Sekuritisasi Ruang Digital Dinilai Jadi Bentuk Kemunduran Demokrasi Indonesia
NU Online · Sabtu, 25 Oktober 2025 | 20:00 WIB
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf (memegang mikrofon) dalam diskusi di UI, Depok, Jumat (25/10/2025) (Foto: NU Online/Fathur)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, rancangan tersebut berpotensi memperkuat kontrol kekuasaan negara atas ruang digital sekaligus menormalisasi kembali peran militer di ranah sipil.
"RUU ini lahir dalam konfigurasi politik yang tidak sehat. Ketika politiknya tidak demokratis, produk hukumnya pun cenderung otoriter,” ujarnya dalam Diskusi di Universitas Indonesia, Depok, Jumat (24/10/2025).
Al Araf menjelaskan, hukum dan kebijakan publik tidak lahir di ruang kosong, melainkan dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang tengah berlangsung.
Ia menilai selama satu dekade terakhir, Indonesia mengalami regresi demokrasi yang ditandai dengan meningkatnya dominasi negara terhadap kebebasan sipil.
“Kita melihat kecenderungan negara masuk terlalu jauh dalam ruang-ruang privat warga, termasuk dunia digital. Alih-alih melindungi publik, kebijakan seperti RUU Keamanan Siber justru memperluas ruang kontrol kekuasaan,” katanya.
Dalam konteks itu, ia menilai wajar jika publik mencurigai bahwa RUU KKS bukan dirancang untuk memperkuat perlindungan digital warga melainkan untuk mengonsolidasikan kekuasaan.
Al Araf memperingatkan bahwa keterlibatan militer dalam pengawasan dunia siber merupakan bentuk securitisasi ruang sipil, yaitu kecenderungan negara mengubah berbagai persoalan sosial menjadi isu keamanan nasional.
“Militer kini tidak hanya di bidang pertahanan. Mereka ikut dalam program pangan, pengawasan publik, bahkan kini mau masuk ruang siber. Ini gejala normalisasi militer dalam kehidupan sipil yang berbahaya bagi demokrasi,” ungkapnya.
Menurutnya, ketika semua isu diklasifikasikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional, maka pendekatan militer dianggap sebagai solusi tunggal. Pola ini, kata Al Araf, mendorong pemerintahan bergerak menuju otoritarianisme.
“Sekuritisasi seperti ini adalah bentuk ekstrem dari politisasi. Demokrasi akan melemah ketika kebijakan publik dijawab dengan pendekatan keamanan,” tegasnya.
Dalam pandangan Al Araf, RUU Keamanan Siber seharusnya berorientasi pada human security, bukan semata state security. Perlindungan atas data pribadi, kebebasan berekspresi, dan privasi digital warga negara mesti menjadi pilar utama.
"Kalau fokusnya hanya keamanan negara, maka yang dikorbankan adalah keamanan warga. Demokrasi akan kehilangan jiwanya jika kebebasan sipil dikorbankan atas nama keamanan nasional,” katanya.
Al Araf menambahkan, negara seharusnya memperkuat mekanisme akuntabilitas dan partisipasi publik dalam kebijakan siber. Dengan begitu, kepentingan keamanan tidak berubah menjadi instrumen pengawasan terhadap masyarakat.
"Ruang siber adalah ruang publik baru. Kalau negara masuk terlalu dalam tanpa batas, yang akan hilang adalah kepercayaan dan kebebasan,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua