Nasional

Psikolog Ungkap Bahaya Gadget dan Medsos: Bisa Buat Anak Terlambat Bicara karena Kurang Interaksi

Selasa, 24 September 2024 | 22:00 WIB

Psikolog Ungkap Bahaya Gadget dan Medsos: Bisa Buat Anak Terlambat Bicara karena Kurang Interaksi

Ilustrasi anak sedang bermain gadget sendirian. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Psikolog Bianglala Andriadewi menjelaskan bahwa gadget dan media sosial tidak dibutuhkan oleh anak-anak, bahkan berbahaya dan berakibat pada kurangnya interaksi antara anak dan orang tua atau temannya.


“Gadget dan media sosial itu bukan untuk anak, karena yang dilakukan konten kreator yang ada di media sosial itu agar orang tuh attach (melekat) sama mereka dan orang engage padahal anak nggak butuh itu. Anak justru butuh permainan-permainan yang fokus ke motorik halusnya mereka, seperti aktivitas mereka main keluar rumah, terkena matahari. Itu yang malah mereka butuhkan,” jelasnya saat dihubungi NU Online, Selasa (24/9/2024).


Bianglala menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan mengapa gadget berbahaya untuk anak walaupun orang tua sudah mengatur tontonan anak.


“Pertama, misalnya kita sudah kasih dia Youtube Kids. Kita sudah setting aplikasi atau apapun itu khusus untuk anak, tetapi algoritma dari apa yang ditonton anak tidak bisa dibohongi,” paparnya.


Ia memberikan contoh, ketika anak-anak menonton kartun. Beberapa orang menilai kartun adalah tontonan yang aman, tetapi nantinya algoritma media sosial akan memperlihatkan aksi dari kartun yang merujuk pada kekerasan


Bianglala menegaskan bahwa gadget sulit untuk dikatakan aman bagi anak dan lebih baik jika gadget tidak dikenalkan kepada anak-anak.


“Jadi sebenarnya mau dibilang apakah gadget itu aman buat anak? Kalau aku pribadi bisa bilang kita susah sekali untuk mengontrol itu. Jadi kalau dari awal kita sudah nggak kenalin ya sudah nggak usah kita kenalin seperti itu,” tegasnya.


Bianglala juga menjelaskan, media sosial yang ada dalam gadget tidak membantu anak untuk berinteraksi atau berkomunikasi secara dua arah dan memicu anak mengalami speech delay (keterlambatan berbicara).


“Gadget dan media sosial nggak bisa ngajarin anak untuk berinteraksi dengan orang lain. Ketika anak di rumah, kemudian dikasih tablet atau HP, setelah itu nggak ada komunikasi dua arah. Nah itu, memicu fenomena banyak anak yang mengalami speech delay, karena dari kecil mereka tidak diajak ngobrol dengan orang tuanya,” jelasnya.


Ia menjelaskan bahwa sebagai orang tua, mestinya dari awal tidak membiasakan menggunakan gadget meskipun ada yang mengatakan anak-anak sekarang tidak bisa dihindarkan dari gadget.


Namun, Bianglala menegaskan bahwa masih ada orang tua yang tidak memberikan gadget pada anaknya, tetapi hal itu memang sangat menantang.


“Kalau misalnya kita sedang menggunakan HP atau laptop, kemudian anak kita penasaran maka kita bisa mengatakan bahwa kita sedang bekerja, misalnya dengan mengatakan: ini mama lagi kerja, kalau kerja memang pakai seperti ini, kan adik nggak kerja, jadi adik nggak usah pakai,” jelasnya.


Bianglala menyarankan orang tua untuk tertib terlebih dahulu sebelum memberikan perintah kepada anak. Sebab anak lebih cenderung mengikuti perilaku daripada perkataan.


“Kalau kita ngomong tentang berlebihan kita harus tertib dulu. Sebagai orang tua harus tertib dulu. Jangan kita sambil scrolling, terus anak kita main gadget, udah satu jam misalnya: adik ayo berhenti main HP nya, gitu kan. Tapi kita masih scrolling ya sama saja. Anak itu nggak nurut apa yang kita omongin tapi anak itu mengikuti apa yang kita lakukan,” ungkapnya.


Bianglala memberikan cara agar orang tua mampu mengembangkan perilaku yang baik untuk anak, menghargai waktu, interaksi, dan pengelolaan emosi dengan menghindarkan gadget.


“Gadget itu bikin anak nggak sabar, bikin anak cepat bosan. Padahal kita perlu berlatih bosan-bosan dan sabar. Sedangkan gadget atau media sosial atau video-video Youtube itu kan arahnya membuat cepat bosan kemudian terus menerus mengganti (scrolling). Jadi anak jarang merasakan, 'aku harus menyelesaikan sesuatu'. Contohnya seperti itu,” jelas Bianglala.


Ia membandingkan permainan zaman dahulu yang membuat anak-anak sering merasa kalah dan mencoba lagi, kemudian merasakan bermain bersama-sama dengan teman.


"Itu jauh lebih banyak melakukan interaksi dibandingkan dengan gadget," pungkasnya.