Refleksi Kinerja 2025, Menag Tekankan Penguatan Ekoteologi hingga Kerukunan Umat Beragama
NU Online · Selasa, 23 Desember 2025 | 21:32 WIB
Dialog Media bertajuk Refleksi Kinerja 2025: Dari Ekoteologi, Kurikulum Cinta hingga Penanggulangan Bencana yang digelar Kementerian Agama RI di Aryaduta Menteng, Jakarta, Selasa (23/12/2025). (Foto: NU Online/Risky)
Achmad Risky Arwani Maulidi
Kontributor
Jakarta, NU Online
Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menekankan pentingnya penguatan teologi hijau (ekoteologi) sebagai pendekatan keagamaan untuk merawat lingkungan hidup.
Hal tersebut disampaikannya dalam Dialog Media bertajuk Refleksi Kinerja 2025: Dari Ekoteologi, Kurikulum Cinta hingga Penanggulangan Bencana yang digelar Kementerian Agama RI di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Dalam pemaparannya, Nasaruddin menjelaskan bahwa aspek religiusitas memiliki pengaruh besar terhadap cara berpikir dan bertindak seseorang.
Karena itu, menurutnya, pendekatan keagamaan menjadi instrumen penting dalam upaya pelestarian ekosistem lingkungan yang saat ini terus digencarkan Kementerian Agama.
"Jadi tidak efektif kalau hanya menggunakan bahasa politik, bahasa hukum untuk merawat lingkungan, harus menggunakan bahasa agama," ujar Nasaruddin.
Ia menegaskan bahwa kesadaran ekologis perlu dibangun melalui penafsiran keagamaan yang peka terhadap kelestarian alam. Agama tidak boleh dipahami sebagai legitimasi untuk mengeksploitasi lingkungan tanpa batas.
"Intinya teologi kita selama ini terlalu maskulin, akibatnya ada penebangan, penghancuran, dan sebagainya. Jadi kita perlu berteologi yang green, green teology," terangnya dalam menjelaskan konsep ekoteologi.
Selain itu, Nasaruddin menyinggung pentingnya diplomasi religius dalam menghadapi tantangan global ke depan. Diplomasi tersebut, menurutnya, dibangun atas dasar kesadaran beragama yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal.
"Karena kalau kita sentuh rasa kemanusiaan itu, mudah-mudahan dari religious diplomacy ini akan lebih efektif menantang dunia baru yang akan datang," terangnya.
Turunan dari gagasan tersebut, lanjut Nasaruddin, adalah penguatan Kurikulum Cinta yang terus diupayakan Kementerian Agama. Kurikulum ini diharapkan dapat dimasifkan guna meminimalisasi berkembangnya paham ekstremisme yang tidak sejalan dengan keragaman Indonesia.
"Nah, kalau pendekatan kita terhadap masyarakat itu pendekatan, prinsip negasi, selalu menekankan aspek perbedaan, itu sangat berbahaya. Hemat saya ke depan, Indonesia harus merubah kosakatanya menjadi prinsip of identity. Kita harus lebih menekankan titik temu, bukan aspek perbedaan," jelasnya.
Lebih lanjut, terkait indeks kerukunan umat beragama, ia menyebut capaian tahun 2025 berada pada angka 77,80 persen. Meski demikian, Nasaruddin meminta seluruh jajaran Kementerian Agama untuk tidak berpuas diri dan terus mendorong perbaikan kualitas kerukunan di masyarakat.
"Tapi kita tidak boleh puas, kita uji besok ketika (Hari Raya) Natal," serunya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menegaskan bahwa kerukunan dan perdamaian merupakan prasyarat utama bagi pembangunan di berbagai sektor. Tanpa kerukunan, menurutnya, capaian pembangunan apa pun akan kehilangan makna.
"Tidak ada artinya pertumbuhan ekonomi yang sehebat apa pun. Tidak ada artinya kekayaan negara sehebat apapun tanpa kerukunan. Tidak ada artinya kekayaan negara tetapi tidak ada ketenangan," tandasnya.
Terpopuler
1
Istikmal, LF PBNU Umumkan Awal Rajab 1447 H Jatuh pada Senin 22 Desember
2
KH Abdullah Kafabihi Mahrus: “NU Menyangkut Jutaan Orang, Tidak Bisa Disamakan dengan Pesantren”
3
Hasil Musyawarah Kubro di Lirboyo: Serukan Islah hingga Usulkan Penyelenggaraan MLB
4
Data Hilal Penentuan Awal Bulan Rajab 1447 H
5
Dianjurkan Puasa Rajab Mulai Besok, Ini Niatnya
6
Lembaga Falakiyah Instruksikan Rukyatul Hilal Awal Rajab 1447 H
Terkini
Lihat Semua