Pesantren Perlu Kembangkan Perspektif di Luar Ranah Keagamaan
Jumat, 16 Oktober 2020 | 17:30 WIB
Pemahaman perspektif yang lebih luas itu penting guna mengembangkan Islam agar dapat merengkuh kehidupan yang lebih sempurna. (Foto: NU Online)
Muhammad Syakir NF
Penulis
Jakarta, NU Online
Dinamika dunia terus berkembang sedemikian rupa. Pesantren sebagai sebuah entitas dan institusi pendidikan tentu tidak terhindarkan dari perubahan-perubahan yang berlangsung. Hal demikian juga perlu direspons dengan pengembangan perspektif tanpa meniadakan prinsip awalnya dalam bidang keagamaan.
"Perspektif yang harus dikembangkan bukan hanya berkaitan dengan ilmu keagamaan apalagi hanya ubudiyah tapi mungkin berkaitan dengan politik ekonomi hubungan antarbangsa hubungan internasional," kata Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas'udi saat menjadi pembicara kunci pada Muktamar Pemikiran Santri Nusantara Seri 4, Jumat (16/10).
Menurutnya, pemahaman perspektif yang lebih luas itu penting guna mengembangkan Islam agar dapat merengkuh kehidupan yang lebih sempurna. "Supaya Islam ini bisa betul-betul merengkuh kehidupan secara lebih syamil kamil dan bisa menjadi penerang di masyarakatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," lanjutnya.
Memang, jelasnya, pesantren harus memiliki kreativitas untuk mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan keagamaan khususnya, dan ilmu sosial yang terkait dengan ilmu agama. Hal itu guna mengantisipasi kiprah para santrinya agar bisa terserap masyarakat.
"Berinovasi menyediakan ilmu pengetahuan dan juga wawasan dari santrinya sekaligus keterampilan untuk bisa membawa umatnya agar sesuai dengan perkembangan zaman yang terus maju," katanya.
Hal inilah yang menjadi tantangan yang harus dipahami oleh semua komunitas pesantren, baik yang bersifat salafi atau modern atau campuran.
Kiai Masdar mengungkapkan bahwa pondok pesantren di masanya betul-betul murni belajar kitab-kitab kuning sebagai referensi utama dalam mengkaji problematika keagamaan dan zaman saat itu.
Namun hari ini, lanjutnya, tidak hanya pengetahuan dari kitab-kitab itu saja, melainkan juga sudah dilengkapi dengan kitab kontemporer, baik yang bersifat keagamaan, seperti fiqih, aqidah, dan semacamnya, juga yang bersifat umum seperti sosiologi, antropologi, hingga ilmu politik.
Fakta demikian menunjukkan bahwa pesantren tidak lagi bertumpu secara mutlak kepada kiainya. Sebab, kurikulum yang disajikan juga tidak sepenuhnya pengetahuan yang berasal dari kiai, melainkan ada pihak luar yang turut serta. Bahkan, katanya, ada pesantren yang tidak memiliki kiai, yang ada hanyalah direktur. "Itulah perkembangan yang tidak bisa kita sangkal hari ini," katanya.
Bukan saja ilmu yang diajarkan pesantren tidak lagi hanya bertumpu pada kitab salaf, tapi juga merujuk pada buku kontemporer, modern. Lebih dari itu, tata cara atau metode pengajarannya juga diadopsi dari luar. Hal ini berdampak pada muaranya yang tidak sepenuhnya menjadi kiai, melainkan juga mengisi ruang birokrasi.
"Saya pikir ini merupakan satu perkembangan yang tidak perlu disesalkan. Ini perkembangan modern. Kita semua tahu bahwa ilmu itu memang berkembang," kata kiai kelahiran Banyumas, 66 tahun yang lalu itu.
Hal terpenting, menurutnya, pesantren harus tetap pada jalurnya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang tidak terasing dari masyarakat di sekitarnya. "Yang penting pesantren tetap bisa menjaga misi utamanya, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang bertumpu kepada kemaslahatan rakyat, kemaslahatan umat, dan tidak terlalu terasing dari cara berpikir dan pertumbuhan masyarakatnya," pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua