Lantunan Alfiyah Ibnu Malik diiringi saksofon yang mengalun di atas panggung Malam Kebudayaan Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional (MQKN) 2023 di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur pada Jumat (15/7/2023) malam. (Foto: Humas Pendis)
Muhammad Syakir NF
Penulis
Lamongan, NU Online
Saksofon mengalun di atas panggung Malam Kebudayaan Musabaqah Qiraatil Kutub Nasional (MQKN) 2023 di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur pada Jumat (15/7/2023) malam. Sesekali nada tinggi pun dimainkan.
Adalah Michael Abel Firdausi, sosok yang memainkan alat musik yang sedikit asing bagi santri ini. Pemuda yang pernah mengenyam pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran itu tampil bersama Deni Kuswoyo yang memetik gitar dan Budayawan Ngatawi El-Zastrouw yang menabuh cajon. Ketiganya mengiringi dua penampil lainnya, yakni Abdullah Wong dan Yasser Arafat yang melantunkan bait-bait Alfiyah Ibnu Malik.
Baca Juga
5 Kunci Sukses dalam Alfiyah Ibnu Malik
Belum disentuh
Jazz menjadi pilihan karena menjadi genre musik yang belum banyak tersentuh masyarakat santri. Sebab, selama ini, sivitas akademika pesantren selalu berkaitan dengan alat musik seperti rebana, gambus, dan hadrah.
“Nah, sementara ada segmen lain yang memiliki selera tertentu yang itu perlu disentuh, terutama komunitas jazz karena meskipun awalnya jazz ini musiknya orang bawah, fakta di lapangan, jazz menjadi semacam penanda dari struktur sosial masyarakat menengah kelas atas,” kata Zastrouw.
Penampilan Alfiyah dengan jazz itu dilakukan sebagai bukti bahwa nazam-nazam yang lekat dengan pesantren itu bisa dibuat sesuai selera berbagai kelas sosial, termasuk jazz.
“Kita ingin membuktikan bahwa nazam itu bisa di-create dalam komposisi jazz sehingga bisa memperluas jangkauan mengenalkan nazam kepada masyarakat kaum modernis urban, dari kalangan menengah atas,” katanya.
Karenanya, lantunan Alfiyah dengan genre musik jazz ini sebagai bentuk pengenalan bagi kelas sosial penyukanya. “Pilihan jazz karena soal re-branding,” lanjut Dosen Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.
Kreativitas
Lebih lanjut, Zastrouw juga menyampaikan bahwa penampilan ini minimalis aja spontan. Sebab, jazz itu komposisi musik yang memberikan ruang improvisasi lebih luas, ruang bagi musisi yang sedang bermain untuk berimprovisasi.
“Yang namanya seni itu kreativitas. Pas penciptanya 'alim awliya, bagaimana pun posisinya sebagai seni, kreativitas,” katanya.
Karenanya, nazam itu dikembalikan kepada tujuan diciptakannya seni, yakni mempermudah orang menerima pesan, bagian metode untuk mempermudah orang menghafal syair itu. “Dibikin pola metrum itu bagian metode untuk menyampaikan pesan dan mempermudah pemahaman dan pengetahuan,” ujarnya.
Situasi sosial budaya berbeda. Sebab, pada saat itu, syair yang paling efektif dan digemari itu pola bahr-bahr itu, bahr rojaz, thawil, basith, dan lain sebagainya itu. Namun sekarang ini, anak-anak muda masyarakat lebih enjoy dengan pattern baru, genre-genre nada musik baru yang membuat dia lebih menyambung dengan kondisi emosionalitas dan taraf pemahamannya.
“Maka di sinilah perlu dilakukan reaktualisasi sehingga nazam-nazam itu menjadi lebih aktual dari segi pembacaan lalarannya. Akhirnya juga related dengan kondisi anak muda, related dengan selera, sehingga lebih mudah diterima,” katanya.
“Termasuk jazz ini, campur sari, beberapa genre musik lain,” lanjut Ketua Makara Art Center Universitas Indonesia itu.
Dadakan
Penampilan Alfiyah dengan jazz itu dibuat secara dadakan. Meskipun demikian, pertunjukannya menghibur ratusan pasang mata yang memadati arena utama. Sebab, menurut Zastrouw, seni itu tertanam dalam jiwa orang.
“Orang yang kebetulan mengasah passion seninya, pada suasana tertentu, situasi tertentu, ada imajinasi, kreativitas, saat itu muncul,” ujarnya.
Beberapa dewan hakim melihat bahwa anak-anak peserta sudah bisa menangkap tren, kecenderungan selera. Menurutnya, tren itu sudah ditangkap peserta, diekspresikan dalam berbagai ritme dari nazam-nazam itu.
“(Penampilan peserta) Menginspirasi dewan juri, kita harus ngasih contoh, memanajemen komposisi musik dan suatu ritme bahr yang lebih kontekstual,” kata Anggota Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia itu.
Para seniman itu berlatih sekali di tempat penginapan pada Jumat (14/7/2023) sore. “Jam 5 baru latihan, komposisi inspirasi untuk anak-anak santri,” katanya.
Yasser menceritakan bahwa ia diajak untuk tampil bersama pada Malam Kebudayaan itu selepas Ekshibisi. Zastrouw pun mulai memetik gitar, Yasser menyesuaikan lagu syair-syair Alfiyah itu. Abel pun mulai mengiringi permainan Zastrouw dan lantunan Yasser. Latihan yang singkat dari seniman-seniman ini langsung ditampilkan pada malamnya.
Syair Alfiyah Ibnu Malik ini ditulis dengan bahr atau rima rojaz. Lalu, rekontekstualisasi turats membuat syair-syair muqaddimah Alfiyah itu dilantunkan dengan genre musik jazz. Jadilah, Alfiyah dari rojaz ke jazz.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua