Nasional

Ketua MPR Usul Gus Dur Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Ahad, 29 September 2024 | 20:00 WIB

Ketua MPR Usul Gus Dur Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Pimpinan MPR RI menggelar Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR RI bersama keluarga Gus Dur di Nusantara V Gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Ahad (29/9/2024). (Foto: instagram/@bambang.soesatyo)

Jakarta, NU Online

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggelar Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR RI bersama keluarga Gus Dur di Nusantara V Gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Ahad (29/9/2024).


Istri Gus Dur, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid beserta keempat anak Gus Dur turut hadir yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, Yenny Wahid, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.


Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengusulkan pemerintah menganugerahi Presiden ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai pahlawan nasional.


Usulan berdasarkan pada Keputusan Pimpinan MPR untuk menerbitkan surat rekomendasi pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid.


"Mudah-mudahan saja dengan penegasan ini kita mengusulkan kembali kepada pemerintah, baik yang hari ini maupun yang datang untuk beliau dianugerahkan gelar pahlawan nasional sesuai UU serta selaras dengan martabat kemanusiaan jasa dan pengabdian," kata Bamsoet.


Gus Dur, lanjut Bamsoet, memiliki jasa besar dalam memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan keadilan sosial. Keberpihakannya pada pluralisme, khususnya dalam menjunjung toleransi beragama dan demokrasi berbasis kemanusiaan, menjadikan Gus Dur sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia. 


Ia menilai bahwa Gus Dur layak dipertimbangkan untuk memperoleh gelar pahlawan nasional atas jasanya yang luar biasa bagi bangsa dan negara.


"Nama baik Gus Dur perlu segera dipulihkan secara resmi sebagai bagian dari penghormatan atas kontribusinya yang sangat besar dalam memajukan demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia," kata Bamsoet.


Bamsoet menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki tujuh presiden dengan julukan masing-masing, mulai dari Soekarno sebagai Bapak Proklamator hingga Jokowi sebagai Bapak Infrastruktur. Gus Dur sendiri dikenal sebagai Bapak Pluralisme karena komitmennya terhadap keragaman dan kebebasan beragama di Indonesia.


“Keberanian Gus Dur dalam memperjuangkan hak-hak minoritas dan mengedepankan prinsip kemanusiaan merupakan salah satu warisan terbesar bagi bangsa ini," jelasnya.


"Demi mengenang dan menghormati warisannya, sudah selayaknya kita memulihkan nama baik Gus Dur dan memberikan pengakuan lebih lanjut terhadap jasa-jasanya," pungkasnya.


Dalam acara tersebut, Pimpinan MPR RI menyerahkan surat rekomendasi pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid kepada Istri Gus Dur yaitu Sinta Nuriyah Wahid. Surat rekomendasi tersebut ditandatangani 10 pimpinan MPR RI.


Berdasarkan kesepakatan, pimpinan MPR RI sepakat mencabut TAP MPR Nomor II/MPR/2001 sebagaimana permohonan Fraksi PKB. Adapun keputusan tersebut memulihkan nama Gus Dur yang dituduh melakukan korupsi pada masa pemerintahannya. 


"Menegaskan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi," tegasnya.


Surat rekomendasi pemulihan nama Gus Dur ini diserahkan langsung oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bersama Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKB Jazilul Fawaid kepada Nyai Sinta Nuriyah. 


"Surat tersebut kita serahkan ke keluarga Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Soeharto, Presiden terpilih Prabowo Subianto," kata Bamsoet.


Istri Gus Dur, Nyai Sinta Nuriyah Wahid menyampaikan apresiasi atas  langkah MPR untuk mencabut  TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid.


"Selama ini, Tap MPR tersebut menjadi ganjalan besar bagi kami keluarga Gus Dur dan masyarakat Indonesia lainnya. TAP MPR tersebut telah menjadi keputusan yang seolah menempatkan Gus Dur sebagai seorang pelanggar konstitusi tanpa kami bisa melakukan banding," kata Sinta.


Sinta mengatakan pencabutan Tap MPR tersebut merupakan langkah rehabilitasi nama baik Gus Dur. Ia berharap pencabutan Tap MPR ini bukan hanya upaya basa-basi politik.


"Kami paham pencabutan Tap MPR tersebut bersama dengan Tap-Tap MPR yang menjerat Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto, dimaksudkan sebagai langkah untuk melakukan rekonsiliasi nasional suatu yang diperjuangkan pula oleh Gus Dur ketika memimpin bangsa hingga akhir hayatnya," tutur Sinta.


Sinta berharap upaya rekonsiliasi nasional ini sebagaimana yang terjadi di Afrika Selatan. Ia ingin proses rekonsiliasi dilakukan sepenuhnya.


"Namun kami berpandangan bahwa rekonsiliasi tetap harus berdasar prinsip keadilan, agar bisa efektif diterapkan bukan sekadar basa-basi politik semata. Kami berharap rekonsiliasi ini dapat berjalan sebagaimana terjadi di Afrika Selatan semasa Nelson Mandela maupun yang terjadi di Timor Leste pada kemerdekaannya. Maka, kami keluarga Gus Dur menyambut proses rekonsiliasi ini dengan catatan dilakukan tidak dengan setengah hati," tambahnya.


Ia menjelaskan, dengan pencabutan ini, segala upaya yang dialamatkan kepada Gus Dur tak terbukti. Terutama, menurut dia, terkait dengan tindakan korupsi.


"Berbagai tuduhan dialamatkan kepada Gus Dur melalui prosedur yang salah dan saling tabrak dan sampai detik ini tidak ada satupun dari tujuan tersebut yang terbukti. Bagi kami yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi," ujar Sinta.


"Semua orang yang mengenal Gus Dur dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur. Sampai akhir hayatnya Gus Dur tidak pernah menumpuk harta benda," imbuhnya.