Nasional

Pidato Lengkap Gus Yahya: Kesarjanaan sebagai Status dan Kapasitas-Kompetensi

NU Online  ·  Rabu, 10 September 2025 | 16:30 WIB

Pidato Lengkap Gus Yahya: Kesarjanaan sebagai Status dan Kapasitas-Kompetensi

Ketum PBNU Gus Yahya saat menyapa para wisudawan Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, Jawa Timur, pada 6 September 2025. (Foto: TVNU/Junaedin Ghufron)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memberi sambutan dalam Wisuda Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo (UNUSIDA) IX di Surabaya, Jawa Timur, pada Sabtu, 06 September 2025/ 13 Rabiul Awwal 1447 H.


Dalam kesempatan ini, Gus Yahya menjelaskan kesarjanaan sebagai status dan kapasitas hingga kompetensi. Selain itu, ia juga menyampaikan kepada para sarjana yang baru saja diwisuda tentang prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mesti dipegangi dalam mengarungi pergulatan kehidupan. Tak lupa, kiai asal Rembang, Jawa Tengah, itu, mengajak para wisudawan menguatkan tekad untuk bukan hanya mencari kehidupan yang lebih baik, tetapi juga ikut berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.


Berikut adalah pidato Gus Yahya dalam kesempatan tersebut.

***

Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh.


Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillāh Sayyidinā wa Maulānā Muhammad ibni Abdillāh, wa 'alā ālihii wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.


Yang saya hormati pimpinan Nahdlatul Ulama Sidoarjo, Wakil Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Sidoarjo. Yang saya hormati—saya membawa rombongan datang kemari tadi; Wakil Ketua Umum (PBNU)—KH Doktor beneran ini, doktor pakai sekolah—Dr Amin Said Husni. Yang saya hormati Ketua Tanfidziyah (PBNU) Pak Fahmi Akbar Idris. Yang saya hormati Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo beserta segenap sidang senat Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo. Yang saya hormati para tamu undangan, baik dari jajaran pimpinan Nahdlatul Ulama maupun pemerintah daerah. Yang saya banggakan para wisudawan Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo. Yang saya hormati para wali mahasiswa.


Alhamdulillah, saya merasa bangga dan berbesar hati ikut menghadiri wisuda UNUSIDA pada pagi hari ini.


Saya mohon maaf karena saya tidak pakai toga hari ini karena saya tidak termasuk di dalam jajaran pengampu UNUSIDA ini—dan memang pakaian resmi saya sebagai Ketua Umum PBNU seperti ini. Jadi saya di mana-mana dalam acara resmi kostum saya seperti ini.


Alhamdulillah, pagi ini saya mendapat laporan bahwa wisudawan UNUSIDA kali ini ada 574 wisudawan. Ini sudah bisa disebut sebagai prestasi yang patut dibanggakan dari Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo ini.

 

 

Sarjana dalam tradisi Islam dan barat

Saudara-saudara, para wisudawan, Bapak Ibu sekalian, yang saya hormati.

Hari ini kita menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang telah mencapai ujung dari proses pembelajarannya di Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo ini sehingga akan segera mendapatkan pengesahan dari akhir studi mereka semua dengan wisuda sebagai sarjana-sarjana UNU Sidoarjo ini. Sarjana. Sesudah hari ini nanti, anak-anak kita, putra-putri panjenengan, para wali mahasiswa, ini akan menjadi sarjana. Apa artinya sarjana itu?


Di dalam tradisi keilmuan yang kita miliki, kita punya tradisi keilmuan Islam—yang sampai sekarang masih dihidupi di pesantren-pesantren—di samping juga tradisi keilmuan dari sistem pendidikan umum yang sekarang mendominasi sistem pendidikan secara global, mulai dari SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi, seperti yang dijalani oleh anak-anak kita ini.


Di dalam tradisi keilmuan Islam, kesarjanaan itu lebih merupakan pengakuan atau rekognisi komunal—rekognisi dari lingkungan para ilmuwan mengenai kapasitas dan kompetensi seseorang. Kesarjanaan di dalam tradisi Islam lebih bersifat rekognisi kualitatif, rekognisi substansial, ketimbang pengakuan formal. Itu sebabnya, sulit menemukan padanan di dalam bahasa-bahasa lain terhadap istilah ulama.


Dulu, di dalam wacana kajian-kajian berbahasa Inggris, misalnya, ulama itu seringkali disebut dengan Islamic scholars, sarjana-sarjana Islam, ulama. Tetapi kajian yang lebih kini mulai menandai bahwa sebetulnya ada muatan makna substansial yang berbeda antara scholars dengan ulama.


Dulu, para ulama di masa lalu, seperti, katakanlah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi'i, Al-Imam Muhammad Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, seperti misalnya Imam Fahrurrazi, dan lain sebagainya, mereka dikenal sebagai scholars, sebagai sarjana-sarjana. Walaupun kita tahu pada waktu itu tidak ada sekolahnya.


Imam Syafi'i itu dulu kalau dicari sekolahnya, SD, SMP di mana, universitasnya di mana, tidak ada. Karena dalam tradisi keilmuan yang sebetulnya sampai sekarang ini masih berjalan, pembelajaran itu dilakukan sebagai kegiatan yang sepenuhnya substansial antara pengajaran guru kepada murid-muridnya. Dan apabila seseorang mencapai kapasitas substansial, dalam hal ini adalah komunitas para ahli ilmu, komunitas ulama akan memberikan pengakuan, rekognisi, bahwa orang yang bersangkutan adalah seorang alim dengan kompetensi yang dapat diandalkan.


Di sisi lain, kita tahu bahwa ada tradisi keilmuan yang sebetulnya bermula dari Barat, dari Eropa, tapi kemudian berkembang menjadi satu sistem yang dominan di dalam keseluruhan sistem pendidikan global yang diatur dengan hierarki pendidikan tertentu. Ada pendidikan dasar menengah sampai dengan pendidikan tinggi. Kemudian dari jenjang ke jenjang lulusannya diberi pengakuan dengan penanda formal ijazah dan status. Dari satu jenjang ke jenjang ada ijazah. Dan sesudah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini mendapatkan status sebagai sarjana.


Kalau kita tanyakan, misalnya, kepada penerjemah virtual, penerjemah internet, misalnya, tanyakan kepada Google Translator, misalnya, tentang bahasa Arab dari sarjana sekarang, itu yang keluar bukan ulama, yang keluar itu khirrij, sarjana itu sekarang. Coba sampean cek di Google Translator, sarjana itu bahasa Arabnya apa? Khirrij, bukan ulama. Tapi bahasa Inggrisnya tetap scholars, cuma bahasa Arabnya itu khirrij, bukan ulama.


Ini berarti bahwa apabila dilihat dari kacamata tradisi keilmuan Islam, kesarjanaan sebagaimana yang ada atau yang merupakan hasil dari sistem pendidikan umum, itu dilihat sebagai lulusan saja. Lulusan itu berarti status: sudah lulus. Sementara kapasitas dan kompetensi, ini soal lain.


Bahkan di dalam perguruan-perguruan tinggi Islam itu sendiri, seperti Azhar  atau yang lain-lain, internasional, apalagi UIN, ini lulusannya sebutannya khirrij, lulusan, belum mendapatkan pengakuan sebagai ulama, walaupun dia lulus dari perguruan tinggi keagamaan Islam.


Saya mengatakan ini semua, Saudara-saudara sekalian dan Bapak Ibu yang saya hormati, untuk menggambarkan bahwa selain berpikir tentang sarjana sebagai status, kita perlu memahami dan merenungi juga tentang kesarjanaan sebagai kapasitas dan kompetensi.


Anak-anak kita hari ini diwisuda dan akan lulus menjadi sarjana dari UNUSIDA ini. Pertanyaannya: kesarjanaan kalian ini kesarjanaan sebagai status atau kesarjanaan sebagai kompetensi, sebagai kapasitas? Ini pertanyaan yang mendasar. Dan ini terkait dengan tujuan Anda semua mengikuti pembelajaran di perguruan tinggi yang bernama UNUSIDA ini. Kalian belajar di perguruan tinggi ini untuk keperluan apa? Saya sering menyebut-nyebut dalam berbagai kesempatan bahwa kita melakukan sesuatu itu harus ada, harus jelas keperluannya apa.


Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam itu saja diangkat menjadi utusan oleh Allah subhanahu wa ta’ala itu ada keperluannya. Walaupun sebagai rasul itu juga status. Rasul itu status, nabi itu status. Tapi di dalamnya ada keperluannya dan tidak bisa status itu dipergunakan bukan untuk keperluannya. Makanya Kanjeng Nabi itu pernah ditawari menjadi raja, pernah ditawari untuk memilih harta apa pun yang dia inginkan asalkan meninggalkan dakwahnya. Beliau mengatakan, "Tidak. Walaupun kau letakkan matahari di tangan kananku, rembulan di tangan kiriku, aku tidak berhenti, tidak akan berhenti dari dakwah ini sampai aku mencapai keberhasilan atau aku binasa karenanya." Ini Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Karena jelas bahwa status rasul, risalah beliau, kenabian beliau, adalah untuk dakwah, untuk tabligh kalimatillah, tidak bisa untuk yang lain.


Dulu, setelah—bahkan sebelum— muktamar dan kemudian saya terpilih menjadi ketua umum PBNU, saya juga katakan bahwa saya menjadi ketua umum PBNU untuk keperluan tertentu, bukan untuk yang lain. Beberapa hari sesudah muktamar, saya nyatakan bahwa saya tidak mau menjadi ketua umum PBNU untuk keperluan selain NU. [Hadirin tepuk tangan]. Kalau saya disuruh jadi ketua umum supaya bisa nyalon presiden atau wakil presiden, saya tidak mau. Saya bilang begitu. [Hadirin tepuk tangan]. Karena semua harus jelas keperluannya apa.


Nah, anak-anak ini, calon-calon—ini sudah diwisuda belum? Belum ya tadi ya? Sudah? Sudah diwisuda? Wah, sudah sarjana semua ini. Malah sudah diwisuda. Ini sarjana-sarjana ini, dulu sejak awal, belajar di UNUSIDA ini keperluannya apa?


Karena orang belajar di perguruan tinggi itu bisa punya tujuan bermacam-macam. Ada yang memang tertarik kepada ilmu sebagai sains. Tertarik pada pengembangan ilmu pengetahuan. Ada yang karena ingin meningkatkan harga untuk memasuki lapangan kerja. Ada yang memang tertarik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ada yang karena mengincar lapangan kerja—supaya  bisa mendapatkan, mencari pekerjaan dengan status dan penghasilan lebih tinggi. Bahkan ada, mungkin, sekadar supaya lebih gampang mencari jodoh, misalnya.


Nah, ini saudara-saudara sekalian. Setelah Anda semua diwisuda dan menjadi sarjana-sarjana, Anda harus punya pegangan yang lebih tegas mengenai keperluan yang hendak kalian kejar sesudah wisuda ini. Kalian bawa apa? Karena hidup kalian, insyaallah, mudah-mudahan, semoga, masih panjang. [Hadirin mengucapkan ‘Amin’]. Dan tantangan-tantangan di depan kalian masih sangat banyak.


Ini wisuda S1 berapa orang? Seluruhnya S1? S2 belum ada ya? Saya dulu S2 saya selesaikan, mau ngambil S3, dimarahi saya, enggak boleh, dimaki-maki. Dibilang sama orangnya, "Yang dua aja belum bayar kok mau mengambil tiga," katanya. Sarjana S1 itu kira-kira umur mungkin sekitar 22-23 tahun. Masih sangat muda. Ini disuruh kawin buru-buru juga masih agak takut-takut ini pasti. Saya sudah pernah mengalami semua, sampai sekarang umur saya hampir 60 tahun. Itu pengalaman hidup yang luar biasa dengan tantangan-tantangan yang seringkali membuat terengah-engah karena terasa begitu berat.

 

 

Menyiapkan mental dan ikhtiar 

Maka, pertama-tama, saya ingin mengajak sarjana-sarjana baru ini untuk menyiapkan mental bahwa walaupun kalian semua baru saja sudah diwisuda menjadi sarjana—sekarang, urusan kalian belum selesai. Urusan kalian belum selesai. Sesudah ini kalian masih akan menghadapi banyak urusan-urusan untuk menghadapi pergulatan hidup kalian ke depan. Maka yang pertama-tama harus siap mental. Siap mental.


Alhamdulillah kalian ini belajar di universitas bukan universitas sembarangan. Kalian ini belajar di Universitas Nahdlatul Ulama. Universitas Nahdlatul Ulama. Saya tidak akan tanya peringkat WUR-nya berapa. WUR itu World University Ranking. Tingkat berapa ini? Tingkat 17.000 berapa? Tingkat 500-an. Wah, sudah luar biasa—sudah 500-an. Saya tidak tanya itu.


Tapi saya ingin sampaikan keyakinan saya kepada para wisudawan, adik-adik sekalian dan juga para wali mahasiswa, orang tua dari para sarjana baru ini, bahwa Nahdlatul Ulama, insyaallah, insyaallah, memberikan bukan hanya status penyelesaian pendidikan saja, tetapi insyaallah juga membawa di dalam dirinya barokah dari para muassis Nahdlatul Ulama. [Hadirin menjawab ‘Amin’].


Maka saya minta kepada para wisudawan ini untuk tidak pernah lupa bahwa kalian ini sarjana bukan sembarang sarjana. Kalian ini adalah sarjana dari Universitas Nahdlatul Ulama. Kalian adalah sarjana-sarjana yang menempel di dalam diri kalian apa yang menjadi barokah dari Nahdatul Ulama. Dengan Nahdlatul Ulama ini, Saudara sekalian, Anda semua hidup di dalam satu tradisi keagamaan yang menyambungkan antara ikhtiar-ikhtiar duniawi kita, ikhtiar-ikhtiar lahiriah kita, dengan keyakinan dan harapan akan karunia Allah subhanahu wa ta'ala.


Maka di dalam mengarungi pergulatan hidup selanjutnya, saya mengajak Saudara-saudara sekalian untuk tidak pernah melepaskan sambungan antara ikhtiar-ikhtiar lahiriah kita itu dengan keyakinan dan harapan kepada karunia Allah. Tidak lepas antara ikhtiar lahiriah itu dengan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon pertolongan Allah.


Saya mendapatkan penegasan ajaran yang luar biasa dari seorang guru yaitu As-Syekh Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith Ba'alwi di Madinah, ketika beliau mewejang saya, mengatakan bahwa kullu syaiyajri alat-taqdir, walakin la na'rifut taqdir illa ba'dal waqa’, fa’alainal ikhtiar; fawanan wafaqa-khtiyaruhu bihtiarillah fahua sa’id, waman lam yuwafiq faaihi ridla’. Segala sesuatu di dunia ini berjalan di atas takdir. Kalau bukan karena takdir tidak akan sesuatu terjadi. Masalahnya kita ini tidak mengetahui takdir sampai takdir itu terjadi beneran, baru kita tahu takdirnya seperti apa. Itulah sebabnya kita diwajibkan berikhtiar karena kita tidak tahu takdirnya seperti apa, sebelum takdir itu terjadi. Kalau sudah terjadi, barang siapa ikhtiarnya cocok dengan pilihan Allah, sehingga menjadi takdir, berarti dia beruntung dan harus bersyukur. Kalau tidak cocok, dia wajib rida, karena yang punya takdir adalah Allah subhanahu wa ta'ala.


Maka, pertama, saya ingin pesankan kepada saudara-saudara sekalian. Kapan saja kalian ingin menggapai sesuatu, mengikhtiarkan untuk menggapai sesuatu, jangan sampai lupa memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah sudah menjanjikan bahwa barang siapa memanggil Allah akan menjawab. Barang siapa meminta Allah akan memberi. Ud'ūnī astajib lakum (QS. Al-Ghafir: 60). Dan Allah itu kalau diminta tidak mungkin memberi kurang—itu tidak mungkin. Kurang dari yang diminta, itu tidak mungkin, karena Allah Maha Kaya. Sekurang-kurangnya pasti memberi pas seperti yang diminta. Malah seringkali lebih. Tinggal persoalannya kapan diberikan, dalam bentuk apa? Apakah dibentukkan persis seperti yang diminta atau diganti dengan yang lebih baik? Ini semua ‘ala masyiatillah, terserah kehendak Allah subhanahu wa ta'ala. Ini yang pertama.


Dan, yang kedua, di dalam berikhtiar kita tidak perlu was-was, tidak perlu khawatir selama kita senantiasa ingat gantungan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala karena faidzā 'azamta fatawakkal alallāh (QS. Ali Imran: 159). Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kenapa? Karena takdir belum terjadi. Kalau sesuatu belum terjadi, percuma dikhawatirkan. Tidak usah khawatir wong belum terjadi. Kalau sudah terjadi tinggal apakah mau bersyukur atau rida. Kalau terjadi sesuatu yang membuat kita gembira, kita bersyukur. Kalau terjadi sesuatu yang mungkin bukan yang kita harapkan, kita juga tidak punya pilihan selain rida, karena tidak rida juga percuma.


Nah, dengan sikap mental seperti ini, insyaallah tantangan apa pun yang kita hadapi ke depan tidak akan menggoyahkan langkah kita untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam hidup, untuk mencapai kemuliaan-kemuliaan masa depan. Insyaallah.

 

 

Berbakti kepada bangsa dan negara

Satu hal lagi yang ingin saya berbagi dengan saudara-saudara sekalian dan para hadirin. Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Senin sore sampai malam tanggal 1 September yang lalu, saya mengikuti pertemuan bersama para tokoh dan pimpinan agama, juga sejumlah pejabat pemerintah dan tokoh politik bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana. Di dalam kesempatan itu, Presiden Prabowo memaparkan strategi ekonomi yang sedang beliau jalankan, yang sedang dijalankan oleh pemerintah dan apa saja yang dihasilkan. Di antara yang beliau sebut di dalam paparan itu adalah sekian banyak lapangan kerja yang terbuka sebagai hasil dari strategi ekonomi yang beliau terapkan. Saya mungkin tidak bisa menyebut angka tepatnya karena tidak hafal, tapi beliau menyebut sampai jutaan lapangan kerja baru terbuka dan tersedia sebagai hasil dari strategi ekonomi yang beliau kembangkan.


Maka untuk sarjana-sarjana yang sedang berpikir untuk segera bisa mendapatkan lapangan kerja dan penghasilan, ini sebetulnya merupakan tawaran yang menimbulkan harapan. Hanya saja, dan disebut oleh Presiden waktu itu, lapangan kerja itu tersebar di seluruh Indonesia.


Katanya di UNUSIDA ini ada program studi Pendidikan guru SD, PGSD. Berapa wisudawannya ini? Berapa orang wisudawan di PGSD? 180 wisudawan PGSD siap menjadi guru SD. Alhamdulillah, ada 180 calon guru SD yang baru. Cuma, jangan semuanya berpikir jadi guru di Sidoarjo. Jangan lalu 180 orang ini pengin jadi guru SD di Sidoarjo semua, tidak bisa. Di Jawa Timur saja entah masih ada entah tidak, lowongan guru SD 180 itu. Tapi kalau kita melihat landskap Indonesia seluruhnya, saya yakin, di berbagai tempat sana, di seluruh wilayah tanah air yang kita cintai ini, masih sangat dibutuhkan tenaga guru-guru SD.


Demikian juga lapangan kerja—yang tadi disebutkan, yang Senin yang lalu disebutkan oleh Presiden Prabowo Subianto— itu juga tersebar di seluruh Indonesia. Jadi kalau mau ada sekian banyak lapangan kerja tersebar di seluruh Indonesia, asalkan kita siap untuk bukan hanya bekerja menghidupi diri sendiri dan keluarga, bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan sendiri, tapi sebetulnya juga sekaligus untuk berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara. Insyaallah.


Maka saya mengajak kepada sarjana-sarjana baru ini untuk meneguhkan mental, siap mengabdi di mana saja di seluruh wilayah tanah air Indonesia ini. [Hadirin tepuk tangan].


Dulu, junjungan saya, guru saya, Hadratussyekh Kiai Maimoen Zubair Allahyarham mengatakan bahwa Indonesia ini akan makmur kalau NU sudah jadi nasional—kata beliau. Indonesia ini akan makmur kalau NU sudah jadi nasional. Beliau tidak memberikan syarah dari maksud pernyataan beliau itu. Tapi, saya kira, mungkin salah satunya adalah bahwa insyaallah Indonesia akan makmur apabila sarjana-sarjana Universitas Nahdlatul Ulama siap mengabdi secara nasional di seluruh wilayah tanah air Indonesia. Insyaallah. [Hadirin tepuk tangan]. Karena itu, mari kita semua menguatkan tekad kita untuk bukan hanya mencari kehidupan yang lebih baik, tapi juga mengabdi kepada bangsa dan negara. Berbakti kepada bangsa dan negara. Karena berbakti dan mengabdi itulah insyaallah kita akan mendapatkan kemuliaan. [Hadirn mengatakan ‘Amin’].


Saya tidak bisa bikin pantun seperti Pak Rektor. Saya cuma punya hafalan pantun—itu cuma satu saja. Sor mejo ono ulane, jok gelo wis ngono carane. Semua yang saya katakan tadi, itu sebetulnya adalah hal-hal, prinsip-prinsip, yang tidak bisa kita hindari. Suka atau tidak suka, kita harus berjalan dengan memegangi prinsip-prinsip, nilai-nilai, yang tadi telah saya sampaikan. Apa boleh buat? Sor mejo ono ulane, jok gelo wis ngono carane.


Semoga sarjana-sarjana UNUSIDA ini sungguh-sungguh mendapatkan futuh dari Allah subhanahu wa ta'ala untuk kehidupan yang lebih baik, untuk masa depan yang lebih mulia bagi diri masing-masing, bagi seluruh keluarga, bagi orang tua masing-masing, bagi masyarakat, bagi Nahdlatul Ulama, bagi negara bangsa Republik Indonesia yang kita cintai ini. Amin.


Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.

Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang