Kisah Keteguhan Fadhiyah Maskuroh Kembangkan Madrasah di Tengah Keterbatasan
NU Online · Selasa, 25 November 2025 | 20:45 WIB
Fadhiyah Maskuroh bersama siswa-siswi MI Miftahul Islamiyah yang berprestasi di ajang Porseni tingkat kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang, pada tahun 2025. (Foto: dok. pribadi)
Ahmad Solkan
Kontributor
Semarang, NU Online
Fadhiyah Maskuroh (49) adalah Kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahul Islamiyah Regunung, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Perjalanannya memimpin madrasah dimulai pada 2011. Saat itu, ia masih berstatus guru biasa, hingga kemudian dipercaya untuk mengemban amanah sebagai kepala madrasah.
Di awal, ia sempat ragu menerima jabatan tersebut. Namun prinsip hidup sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, membuatnya mantap memikul tanggung jawab besar ini demi keberlangsungan madrasah dan pendidikan anak-anak di desanya.
Perjalanan memimpin madrasah tidak selalu mulus. Pada 2013, minat masyarakat untuk menyekolahkan anak ke MI Miftahul Islamiyah menurun drastis. Tahun itu, hanya lima siswa baru yang mendaftar. Jumlah tersebut pun diperoleh dengan cara mendatangi rumah warga satu per satu.
Baca Juga
Kisah Guru yang Tanpa Tanda Jasa
“Demi menarik minat orang tua, kami memberikan fasilitas seragam, tas, dan peralatan sekolah secara gratis. Tetapi ternyata tidak semudah itu. Ada yang bahkan menolak, bahkan mengembalikan fasilitas yang sudah kami berikan,” ujarnya kepada NU Online pada Selasa (25/11/2025).
“Saat itu rasanya malu, sedih, dan sakit hati, tetapi saya tetap berusaha berdiri tegak demi madrasah,” kisahnya.
Titik balik bersama LP Ma'arif NU
Perempuan yang akrab disapa Diah ini mengungkapkan bahwa MI Miftahul Islamiyah resmi bergabung dengan LP Ma’arif NU pada 2014. Melalui wadah tersebut, ia kembali dipertemukan dengan rekan-rekannya sesama aktivis pendidikan, termasuk jaringan di LP Ma’arif NU Kabupaten Semarang.
Dalam satu kesempatan, ia bertemu teman lamanya, yang ia panggil Lek Pri, yang saat itu menjabat Ketua Kelompok Kerja Kepala Madrasah (K3M) Ma’arif NU Kabupaten Semarang. Berniat mencari solusi, ia justru mendapat teguran keras.
“Dengan gaya khasnya, Lek Pri berkata: Madrasahmu harus bisa mencari solusi. Aku tidak mau tahu, kamu harus bisa memikirkan jalan keluarnya sendiri,” ujarnya mengenang.
Sepulang dari pertemuan itu, hatinya terasa panas. Namun teguran tersebut justru menjadi pemantik bagi dirinya untuk berpikir lebih keras demi menyelamatkan madrasah. Ia menyadari bahwa mencari siswa dari rumah ke rumah bukan perkara mudah dan sering membuatnya merasa malu.
Meski begitu, tekadnya untuk mempertahankan madrasah tidak surut. Ia kemudian berdiskusi panjang dengan suaminya tentang langkah-langkah yang dapat dilakukan.
“Dari situlah saya mulai bangkit. Saya mulai menyusun langkah, strategi, dan mencari cara agar madrasah bisa kembali dipercaya masyarakat,” tegasnya.
Mendirikan KB Nawa Kartika
Hasil diskusi dengan suaminya melahirkan gagasan untuk mendirikan lembaga embrio bagi MI, yakni Kelompok Bermain (KB). Harapannya, lulusan KB tersebut nantinya dapat melanjutkan pendidikan di MI Miftahul Islamiyah.
“Kami mengumpulkan tokoh masyarakat dan kepala desa untuk bermusyawarah. Dari pertemuan itu, lahirlah sebuah lembaga yang kemudian resmi menjadi KB Nawa Kartika. Nama Nawa Kartika sendiri muncul dari diskusi keluarga. Nawa berarti sembilan, Kartika berarti bintang,” terangnya.
“Harapannya sederhana, lembaga kecil ini kelak bersinar dengan sembilan cahaya kebaikan akhlak, ilmu, keteladanan, dan keberkahan,” lanjutnya.
Pada 2014, KB Nawa Kartika menerima 15 peserta didik. Dua tahun kemudian, pada akhir 2016, lembaga tersebut memperoleh Izin Operasional (Ijop) dari Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang. Pada 2017, angkatan pertama KB Nawa Kartika lulus dengan jumlah siswa 15 orang.
“Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 50 persen yang melanjutkan ke MI. Harapan saya bahwa semua lulusan PAUD akan masuk ke MI ternyata tidak sesuai kenyataan. Seakan-akan kerja keras bertahun-tahun tidak membuahkan hasil sebagaimana harapan,” kisahnya.
Air mata selepas Maghrib
Suatu sore selepas shalat Maghrib, Diah melanjutkan wiridan sambil menangis. Ia mengadu kepada Allah tentang hasil perjuangannya yang belum sejalan dengan harapan.
Di tengah tangis itu, ia merasa mendapatkan kesadaran baru, bahwa mendidik bukan soal memaksa anak untuk masuk ke lembaga yang ia pimpin, melainkan tentang mengantar mereka menuju masa depan terbaiknya.
“Tujuan mendidik adalah untuk mengantarkan anak pada masa depan terbaiknya, di mana pun dia belajar,” katanya.
Kini, pada akhir 2025, jumlah peserta didik di lembaga yang ia pimpin mencapai 126 siswa, terdiri dari 100 siswa MI dan 26 siswa KB. Keduanya telah berhasil meraih akreditasi A.
Sejumlah prestasi MI Miftahul Islamiyah dalam beberapa tahun terakhir di antaranya:
1. Juara 1 Lari Jarak Pendek tingkat Kabupaten Semarang pada Porseni 2023
2. Juara 3 Lompat Jauh tingkat Kabupaten Semarang pada Porseni 2025
3. Juara 2 kompetisi Pagar Nusa tingkat Kabupaten Semarang pada Porsema 2025
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua