Nasional

Setahun Prabowo-Gibran, Reformasi Polri Mandek, Polisi Mestinya Perkuat Supremasi Sipil Bukan Alat Kekuasaan

NU Online  ·  Ahad, 2 November 2025 | 06:30 WIB

Setahun Prabowo-Gibran, Reformasi Polri Mandek, Polisi Mestinya Perkuat Supremasi Sipil Bukan Alat Kekuasaan

Kumpulan anggota polisi sedang berjaga di tengah demonstrasi rakyat. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menandai babak baru dalam wacana reformasi kepolisian. Namun di tengah semangat pemerintah membentuk Komite Reformasi Kepolisian, publik justru mempertanyakan arah dan kesungguhan perubahan di tubuh Polri yang selama ini dinilai masih sarat persoalan kekuasaan, korupsi, dan kekerasan aparat.


Sepanjang 2025, sejumlah kasus kejahatan yang melibatkan anggota Polri kembali mengguncang kepercayaan publik. Mulai dari pembunuhan sesama anggota polisi di Semarang, kasus suap penyidikan di Polda Metro Jaya, hingga tewasnya tiga warga sipil dalam penanganan aksi demonstrasi di Jakarta pada Agustus lalu termasuk Affan Kurniawan seorang pengemudi ojek online.


Rangkaian peristiwa ini mempertegas bahwa agenda reformasi, dua dekade pasca-reformasi 1998, belum menyentuh akar persoalan struktural kepolisian. Penguatan supremasi sipil yang menjadi semangat pemisahan Polri dari ABRI pun masih jauh dari harapan. Bahkan, polisi kerap menjadi alat intimidasi dan kriminalisasi masyarakat sipil.


Pemerintah dan Polri kini sama-sama membentuk lembaga reformasi internal. Di satu sisi, Presiden Prabowo tengah menyiapkan Komite Reformasi Kepolisian yang melibatkan Mahfud MD dan Ahmad Dofiri.


Di sisi lain, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo lebih dulu membentuk Komisi Transformasi Reformasi Internal Polri.

 

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebut langkah ini sebagai wujud keseriusan pemerintah menata kelembagaan.


“Komite yang disiapkan Presiden diharapkan dapat mulai bekerja dalam waktu dekat untuk memberikan rekomendasi reformasi internal di berbagai lembaga negara, termasuk kepolisian,” ujar Yusril (9/10/2025).


Dualisme Reformasi Polri

Namun bagi banyak pihak, dualisme reformasi Polri justru menimbulkan kebingungan arah dan keraguan atas kesungguhan perubahan.


Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai pembentukan dua tim reformasi oleh pemerintah dan Polri tidak menjawab tuntutan publik terhadap reformasi kepolisian yang lebih mendasar.


“Jelas sekali pemerintah dan kepolisian keliru menanggapi desakan masyarakat sipil. Kapolri membentuk tim reformasi juga sangat telat. Buat apa kepolisian membentuk reformasi dalam dirinya sendiri? Ini kan seperti jeruk makan jeruk,” tegas Isnur kepada NU Online, Rabu (24/9/2025).


Menurutnya, reformasi yang dilakukan saat ini hanya bersifat kosmetik. Padahal, problem kepolisian sudah fundamental dan sistemik, sehingga butuh langkah berani untuk membongkar struktur kekuasaan dan kewenangan Polri.


“Reformasi yang dibutuhkan harus menjawab sembilan permasalahan fundamental di kepolisian. Bukan reformasi sederhana, bukan reformasi ece-ece, karena problemnya sudah fundamental,” ujarnya.


Isnur juga menyampaikan keraguannya terhadap tim pemerintah yang dipimpin Mahfud MD dan Ahmad Dofiri.


“Kami ragu reformasi di tingkat pemerintahan Prabowo bisa menyentuh masalah sistemik. Pertanyaannya, apakah ada keberanian membongkar struktur dan merevisi kewenangan yang selama ini terlalu banyak di kepolisian?” ujarnya.


Ia menegaskan, reformasi sejati hanya mungkin terjadi bila pemerintah berani mencabut sebagian kewenangan Polri yang selama ini terlalu dominan, termasuk dalam hukum acara pidana dan pengelolaan administrasi publik.


“Terlalu banyak kewenangan kepolisian yang seharusnya dicabut. Pertanyaannya, berani tidak reformasi ini merombak hal itu?” tutup Isnur.


9 Problem Sistemik, Respons Kompolnas

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menegaskan bahwa pembenahan Polri harus menyentuh sembilan masalah sistemik, mulai dari absennya akuntabilitas, budaya kekerasan dalam pendidikan, tata kelola anggaran yang tidak transparan, sistem kepegawaian yang cacat, hingga keterlibatan Polri dalam bisnis dan politik.


“Kalau tim hanya diisi orang dalam Polri atau sosok yang punya konflik kepentingan, hasilnya akan tumpul. Yang dibutuhkan adalah tim independen, berintegritas, dan representatif,” tegas Alvin, perwakilan koalisi masyarakat sipil.


Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Gufron Mabruri juga menilai wacana reformasi Polri belum memiliki arah yang solid.


“Semua pihak sepakat reformasi kepolisian penting, tapi sampai sekarang belum ada kesepakatan konkret tentang apa yang sebenarnya perlu direformasi,” ujarnya.


Kompolnas sendiri membentuk Tim Analisis Reformasi Polri untuk menghimpun masukan masyarakat sipil, akademisi, dan NGO.
Namun Gufron menekankan, dorongan eksternal tetap penting karena Polri tidak bisa mereformasi dirinya sendiri.


“Kita nggak bisa sekadar nunggu kehendak internal. Dorongan dan tekanan dari luar itu penting untuk memastikan reformasi ini jalan,” katanya.


Budaya Tertutup dan Hierarkis

Peneliti ICJR Iftitahsari (Tita) menyoroti budaya internal Polri yang tertutup dan hierarkis. “Di internalnya terlalu solid secara kultur, sehingga kalau mau menindak satu dengan temannya yang lain ya ada rasa nggak enak,” ujarnya (7/10/2025).


Menurutnya, sistem pengawasan baik internal maupun eksternal masih belum menjawab kebutuhan reformasi. “Kompolnas itu kan cuma jadi dewan penasihat ke presiden. Ekspektasi publik terhadap Kompolnas memang nggak akan ketemu,” tegasnya.


Minimnya transparansi data membuat publik sulit menilai sejauh mana penegakan etik berjalan. “Publik nggak tahu berapa pelanggaran yang terjadi dan bagaimana penyelesaiannya. Penegakan etik akhirnya berhenti di level administratif,” jelasnya.


Kritik tajam datang juga dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang menilai reformasi Polri selama dua dekade terakhir jalan di tempat.


“Polri hari ini berada di dua sisi: politisasi institusi untuk kepentingan kekuasaan, dan komersialisasi untuk kepentingan bisnis,” ujarnya (28/10/2025).


Menurutnya, akar persoalan bisa ditelusuri dari filosofi “Bhayangkara” itu sendiri. “Nama ‘Bhayangkara’ berasal dari pasukan pengawal raja di era Majapahit, bukan pelindung rakyat sipil. Pola itu masih terasa hingga kini,” katanya.


Usman juga menyoroti tewasnya warga sipil dalam demonstrasi Agustus lalu, yang menunjukkan lemahnya akuntabilitas Polri. “Sampai hari ini tidak jelas penyebab kematian mereka, tidak ada pertanggungjawaban yang memadai,” tegasnya.


Ia menyerukan perubahan paradigma dan desentralisasi kewenangan agar kepolisian lebih dekat dengan rakyat. “Bhayangkara harus diartikan ulang sebagai pelindung masyarakat, bukan pengawal penguasa,” ujarnya.


Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran menampilkan dua wajah reformasi kepolisian: semangat birokratis di tingkat pemerintah dan resistensi struktural di tubuh Polri.


Namun di lapangan, kekerasan aparat, lemahnya pengawasan, dan budaya tertutup masih menciptakan jurang antara Polri dan masyarakat.


“Saya tidak melihat pemerintah sungguh-sungguh melakukan reformasi Polri secara menyeluruh. Selama polisi masih menjadi alat politik, keadilan akan sulit ditegakkan,” ujar Usman Hamid.


Dua dekade setelah pemisahannya dari TNI, reformasi belum sepenuhnya menjadikan Polri sebagai institusi sipil yang profesional, humanis, dan berpihak pada rakyat.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang