KontraS Soroti Praktik Femisida yang Dilakukan Anggota TNI: Cerminan Kultur Militer dan Patriarki
NU Online · Jumat, 3 Oktober 2025 | 14:30 WIB
Peneliti KontraS Windy Koesherawati saat memaparkan catatan tentang menguatnya militerisme, di Kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, pada Jumat (3/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Peneliti Divisi Riset Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Windy Koesherawati, menyampaikan catatan kritis mengenai praktik femisida (pembunuhan yang menyasar perempuan karena gendernya) yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Menurut Windy, femisida oleh anggota TNI bukanlah penghilangan nyawa biasa, melainkan terkait erat dengan struktur kekuasaan patriarki dan kultur militer yang menjunjung tinggi maskulinitas ekstrem.
"Maskulinitas dari TNI ini pada akhirnya berpotensi menciptakan ketidakadilan berbasis gender terhadap perempuan, yang salah satunya menempatkan perempuan menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan yang paling agresif, yaitu femisida," tutur Windy dalam Peluncuran Kertas Kebijakan Hari TNI Ke-80 di Kantor KontraS, Kwitang, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2025).
Kasus pembunuhan dan kekerasan berulang
KontraS mencatat, terdapat lima kasus femisida dalam satu tahun terakhir dengan motif yang tergolong sepele tetapi dilakukan dengan cara yang tidak wajar.
Salah satu kasusnya ialah Elis seorang yang dibunuh suaminya, Serka Marius Bernadus Mabor dari TNI AU dengan motifnya karena Elis tidak mengisi daya ponsel suaminya yang tersisa 9 persen pada Desember 2024.
Pembunuhan dilakukan secara brutal yakni dengan cara: korban diselimuti, dipukul dengan palu, dan dibakar hidup-hidup di depan anaknya. Korban juga diketahui sering mengalami penganiayaan sebelumnya dengan berbagai benda keras.
Kemudian kasus lainnya menyasar seorang Jurnalis Perempuan, Juwita, yang ditemukan meninggal setelah dibunuh oleh pasangannya seorang anggota TNI Angkatan Laut (AL) di Kalimantan selatan pada Maret 2025.
Windy menekankan bahwa kasus-kasus femisida tersebut tidak muncul tiba-tiba karena sebagian besar korban sebelumnya telah mengalami kekerasan berulang, tetapi tidak ada evaluasi atau upaya hukum di internal TNI sejak kekerasan pertama kali terjadi.
“Terdapat keberulangan peristiwa kekerasan di mana tidak ada evaluasi atau upaya hukum yang diberlakukan TNI sejak pertama kali korban mengalami kekerasan hingga akhirnya berujung pada pembunuhan,” jelas Windy.
"Artinya, meskipun tidak ada hubungan sekalipun, setiap orang bisa disasar menjadi target dari femisida ataupun kekerasan oleh Tentara," tambahnya.
Selain itu, Windy menegaskan bahwa kondisi ini diperparah oleh budaya impunitas yang dipicu oleh patriarki dan maskulinitas TNI.
"Maskulinitas TNI juga mempersubur impunitas dalam tubuh TNI akibat tidak adanya pengawasan, sanksi, hingga pembenahan kultur TNI yang dapat menjamin hak hidup perempuan dari kekerasan berbasis gender hingga femisida oleh TNI," tutup Windy.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua