Nasional

Setahun Prabowo-Gibran, TNI Turun Tangan dalam Program Ketahanan Pangan

NU Online  ·  Rabu, 29 Oktober 2025 | 18:30 WIB

Setahun Prabowo-Gibran, TNI Turun Tangan dalam Program Ketahanan Pangan

Gambar sebagai ilustrasi. Personel Lanud RSA Natuna merawat RSA Farm sebagai dukungan terhadap ketahanan pangan. Kegiatan ini dilaksanakan di lingkungan Lanud RSA, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Senin (7/7/2025). (Foto: web resmi TNI AU)

Jakarta, NU Online

Setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memperlihatkan arah baru kebijakan pangan nasional.


Pemerintah mengusung ambisi kemandirian pangan melalui program strategis seperti perluasan food estate, penguatan logistik, hingga pelibatan sektor pertahanan dalam mendukung produksi pangan.


Namun, di tengah langkah besar tersebut, muncul kritik terkait efektivitas kebijakan, tata kelola, dan potensi kembalinya militerisasi dalam ranah sipil.


Salah satu inisiatif yang menonjol adalah keterlibatan aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam program ketahanan pangan. Sebanyak 100 batalion dan 34 ribu prajurit TNI baru disiapkan untuk turun tangan memperkuat produksi dan distribusi pangan nasional.


Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menyampaikan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari strategi transformasi pertahanan untuk memperkuat infrastruktur pangan dan menjaga stabilitas nasional.


Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menjelaskan bahwa TNI tidak hanya berperan dalam pertahanan keamanan, tetapi juga dalam memperkuat cadangan pangan melalui penyediaan fasilitas dan teknologi pasca-panen.


“Kami mendukung kebutuhan Bulog dan Kementerian Pertanian dalam bentuk menyiapkan gudang penyimpanan dan mesin pengering jagung. Ini bagian dari kontribusi pertahanan untuk mendukung transformasi pemerintah,” ujar Sjafrie.


Namun, kebijakan tersebut menuai sorotan sejumlah pihak yang menilai pelibatan TNI dalam urusan pangan berpotensi mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan bahwa langkah ini berisiko melenceng dari mandat konstitusi.


“Pelibatan aktif TNI dalam program ketahanan pangan nasional tentu memunculkan pertanyaan serius apakah TNI kini sudah mulai bergeser dari tupoksinya sebagai alat pertahanan negara?” kata Usman.


Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI, warisan Orde Baru yang telah dihapus melalui reformasi militer.


“Jika dibiarkan, kebijakan ini akan melanggengkan praktik dwifungsi yang menyalahi mandat konstitusional,” tegasnya.


Mengulang jejak ABRI masuk desa

Pengamat dan sejarawan militer Aris Santoso menilai pola pelibatan TNI dalam ketahanan pangan mengingatkan pada program Abri Masuk Desa (AMD) di era Orde Baru.


“Bisa jadi program AMD menjadi inspirasi bagi TNI dalam ketahanan pangan. Bedanya, kalau dulu insidental, sekarang lebih permanen karena sudah dibentuk satuan dan batalion pendukung reguler,” ujar Aris.


Menurutnya, AMD dahulu bukan sekadar program pembangunan desa, tetapi juga instrumen politik untuk memperkuat kontrol militer atas masyarakat.


“TNI sedang mencari jalan agar posisinya selalu aktual di panggung politik,” ujarnya.


Aris menilai pemerintahan Prabowo menjadi momentum yang mempermudah kembalinya peran militer dalam birokrasi sipil.


“Trennya semakin ekspansif, bahkan menduduki jabatan-jabatan strategis di lembaga sipil,” tambahnya.


Kritik food estate dan tata kelola pangan

Di sisi lain, program food estate juga menuai kritik terkait dampak sosial dan lingkungan. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menilai proyek ini kerap dilakukan tanpa mempertimbangkan prinsip hak asasi manusia.


Food estate dibangun dengan cara-cara yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip asasi manusia. Ada penyerobotan lahan masyarakat adat dan deforestasi yang memicu perubahan iklim,” kata Anis.


Ia menyebut bahwa lemahnya akuntabilitas turut memperburuk tata kelola pangan.


“Masih terjadi rantai-rantai korupsi dalam tata kelola pangan kita yang luar biasa mempengaruhi ketersediaan pangan dan gizi masyarakat,” ujarnya.


Komnas HAM mencatat sejumlah pelanggaran hak atas pangan dan menyiapkan investigasi mengenai food estate Merauke serta evaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG).


Petani kecil masih terpinggirkan

Guru Besar IPB University Prof Dwi Andreas Santosa menyoroti pembangunan pangan yang belum berpihak pada petani kecil, padahal mereka menyumbang sekitar 70 persen produksi pangan nasional.


“Kalau kita ingin kedaulatan pangan, maka orientasi pembangunan harus digeser ke petani kecil. Mereka inilah tulang punggung pangan nasional,” ujarnya.


Ia juga menyoroti anomali harga beras yang tetap tinggi meski pemerintah mengklaim memiliki stok terbesar dalam sejarah.


“Sejak Januari sampai sekarang, harga beras tidak pernah turun. Ini anomali,” tegasnya.


Menurutnya, kepastian harga jauh lebih penting daripada bantuan tunai.


“Petani tidak minta bantuan. Yang mereka butuhkan adalah harga yang baik di tingkat produsen,” ujarnya.


Ketergantungan impor masih tinggi

Prof Andreas turut mengingatkan soal ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum, yang rentan terhadap gejolak pasar global.


“Ini bahaya, karena 100 persen gandum kita impor. Kalau pasokan global terganggu, kita bisa alami krisis pangan seperti di Timur Tengah tahun 2011,” ujarnya.


Ia menilai program food estate kerap gagal karena tidak memperhatikan kesesuaian lahan, teknologi, infrastruktur, dan keberlanjutan sosial.


Sebagai solusi, ia mendorong diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal dan reforma agraria yang nyata.


“Selama pangan tidak kembali pada subjeknya petani dan masyarakat lokal kita akan terus bergantung pada impor,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang