Nasional

Penjelasan KH Said Aqil Siroj tentang Hizib Nashar

Rabu, 30 Oktober 2019 | 20:25 WIB

Penjelasan KH Said Aqil Siroj tentang Hizib Nashar

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menghadiri Istighotsah dan Ijazah Hizib Nashar di PBNU (Foto: NU Online/Ahdori)

Jakarta, NU Online
Salah satu tradisi Nahdlatul Ulama adalah membekali warganya agar mengamalkan ijazah tertentu. Ijazah sendiri merupakan amalan-amalan yang berasal dari para wali Allah yang apabila diamalkan ayat tersebut bisa memberikan manfaat bagi yang mengamalkannya. 

Salah satu ijazah yang dikenal warga NU adalah ijazah Hizib Nashar. Ulama yang terkenal dengan ijazah ini ulama kharismatik  asal Pandeglang, Banten KH Abuya Dimyati. Khasiat bagi pengamal hizib itu antara lain mendapat  keberkahan, keamanan, dan kedamaian

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan ijazah Hizib Nashar berasal dari ulama terkemuka asal Tunisia, Wahid Abil Hasan bin Asatiri bin Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar. 

Wahid Abil Hasan, kata Kiai Said, adalah wali Allah yang wafat pada 571 Hijriah, persis dengan tahun kelahirannya Nabi muhammad SAW. Bedanya, Nabi Muhammad lahir 571 Masehi sementara Wahid Abil Hasan wafat 571 Hijriah. Wahid Abil Hasan sendiri merupakan murid dari Abdussalam bin Massis yang juga anak didik Al-Gouth Suaib bin Abu Madyan. 

“Baru saja kita mendapatkan ijazah Hizbi Nashar lil Imam atau Syekh Wahid Abil Hasan Asatiri bin Ali bin Abdullah bin abdul Jabbar yang wafat 571 Hijriah. Persis sama dengan lahirnya Kanjeng Nabi. Kanjeng Nabi lahir Maret 571 Masehi. Wahid Abil Hasan wafat 571 Hijriah. Pasti mengandung makna, mengandung rahasia,” kata Kiai Said saat sambutan pada Istigotsah dan Doa Bersama di halaman Gedung PBNU di Jakarta Pusat, Rabu (30/10) malam. 

Kiai Said menyebut, seseorang yang mengamalkan ijazah Hizib Nashar berarti membangun silaturahim dengan para wali Allah yang telah wafat. Sebagai Muslim awam, Muslim yang masih mencintai materi, ujar Kiai Said, harus sering mengirimkan doa kepada wali Allah karena mereka dinaungi oleh Nur Muhammad. 

“Kita harus kontak hubungan dengan beliau-beliau yang sudah berada di alam universal. Itu sudah menjadi entitas dan dinaungi oleh nur Muhammad, haqiqah Muhamadiyah. Mudah-mudahan kita semua bergabung,” tutur Kiai Said.

Di sisi lain, lanjutnya, doa dan menziarahi makam para wali Allah, sebagai tanda menghormati  Mualim yang sudah meninggal dunia. Cara menghormati guru atau ulama yang masih hidup tentu berbeda dengan menghormati yang sudah meninggal dunia. 

Jika masih hidup, sambungnya, cara menghormatinya adalah denga mencium tangannya, meminta nasihatnya, mengunjungi rumahnya. Namun, jika sudah tiada maka satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah dengan mengirimkan surat Al-Fatihah, tahlil dan mengamalkan amalannya. 

Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Abdullah Alawi