Nasional BULAN GUS DUR

Makna, Fungsi, dan Pentingnya Humor bagi Gus Dur

Sabtu, 26 Desember 2020 | 14:30 WIB

Makna, Fungsi, dan Pentingnya Humor bagi Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Siapa yang tak kenal KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur? Ia adalah seorang pemimpin, pemikir, penulis, cendekiawan, dan intelektual dari kalangan santri yang kerap melempar humor dalam penyampaian gagasan.


Gus Dur menjadikan humor sebagai bagian penting dan sikap kritis di dalam dunia intelektual. Hal tersebut merupakan tindakan revolusioner yang dilakukan oleh cendekiawan sekaliber Gus Dur. Sebab selama ini, humor dipandang hanya secara peyoratif dan seolah-olah dihindari kaum cendekiawan.


Bagi sebagian besar cendekiawan, humor dianggap tidak ilmiah. Bahkan dinilai sebagai sesuatu yang dapat mengurangi image atau citra. Untuk menjaga citra, biasanya para intelektual atau akademisi menghindari humor.


Sebab para cendekiawan banyak berasumsi bahwa humor dapat menimbulkan kesan slengean atau sikap tidak pada umumnya, sehingga mengurangi keseriusan dalam membuat analisis dan pikiran-pikiran ilmiah. 


Pemaparan tersebut diungkapkan Budayawan Nahdlatul Ulama (NU) Zastrouw Al-Ngatawi dalam Peringatan Haul ke-11 Gus Dur yang diselenggarakan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sudan dan Jerman dan disiarkan langsung 164 Channel, pada Sabtu (26/12) sore.


“Tapi Gus Dur tidak peduli. Dia justru menjadikan humor sebagai sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari sikap kritis seorang cendekiawan. Maka Gus Dur enjoy saja membuat analisis, menyampaikan pikiran dengan cara-cara humor,” sambung Asisten Pribadi Gus Dur pada 1989-1998 ini.


Humor bagi Gus Dur, lanjut Zastrouw, sama sekali sekali tidak mengurangi bobot ilmiah, kadar intelektualitas, dan derajat akademik sebuah gagasan lantaran disampaikan dengan humor atau jenaka.


Lima fungsi humor bagi Gus Dur


Zastrouw menjelaskan bahwa terdapat lima fungsi humor bagi Gus Dur. Pertama, humor menjadi instrumen dalam menggali, mengonstruksi, dan menyampaikan gagasan. Di berbagai forum, Gus Dur kerap menyampaikan pesan dengan gaya humor.


“Baik itu di forum akademik, forum ilmiah, atau di forum pengajian umum Gus Dur selalu memasukkan  unsur-unsur humor dalam menyampaikan gagasan,” ungkap Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU pada 2004-2009 ini. 


Bahkan, imbuh Zastrouw, dalam membangun hubungan diplomatik kenegaraan, Gus Dur juga sering melontarkan humor. Pernah suatu ketika, Gus Dur membuat Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pernah dibuat tertawa terbahak-bahak. Begitu pun Raja Arab yang pernah dibikin tertawa ngakak oleh Gus Dur.


“Itu (humor yang dilakukan Gus Dur) sama sekali tidak mengurangi derajat intelektualitasnya,” tegas Zastrouw.


Fungsi humor yang kedua adalah sebagai sarana pengendalian diri agar seorang cendekiawan tidak terjebak dalam sikap arogansi karena hanyut pada berbagai previlese sosial. Namun justru melalui humor, seorang cendekiawan bisa menertawakan diri sehingga tidak mudah emosi dan tersinggung ketika menerima kritik.


“Gus Dur selalu menertawakan dirinya sendiri dan bahkan agamanya sendiri. Tujuannya supaya orang itu tidak mudah baper (bawa perasaan atau tersinggung),” katanya.


Zastrouw kemudian mengungkap cerita Gus Dur dengan latar pesantren. Dalam sebuah pengajian, tiga santri di hadapan kiai menyebutkan namanya masing-masing. Santri pertama, ditanya identitas nama oleh sang kiai.


“Nama saya Anas, kiai.” Setelah menyebutkan nama, santri itu lantas diminta untuk membacakan surat Annas yang terdapat dalam Al-Quran.


“Saya Al-Kautsar, kiai,” santri kedua menjawab pertanyaan yang sama. Lalu ia diminta pula untuk membaca surat Al-Kautsar. Dengan mudahnya, ia dan Anas membacakan surat yang sama dengan namanya sendiri. 


Santri ketiga juga ditanya oleh kiai. Ia menjawab, “Nama saya Ali Imron kiai, tapi saya biasa dipanggil Qulhu.”


Menurut Zastrouw, dengan bercerita seperti itu, Gus Dur seperti ingin menjelaskan suatu makna tentang seorang kiai yang dalam memberikan pengajaran dengan cara-cara dialogis dan tidak berjarak.


Lalu fungsi ketiga, humor bisa mencairkan ketegangan dan mengubah suasana yang semula kaku atau beku menjadi lebih segar. Hal demikian bisa memancing tumbuhnya kreativitas. Bahkan dalam beberapa penelitian sosiologi, humor dapat meningkatkan imunitas dan ketegangan pun bisa hilang.


“Bahkan bisa meningkatkan fungsi saraf yang terganggu. Itu (humor untuk mencairkan ketegangan) sudah dilakukan oleh Gus Dur,” tegas Pakar Sosiologi Universitas Indonesia ini.


Keempat, fungsi humor adalah dapat menghilangkan jarak antara cendekiawan dengan masyarakat sehingga hubungan keduanya menjadi lebih dekat dan akrab. Sebagaimana diketahui oleh banyak orang, Gus Dur pun selalu bertindak tanpa sekat dengan siapa pun dari kelas sosial apa saja.


“Beliau biasa bercanda menyampaikan gagasan dengan humor. Menjadikan suasana sehingga menjadi lebih akrab,” lanjut Zastrouw. 


Fungsi humor kelima adalah sebagai sarana menyampaikan kritik yang efektif, sekaligus mendobrak kejumudan berpikir sehingga kritik lebih mudah diterima. Gus Dur memahami betul budaya orang Indonesia, yakni guyon maton (candaan yang tidak membuat orang lain marah). 


Di zaman orde baru dulu, kata Zastrouw, kepengapan situasi sosial-politik berhasil didobrak Gus Dur melalui kritik yang sangat tajam. Namun objek yang dikritik, yaitu Presiden Soeharto tidak pernah merasa sakit hati.


Suatu ketika Gus Dur pernah cerita bahwa orang Indonesia apabila sakit gigi, harus berobat ke Singapura. Lalu seorang dokter di Singapura bertanya kepada orang Indonesia yang menjadi pasien itu, “Kenapa kok berobat sakit gigi saja harus ke Singapura, memang di Indonesia tidak ada dokter gigi?”


Dijawab singkat oleh sang pasien, “Ada kok dokter gigi di Indonesia. Tapi kalau berobat di Indonesia karena sakit gigi kan susah, karena di sana susah buka mulut.”


Menurut Zastrouw, kisah yang disampaikan oleh Gus Dur itu adalah sebuah bentuk kritik yang tajam dan luar biasa untuk mendeskripsikan betapa kuatnya hegemoni pada saat itu (zaman orde baru). “Sampai orang mau buka mulut (bicara) saja susah,” pungkas Zastrouw.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad