Larangan TNI Duduki Jabatan Sipil untuk Pastikan Militer sebagai Alat Pertahanan Negara
NU Online · Jumat, 7 November 2025 | 10:00 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad menegaskan bahwa pelarangan anggota TNI menduduki jabatan sipil adalah untuk memastikan militer tetap profesional dalam menjalankan tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara. Jika personel TNI diizinkan menempati posisi sipil, jelasnya, maka fokus terhadap fungsi pertahanan bisa terganggu.
"(Kemudian) kasihan kepada lembaga sipilnya juga. Soal kepangkatan di lembaga sipil tersebut, jenjang kariernya jadi kacau karena diintervensi oleh militer, sehingga jenjang karier sipil yang mau naik tidak bisa," katanya kepada NU Online di Jakarta pada Kamis (6/11/2025).
Sebelumnya, Hussein menjelaskan bahwa ketika Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disusun, terdapat semangat sementara dalam pemberian izin bagi anggota TNI untuk menempati jabatan di sejumlah lembaga sipil.
Pada masa itu, katanya, hal tersebut dianggap perlu karena banyak posisi diisi oleh personel TNI peninggalan Orde Baru, sehingga pelarangan total dinilai berpotensi menghambat jalannya pemerintahan.
"Kenapa kemudian justru pada masa reformasi kok malah ditambah, bukan justru dikurangi? Itu kan keliru. Asbabun nuzul-nya bilang kalau itu sebetulnya sifatnya sementara karena lembaga-lembaga tersebut tidak bisa dioperasikan, kok malah muncul isu malah ditambah," jelasnya.
Ia juga menyoroti ketidaktepatan penempatan anggota TNI di Badan Narkotika Nasional (BNN). Menurutnya, penanganan narkotika bukan merupakan domain militer, melainkan ranah penegakan hukum dan kesehatan masyarakat.
"TNI ini menjadi alat pertahanan negara dalam konteks untuk menghadapi ancaman perang, bukan dalam konteks menghadapi ancaman non-perang. Jadi alasan kenapa mesti kita butuh tentara, ya karena menjadi salah satu alat negara untuk menghadapi perang," katanya.
Lebih lanjut, ia menilai penempatan personel militer di Sekretariat Presiden tidak memiliki dasar kebutuhan yang jelas. Posisi tersebut sepenuhnya bersifat administratif dan merupakan jabatan sipil, sehingga kehadiran TNI di sana dinilai tidak relevan.
"Kalau memang mereka mau masuk ke sipil jadi Sekretariat Presiden boleh, tapi mundur dulu. Itu jauh lebih bagus, tata kelolanya lebih baik," katanya.
Ia juga menilai keberadaan militer di Kejaksaan merupakan bentuk kekeliruan serius. Ia menegaskan, TNI tidak dididik untuk menjadi aparat penegak hukum, sehingga tidak tepat jika ditempatkan di Kejaksaan.
"Kenapa sih TNI ada di Kejaksaan, jadi Jampitmil, katanya untuk koordinasi. Loh, kan padahal undang-undangnya memerintahkan untuk direformasi kalau TNI masuk ke peradilan tindak pidana umum," katanya.
Hussein menegaskan bahwa peradilan militer seharusnya hanya menangani tindak pidana yang bersifat militer, dan keberadaannya pun bersifat ad hoc.
"Tidak perlu TNI punya satu lembaga mandiri yang dibuat di luar sistem criminal justice system. Itu negara dalam negara namanya," tegas Hussein.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua