Nasional

KPAI Sebut 3 Struktur Sistem Perlindungan Anak dari Perundungan di Lembaga Pendidikan

Rabu, 28 Februari 2024 | 15:00 WIB

KPAI Sebut 3 Struktur Sistem Perlindungan Anak dari Perundungan di Lembaga Pendidikan

Sekretaris Umum Pergunu Aris Adi Leksono. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Perundungan atau bullying dengan kedok senioritas sering terjadi di lembaga pendidikan termasuk pesantren. Baru-baru ini perundungan memakan korban hingga meninggal, yaitu Bintang Balqis Maulana (14), santri di Pondok Pesantren Tahfidz Qur'an Al Hanifiyyah di Mojo, Kediri, Jawa Timur.


Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kluster Pendidikan, Aris Adi Leksono, menyebutkan tiga struktur pembangunan sistem perlindungan anak di lembaga pendidikan untuk menghilangkan senioritas yang bermasalah.


Menurut dia, hal itu dimulai dengan mengedukasi dan mensosialisasikan kepada semua peserta didik bahwa tiap orang baik senior maupun junior memiliki derajat yang sama di mata Allah. 


Selanjutnya, kata dia, pengelola lembaga pendidikan sejak awal harus menanamkan kepada peserta didik bahwa tujuan mereka berada di tempat yang sama adalah untuk belajar.


“(Tanamkan) rasa bahwa kita sama, kita makhluk Allah, kita punya tugas belajar di pesantren. Dengan begitu, maka saya yakin akan timbul rasa saling menghargai, untuk kemudian bisa hidup bersama-sama saling menghargai perbedaan. Tentunya dengan tujuan yang diutamakan adalah sukses menimba ilmunya atau belajar di satuan pendidikan itu,” katanya kepada NU Online, Selasa (27/2/2024).


Aris menambahkan, perlu adanya pengawasan yang intensif di lembaga pendidikan dengan membentuk satgas atau tim pencegahan dan penanganan perundungan. Tim diperlukan agar aturan dan edukasi yang sudah dilakukan, dapat terpantau dengan baik. 


Tim tersebut, kata pengurus Pimpinan Pusat Persatuan guru Nahdlatul Ulama ini, harus dibekali kemampuan atau mengerti psikologi anak-anak didik.


“Aturan yang dibuat dan edukasi yang dilakukan, bisa terpantau; terimplementasi apa tidak, dilakukan oleh siswa atau tidak. Dan tentu tim tim ini  harus dibekali skill dalam membaca psikologi anak, membaca perubahan perilaku anak sehingga dia mampu mendeteksi. Jika ada gejala senioritas maka bisa segera ditangani,” jelasnya.


Menurut Aris, setelah melakukan edukasi dan menyediakan tim satgas, lembaga pendidikan juga penting menyediakan kanal pengaduan. Jika disediakan kanal pengaduan dan keberanian untuk mengadu, maka akan timbul rasa kehati-hatian pada diri peserta didik, baik yang senior maupun junior.


“Pihak Lembaga Pendidikan juga penting untuk menyediakan kanal pengaduan, kalau ada kanal pengaduan dan berani mengadu, saya kira satu sama lain akan ada kehati-hatian. Kalau saya melakukan kekerasan, maka saya akan diadukan, konsekuensinya saya bisa dihukum. Sistem yang seperti ini penting diwujudkan, agar tercipta lembaga pendidikan yang memiliki perspektif perlindungan anak,” ujarnya.


Selain itu, sambungnya, keterbukaan serta kolaborasi lembaga pendidikan, dengan pihak-pihak terkait juga diperlukan agar pihak terkait bisa membantu untuk memberikan sosialisasi, edukasi, dan pembinaan.


“Menurut saya, pentingnya terbuka dan berkolaborasi dengan pihak-pihak terkait, misalkan dengan DP3A, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Kepolisian menjalin kerjasama untuk bersama-sama membina dan mencegah agar tidak terjadi kekerasan,” tuturnya.