiratif Endah Priyati, Guru Sejarah yang Gunakan Komik sebagai Media Belajar
5
Bahtsul Masail Kubra Internasional, Eratkan PCINU dengan Darul Ifta’ Mesir untuk Ijtihad Bersama
6
Menag Penuhi Undangan Arab Saudi untuk Bahas Operasional Haji 2025
Terkini
Lihat Semua