Nasional

Pemohon Gugat Tunjangan Pensiun DPR ke MK, Minta Anggaran Dialihkan untuk Pendidikan

NU Online  ·  Selasa, 4 November 2025 | 19:30 WIB

Pemohon Gugat Tunjangan Pensiun DPR ke MK, Minta Anggaran Dialihkan untuk Pendidikan

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Sejumlah akademisi dan mahasiswa menggugat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara tentang tunjangan pensiunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 191/PUU-XXIII/2025.


Pada sidang pendahuluan, dihadapan Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Pemohon 1 Ahmad Sadzali, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menegaskan bahwa dana pensiun anggota DPR akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk kepentingan pendidikan, salah satunya untuk level perguruan tinggi.


Para Pemohon mengatakan pasal-pasal yang mengatur pemberian dana pensiun tersebut merugikan hak konstitusional rakyat. Mereka menegaskan bahwa pajak yang dibayarkan semestinya dipergunakan untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pembangunan sarana prasarana umum yang bermanfaat pada masyarakat, dibanding dialokasikan kepada Pejabat Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.


"Salah satunya bahwa berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf a UU 12/1980 diatur mengenai pembayaran pensiun bagi pejabat tinggi negara berhenti apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Namun, Pasal 17 ayat (1) UU a quo menjelaskan, apabila penerima pensiun meninggal dunia, maka diberikan dana pensiun janda/duda kepada suami/istrinya yang sah sebesar setengah dari pensiun yang diterima," tulis laman MKRI, dikutip NU Online pada Selasa (4/10/2025).


Kontradiksi antara kedua pasal tersebut, lanjutnya, menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab tidak jelas apakah meninggal dunianya penerima pensiun menyebabkan penghentian total pembayaran pensiun ataukah sekadar perubahan penerima manfaat.


Lebih lanjut, katanya, ketidakjelasan tersebut tidak sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, yang terkait dengan asas equality before the law juga mengandung asas kepastian hukum yang menghendaki suatu norma harus mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiksi atau dapat dilaksanakan.


"Oleh karena itu, siapapun dapat memahami makna atas suatu norma atau ketentuan hukum secara jelas," tegasnya.


Para pemohon juga menjelaskan, di negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, dana pensiun bagi pejabat publik berasal dari iuran atau potongan gaji selama mereka menjabat. Skema ini, katanya, dianggap lebih adil karena penerima ikut berkontribusi.


Sementara di Indonesia, dana pensiun DPR sepenuhnya berasal dari APBN tanpa kontribusi yang sebanding, sehingga dinilai tidak adil dan dianggap pemborosan uang rakyat. Indonesia sebaiknya meniru sistem pensiun di negara-negara tersebut, apalagi banyak sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan yang lebih perlu diprioritaskan untuk kesejahteraan masyarakat.


“Besaran yang diterima jika dirata-ratakan hampir 42 kali lipat lebih besar dari upah minimum Jakarta sebesar Rp5.390.000. 


Dengan begitu banyaknya penghasilan yang didapatkan oleh DPR RI selama menjabat, ditambah lagi dengan dana pensiun yang diberikan sepanjang dimaknai seumur hidup menjadikan tidak seimbangnya antara hak individu dengan kepentingan yang lebih besar yaitu kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.


Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel juga memberikan beberapa catatan pada uraian kedudukan hukum para Pemohon, di antaranya kewajiban membayar pajak. Ia menyarankan para Pemohon memperkuat dalil kerugian dari berlakunya norma yang diujikan.


Hakim Konstitusi Guntur juga menasihati para Pemohon agar membuat perbandingan dengan yang berlaku di beberapa negara.

 

“Pada berbagai negara ada namanya parlemen, maka buatkan perbandingan dengan beberapa negara sehingga didapat polanya,” jelas Guntur.


Ketua MK Suhartoyo menutup sidang dengan memberi waktu 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan paling lambat Senin, 10 November 2025 pukul 12.00 WIB. Sidang berikutnya akan membahas pokok perbaikan permohonan tersebut.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang