Nasional

Penanganan KDRT Jadi Sorotan: dari Implementasi UU hingga Beban Pembuktian Korban

NU Online  ·  Senin, 15 Desember 2025 | 16:00 WIB

Penanganan KDRT Jadi Sorotan: dari Implementasi UU hingga Beban Pembuktian Korban

Gambar hanya ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Khotimun Sutanti menilai, penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala serius, meskipun Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah berlaku sejak 2004.


“Undang-undangnya sudah cukup lama, sejak 2004. Namun memang implementasinya masih terus mengalami kendala dalam penanganan perkaranya oleh aparat penegak hukum, dan dampaknya langsung dihadapi oleh korban,” ujarnya dalam kegiatan Soft Launching Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia: Fokus pada Kekerasan Ranah Personal yang diselenggarakan secara daring oleh Komnas Perempuan, Senin (15/12/2025).


Berdasarkan pengalaman pendampingan LBH APIK, mayoritas korban KDRT memilih menyelesaikan kasus melalui jalur non-litigasi atau perdata, seperti perceraian. Korban umumnya enggan melaporkan pelaku ke ranah pidana dengan berbagai pertimbangan, mulai dari masa depan anak, nama baik keluarga, hingga tekanan dari lingkungan sekitar.


“Yang penting bagi mereka sudah putus perkawinan dan tidak lagi hidup bersama pelaku. Bahkan ada korban yang tidak menuntut hak gono-gini, agar tidak lagi memiliki hubungan apapun dengan mantan suaminya,” jelas Khotimun.


Sementara itu, korban yang melaporkan kasus KDRT ke jalur pidana juga menghadapi persoalan tersendiri. Salah satunya adalah penerapan restorative justice yang kerap disalahartikan sebagai upaya damai tanpa mempertimbangkan relasi kuasa antara pelaku dan korban.


“Seolah-olah restorative justice itu damai, padahal di baliknya ada relasi kuasa, tekanan keluarga, hingga ketidaktahuan korban atas dampak hukum yang akan dihadapi. Bahkan masih sering muncul anggapan, ‘ah, cuma KDRT’,” ungkapnya.


Khotimun menyampaikan catatan LBH APIK menyoroti adanya praktik delayed justice dalam penanganan KDRT. Salah satu contohnya dialami korban penelantaran ekonomi dalam perkawinan adat yang tidak diakui secara hukum negara, sehingga laporannya kerap ditolak karena dianggap tidak memenuhi unsur KDRT.


Selain itu, persoalan pembuktian menjadi hambatan serius bagi korban. Meski Pasal 55 UU PKDRT menyebutkan bahwa keterangan saksi korban merupakan alat bukti yang sah jika disertai satu alat bukti lain, dalam praktiknya aparat penegak hukum masih sering meminta saksi tambahan selain korban.


Khotimun menjelaskan kendala semakin berat dalam kasus KDRT psikis. Korban kerap kesulitan memperoleh surat keterangan dari psikolog, karena belum semua psikolog siap mengeluarkan dokumen yang dibutuhkan dalam proses hukum.


“Padahal peran psikolog sangat penting, bukan hanya dalam kasus KDRT, tetapi juga kekerasan seksual dan bentuk kekerasan lainnya. Ini perlu diperkuat melalui advokasi bersama,” ujarnya.


Masalah lain yang disoroti adalah kecenderungan membebankan pencarian alat bukti kepada korban. Dalam beberapa kasus, korban bahkan diminta menghadirkan saksi dengan biaya sendiri, padahal seharusnya proses pendalaman dan pencarian alat bukti menjadi tanggung jawab penyidik.

​​​​​​
Khotimun menyoroti penafsiran Pasal 44 ayat (4) UU PKDRT terkait kekerasan fisik yang dianggap tidak menyebabkan penyakit atau halangan pekerjaan, sehingga ancaman hukumannya tergolong ringan.


“Kalau korban babak belur bertahun-tahun tapi masih bisa bekerja, misalnya masih bisa memasak untuk berjualan, lalu dianggap itu KDRT ringan. Padahal bisa saja korban sudah mengalami dampak serius, bahkan disabilitas. Ini sangat tidak adil bagi korban,” tegasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang