Nasional

LKNU Soroti Bahaya Nikah Siri bagi Perempuan: Rentan secara Hukum dan Sosial

NU Online  ·  Rabu, 26 November 2025 | 19:00 WIB

LKNU Soroti Bahaya Nikah Siri bagi Perempuan: Rentan secara Hukum dan Sosial

Ilustrasi nikah siri. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Ketua Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU), Zulfikar As'ad, menilai nikah siri hanya bisa dilakukan dalam kondisi yang sangat darurat. Namun, dia tetap mendorong agar masyarakat menikah secara resmi agar diakui negara maupun agama.


“Tapi kalau saran saya, lebih baik menikah resmi, diakui negara dan agama. Karena perempuan sangat rentan mengalami kerugian dalam posisi seperti itu,” ujarnya kepada NU Online, Rabu (26/11/2025).


Zulfikar menjelaskan, nikah siri juga berdampak pada akses pelayanan kesehatan ibu dan anak.


“Anak dari pernikahan siri tidak memiliki identitas seperti kartu keluarga, sehingga menghambat administrasi layanan kesehatan maupun bantuan sosial,” jelasnya.


Dari aspek kesehatan, ketidakjelasan identitas membuat ibu dan anak kesulitan memperoleh layanan optimal.


“Pemerintah bisa saja memberikan bantuan, tapi karena tidak memiliki kartu keluarga, bantuan itu akhirnya sangat terbatas,” imbuhnya.


Ia menjelaskan, LKNU terus melakukan edukasi dan pencegahan praktik nikah siri melalui berbagai program.


“Kami memiliki program edukasi dan sosialisasi untuk persiapan rumah tangga ideal, termasuk pemahaman gizi ibu dan anak saat hamil hingga menyusui, serta menjaga kesehatan psikologis dan kesetaraan dalam rumah tangga bekerja sama dengan BKKBN,” pungkasnya.


Perempuan pada Posisi Paling Rentan

Sementara itu, Sekretaris Bidang Pemberdayaan Perempuan DPP HIPMA Gowa, Elma Wahyuni, menilai tren nikah siri justru kian mengkhawatirkan. Menurutnya, narasi yang dibangun seringkali menempatkan perempuan pada posisi paling rentan.


"Kenapa saya katakan demikian? Karena nikah siri sering dikemas sebagai jalan alternatif menghindari perzinahan atau solusi halal tanpa ribet. Padahal, di balik retorika manis itu terdapat risiko besar yang hampir seluruh bebannya ditanggung oleh perempuan," ujarnya kepada NU Online, Rabu (26/11/2025).


Elma menegaskan, nikah siri bukan solusi yang baik, melainkan jebakan bagi masa depan perempuan. Praktik ini, menurutnya, menormalisasi kondisi yang mengorbankan kepastian hukum bagi perempuan.


"Kalau memang tujuannya baik, mengapa tidak memaksimalkan proses pernikahan resmi yang jelas melindungi kedua pihak? Menjadikan nikah siri sebagai solusi adalah bentuk pembenaran yang akhirnya lebih banyak menyulitkan perempuan di kemudian hari," lanjutnya.


Ia menjelaskan, legalitas perempuan dalam pernikahan siri sangat lemah dibandingkan dengan pernikahan resmi yang sah secara agama dan negara.


"Kalau ditanya apakah legalitas status istri dalam nikah siri sama kuat dengan pernikahan resmi, tentu jawabannya tidak sama kuat," tegasnya.


Secara agama, nikah siri memang sah. Namun, secara hukum negara, perempuan tidak memiliki bukti legal untuk menuntut hak nafkah, warisan, harta bersama, maupun mendapatkan perlindungan jika terjadi kekerasan atau penelantaran. "Negara tidak bisa membela sesuatu yang tidak tercatat secara hukum. Di sinilah letak kerugian paling fatal," jelas Elma.


Selain itu, stigma sosial terhadap perempuan yang menikah siri masih sangat kuat. "Celakanya, beban stigma itu hampir selalu jatuh kepada istri. Suami jarang mendapat tekanan sosial, sementara istri sering dihakimi, disalahkan, dan dipandang kurang terhormat ketika diketahui menikah siri," tambahnya.


Ketika perempuan mengalami penelantaran, tidak dinafkahi, atau diperlakukan tidak adil, masyarakat justru kembali menyalahkan perempuan. "Akhirnya istri mengalami kesengsaraan. Ia menjadi korban ketidakpastian hukum dan korban pandangan sosial yang tidak adil," paparnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang