Nasional

Mumun Munawaroh, Penyuluh Agama yang Menyapa dan Menjaga Rohani Pasien di Rumah Sakit

NU Online  ·  Sabtu, 25 Oktober 2025 | 17:45 WIB

Mumun Munawaroh, Penyuluh Agama yang Menyapa dan Menjaga Rohani Pasien di Rumah Sakit

Mumun Munawaroh saat bertugas, menyapa dan mendoakan seorang pasien di RS Fatmawati. (Foto: dok/pribadi/Mumun)

Jakarta, NU Online

Sejak 1996, Mumun Fauziah Munawaroh mengabdikan diri sebagai penyuluh agama. Namun, pengabdiannya meluas dari ruang-ruang dakwah menuju lorong-lorong Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, sejak tahun 2015. Ia menebarkan penguatan rohani bagi mereka yang tengah berjuang antara sakit dan sembuh.


Dari ruang dakwah ke ruang pasien

Tahun 2015 menjadi titik penting dalam perjalanan dakwah Mumun. Saat itu, KUA Cilandak menandatangani nota kesepahaman dengan RS Fatmawati untuk menghadirkan layanan bimbingan rohani Islam bagi pasien rawat inap. Mumun, yang kala itu aktif di KUA Kebayoran Lama, dipercaya menjadi bagian dari tim penyuluh yang bertugas mendampingi pasien.


Sejak saat itu, setiap Kamis, ia datang ke rumah sakit. Selama 8 tahun, langkahnya menyusuri ruang demi ruang, terutama di Ruang Teratai, tempat pasien-pasien dari kalangan ekonomi lemah dirawat. Dalam satu kunjungan, ia bisa mengunjungi 4-6 kamar. Di setiap kamar, ada kisah, doa, dan harapan.


“Kadang mereka tidak butuh banyak kata. Cukup disentuh tangannya dan diajak bicara lembut. Kita harus hadir dengan hati. Penyuluh itu bukan hanya bicara, tapi merasakan apa yang mereka rasakan,” ujarnya dengan lembut.

Mumun Munawaroh, penyuluh agama, saat sedang menyapa dan mendoakan seorang pasien di RS Fatmawati. (Foto: dok. pribadi/Mumun) 

Bagi Mumun, setiap pasien memiliki pergulatan batin yang berbeda. Ada yang sabar dan tabah, ada yang kehilangan semangat, bahkan ada yang mulai melupakan ibadah karena fisiknya lemah. Di situlah peran penyuluh menjadi penting, menjaga agar cahaya rohani mereka tidak padam di tengah ujian sakit.


“Pesan saya kepada pasien selalu dua: jangan lupa bersyukur dan jangan tinggalkan ibadah. Allah memberi kelonggaran bagi orang sakit. Kalau tak bisa berdiri, duduklah; kalau tak bisa duduk, berbaringlah; bahkan jika hanya bisa memejamkan mata, ibadah tetap bisa dilakukan,” katanya kepada NU Online, Kamis (23/10/2025)


“Saya belajar banyak tentang rasa syukur di rumah sakit. Melihat orang yang tidak punya apa-apa, tapi tetap sabar dan ikhlas, membuat saya semakin sadar betapa luar biasanya nikmat sehat yang Allah beri,” tuturnya.


Perjalanan panjang seorang penyuluh

Saat ini, Mumun berusia 55 tahun. Ia telah menempuh perjalanan panjang sebagai penyuluh agama. Kariernya dimulai jauh sebelum berstatus Pegawai Negeri Sipil. Pada 1994, selepas lulus dari IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN Jakarta) jurusan Ushuluddin, ia mengabdi sebagai penyuluh honorer di Kanwil Kemenag DKI Jakarta.

Mumun Munawaroh saat ditemui NU Online. (Foto: dok. Mufidah) 

Delapan tahun lamanya ia menjalani masa pengabdian hingga akhirnya pada tahun 2002 diterima sebagai CPNS, dan dua tahun kemudian diangkat menjadi PNS penuh. Penugasan awalnya di KUA Setiabudi, lalu pada 2004 pindah ke KUA Kebayoran Lama hingga kini.


“Kalau dihitung dari 1996, sudah hampir 30 tahun saya jadi penyuluh. Awalnya di masyarakat, di majelis ibu-ibu, TK, dan pengajian kecil. Tapi kemudian Allah bawa saya ke rumah sakit,” kenangnya.


Menjaga rohani pasien dan diri sendiri

Selama 8 tahun mendampingi pasien RS Fatmawati, Mumun tidak hanya memberi, tetapi juga menerima banyak pelajaran hidup. Ia menyaksikan anak-anak kecil berjuang melawan leukemia, ibu-ibu muda yang tetap tersenyum di tengah sakit, hingga orang tua yang terus mengucap Alhamdulillah meski dalam perawatan intensif.


“Melihat anak kecil sakit, rasanya seperti hati ini ikut diremas. Tapi saya belajar bahwa sabar dan syukur itu tidak butuh banyak teori. Karena ketika melihat mereka berjuang, saya justru yang belajar dari mereka,” ungkapnya.

Mumun Munawaroh saat menyapa pasien di rumah sakit. (Foto: dok. pribadi/Mumun) 

Baginya, ruang rumah sakit bukan hanya tempat duka, tetapi ruang refleksi. Di sanalah ia menemukan semangat hidup yang sejati. Ia belajar bahwa sakit bisa menjadi jembatan menuju kesadaran spiritual yang lebih dalam.


“Bimbingan rohani di rumah sakit bukan pelengkap, tapi kebutuhan. Banyak pasien yang butuh diingatkan, didengarkan, dan dikuatkan. Karena kesembuhan itu tidak hanya datang dari obat, tapi juga dari hati yang tenang dan semangat yang tumbuh kembali,” tutur Mumun.


Mumun berharap, setiap rumah sakit negeri maupun swasta memiliki unit pembimbingan rohani yang aktif, dan penyuluh agama diberi ruang untuk hadir. Sebab menurutnya, bimbingan spiritual adalah bagian penting dari proses penyembuhan.


“Selama masih diberi umur dan sehat, saya ingin terus bermanfaat. Hidup ini terlalu singkat jika hanya diisi untuk diri sendiri, kalau orang sakit kehilangan semangat dan lalai dari ibadah, itu tanggung jawab kita. Kita harus datang, bukan menunggu mereka datang ke kita,” pungkasnya dengan senyuman.


Perjalanan panjang Mumun Munawaroh di RS Fatmawati mendapatkan pengakuan atas dedikasinya. Sebagai buah dari pengabdiannya yang tak kenal lelah, Mumun berhasil meraih predikat sebagai Juara II Penyuluh Agama Teladan Tingkat Provinsi DKI Jakarta 2022, sebuah pencapaian yang memvalidasi perannya sebagai penjaga rohani yang inspiratif.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang