Nasional

Perundungan Sudah pada Tahap Fatal, Guru Tidak Bisa Dibiarkan Berjuang Sendiri

NU Online  ·  Rabu, 26 November 2025 | 12:30 WIB

Perundungan Sudah pada Tahap Fatal, Guru Tidak Bisa Dibiarkan Berjuang Sendiri

Ilustrasi guru di sekolah. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti meningkatnya kasus perundungan di lingkungan pendidikan yang kini mengarah pada kekerasan fatal. Ia menegaskan bahwa guru tidak boleh dibiarkan menghadapi persoalan tersebut sendirian, sebab ekosistem perlindungan anak di sekolah masih belum berjalan optimal.


Puan menyampaikan bahwa momentum Hari Guru Nasional 2025 dengan tema Guru Hebat, Indonesia Kuat harus menjadi pengingat bahwa tantangan dunia pendidikan semakin berat. Beban guru di era digital, menurutnya, jauh lebih kompleks dibanding dekade sebelumnya.


“Tugas guru saat ini jauh lebih berat dibanding dekade sebelumnya. Guru tidak hanya mengajar, tetapi menjadi penjaga nilai moral, pelindung siswa dari kekerasan dan perundungan, pembimbing dalam era informasi yang tidak terbendung, serta figur yang menjaga arah pembentukan karakter generasi muda,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Selasa (25/11/2025).


Ia mengungkapkan keprihatinan mendalam atas serangkaian kasus perundungan yang menewaskan siswa dalam beberapa bulan terakhir. Puan menyorot tragedi yang menimpa MH di Tangerang Selatan dan TA, siswa sekolah dasar di Wonosobo, yang menunjukkan bahwa kekerasan antarsiswa telah memasuki fase mengkhawatirkan.


“Rangkaian peristiwa ini merupakan alarm nasional bahwa kekerasan di lingkungan sekolah telah mencapai tahap yang fatal, bukan lagi sekadar perilaku bermasalah antar siswa,” jelasnya.


Puan menilai kondisi tersebut menjadi bukti bahwa sistem perlindungan anak di sekolah belum bekerja maksimal. Guru, katanya, memang menjadi benteng terakhir bagi peserta didik, tetapi tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan aman tidak bisa hanya dibebankan kepada pendidik.


“Negara dan sekolah harus menghadirkan sistem yang mendukung,” ujar Puan.


Melihat pola perundungan yang semakin beragam, mulai dari kekerasan verbal hingga fisik yang merenggut nyawa, ia mendorong adanya pedoman penanganan bullying yang lebih terstruktur. Pedoman itu harus membantu guru menjalankan peran pencegahan kekerasan dengan lebih efektif.


“Tentunya termasuk peran guru agar semakin dimaksimalkan untuk mencegah aksi-aksi bullying di lingkungan pendidikan,” ungkapnya.


Kesejahteraan guru masih jadi PR besar negara

Selain persoalan perundungan, Puan menyoroti masalah kesejahteraan guru yang masih jauh dari memadai. Banyak guru honorer dan pendidik di daerah tertinggal bekerja dalam keterbatasan fasilitas maupun jaminan sosial.


“Guru adalah fondasi peradaban bangsa. Mereka membutuhkan dukungan penuh negara agar dapat menjalankan tanggung jawab yang semakin kompleks,” katanya.


Karena itu, Puan meminta pemerintah memperkuat program nasional pencegahan perundungan, tidak hanya berupa regulasi, tetapi juga implementasi nyata di seluruh satuan pendidikan. Pelatihan bagi guru, lanjutnya, perlu diperluas, terutama dalam literasi digital, psikologi anak, dan deteksi dini kekerasan.


“Beri pelatihan kepada guru untuk menghadapi tantangan zaman, termasuk literasi digital, psikologi anak, dan deteksi dini kekerasan. Bentuk ekosistem sekolah yang aman dan ramah anak dengan dukungan konselor dan kerja sama orang tua,” tutur Puan.


Ia menegaskan kembali bahwa di tengah berbagai tantangan dan pengaruh negatif dunia digital, negara harus memastikan guru tidak berjuang sendirian.


“Bangsa yang kuat dibangun oleh guru yang kuat. Di tengah tantangan perundungan dan pengaruh negatif digital, komitmen guru adalah tiang penyangga moral generasi muda,” tandasnya.


Data kasus kekerasan dan perundungan

Kasus kekerasan di lingkungan satuan pendidikan melonjak. Jumlahnya mencapai 573 kasus pada 2024 atau meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ironisnya, pelaku terbanyak adalah guru atau tenaga kependidikan.


Data ini dihimpun oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melalui pemberitaan di media massa dan kanal pengaduan JPPI. Ini menunjukkan tren yang makin mengkhawatirkan. Pada 2020 ada 91 kasus, lalu 142 kasus (2021), 194 kasus (2022), 285 kasus (2023), dan 573 kasus pada 2024.


Kasus kekerasan seksual jadi yang tertinggi dengan 42 persen, disusul perundungan (31 persen), kekerasan fisik (10 persen), kekerasan psikis (11 persen), dan kebijakan diskriminatif (6 persen).

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang