Siswa Berharap Hasil TKA Bisa Antar Mereka ke Perguruan Tinggi
NU Online · Sabtu, 15 November 2025 | 11:00 WIB
Ilustrasi: Siswa MANU 1 Banyuputih, Batang, Jawa Tengah sedang melaksanakan Tes Kemampuan Akademik (TKA). (Foto: NU Online/Asrofi)
Muhammad Asrofi
Kontributor
Jakarta, NU Online
Siswa melihat Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai peluang baru untuk memperluas akses masuk perguruan tinggi. Peserta TKA berharap nilai tes yang diselenggarakan negara ini kelak dapat dipertimbangkan kampus sebagai bagian dari seleksi.
Di lapangan, optimisme itu terutama datang dari para siswa. Banyak peserta TKA berharap hasil tes dapat diterima kampus agar mereka memiliki jalur tambahan untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Salah satunya disampaikan oleh Ananda Adelia Putri, yang berharap nilai TKA bisa menjadi jalur prestasi yang benar-benar membantu siswa dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi.
“Kalo saya harapannya bisa masuk sarjana hukum di Universitas Sebelas Maret,” ujar Adelia siswi Kelas XII.2 MANU 1 Banyuputih, Batang, Jawa Tengah kepada NU Online pada Jumat (14/11/2025).
Adel mengaku optimis karena materi yang diujikan dalam TKA sesuai dengan kisi-kisi yang telah dipelajari sebelumnya. Ia merasa proses belajar menjadi lebih terarah berkat panduan yang diberikan guru. “Sesuai dengan yang dipelajari, karena sebelum TKA sudah ada kisi-kisinya,” ujarnya.
Pandangan serupa juga datang dari para guru yang mendampingi siswa dalam persiapan TKA. Guru Bahasa Inggris MANU 1 Banyuputih, Hanief Kurnia, menilai bahwa soal-soal TKA, khususnya pada mata pelajaran Bahasa Inggris, sudah cukup sejalan dengan materi yang diajarkan di kelas.
“Bahasa Inggris lanjut yang mana ini adalah mapel pilihan itu sesuai dengan kisi-kisi (TKA). Kemudian materi kelas XII pun sesuai dengan materinya dan yang diujikan menyangkut teks, jadi tidak melebar,” ungkapnya.
Meski begitu, Hanief melihat bahwa teknis persiapan TKA di sekolah masih perlu diperbaiki. Jam pelajaran reguler sering kali tidak cukup untuk membahas materi sekaligus melakukan latihan soal secara mendalam.
“Harapan saya sih memang dari TKA ini mempermudah siswa dalam menggapai cita-citanya, terutama prosesnya dalam perkuliahan, yaitu dengan diterimanya mereka sesuai dengan jurusan yang mereka minati,” harap Hanief.
TKA Dikaji Ulang
Sementara itu, Pengamat Pendidikan dari Unnes, Edi Subkhan melihat sistem perlu dikaji ulang sebelum TKA benar-benar dijadikan instrumen seleksi masuk perguruan tinggi. Menurutnya, TKA memang memiliki potensi menjadi jalur objektif karena guru tidak dapat mengintervensi nilai, namun kualitas penyelenggaraannya masih belum memenuhi standar seleksi nasional.
“Problemnya sebenarnya adalah TKA itu kemudian betul-betul bisa memotret atau enggak kan kemampuan dari siswa itu sedangkan kalau kita lihat dari beberapa pemberitaan di media masa kemarin ada yang dari 25 soal, 15 soalnya itu analisis, waktunya enggak cukup, nah kita perlu mempertanyakan sebenarnya,” ujar Dosen Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang itu.
Ia menyampaikan bahwa hingga kini para akademisi tidak memiliki informasi yang jelas mengenai proses penyusunan soal TKA di tingkat kementerian. Menurutnya, tidak pernah ada penjelasan terbuka apakah guru, pakar kurikulum, maupun ahli materi benar-benar dilibatkan dalam proses tersebut.
“Oleh karena itu maka sebenarnya ini perlu dikaji ulang. Kalau kita lihat sepertinya sistemnya belum siap ketika dalam arti infrastruktur soal alat yang dipakai untuk mengerjakan ujian itu juga enggak semua sekolah itu siap begitu. Nah kalau dipaksakan pasti akan merugikan siswa. Ketika mengerjakan soal itu menjadi gak optimal, misalnya, di satu sisi. Jadi, sisi yang kedua, waktunya relatif pendek,” kata Edi.
“TKA sekarang memang belum ideal dalam arti, dalam banyak hal sebenarnya belum ideal,” imbuhnya.
Edi menjelaskan bahwa penyusunan soal asesmen nasional di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain. Ia mencontohkan negara seperti New Zealand atau Australia yang memerlukan waktu lebih dari satu tahun untuk menghasilkan satu paket soal yang valid dan teruji.
“Kalau kita bercermin, misalnya, di Australia itu ada lembaga yang memang dia mengembangkan kurikulum dan melakukan uji kompetensi terhadap siswa-siswa, ACARA (Australian Curriculum Asessment and Reporting Authority) namanya itu. Nah itu dia ketika mengembangkan menyusun soal-soal saja itu sampai kemudian diujikan dan kemudian sampai ke siswa dalam bentuk hasilnya seperti apa. Semacam ujian nasional tapi namanya juga bukan ujian nasional itu,” kata Edi.
“Itu lebih kurang makan waktu 18 bulan jadi nggak bisa sebenarnya nyusun soal itu kok cepet-cepetan gitu karena kan harus diuji validitasnya soal itu harus diuji secara empiris juga diujikan ke siswa secara real mana soal yang valid mana yang nggak yang reliable yang mana dan seterusnya itu dan terlalu singkat menurut saya,” lanjutnya.
“Maka kita perlu mencari menggaji ulang dari proses TKA ini, dari awal sampai dijalankan, karena mestinya harus transparan, harus dasarnya itu adalah teori-teori yang valid, yang dipakai itu, yang menyusun soal, itu ada teorinya, jadi tidak sekedar kemudian comot sana, comot sini, itu enggak, jadi soal itu mesti diukur betul kualitasnya dan seterusnya,” tegas Edi.
Kesenjangan Kuirkulum dan Fasilitas Sekolah
Selain soal kualitas, ia juga menyoroti aspek keadilan. Menurutnya, kesenjangan kurikulum dan fasilitas antarsekolah berpotensi membuat hasil TKA tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan akademik siswa.
“Mestinya soal-soal yang diberikan di TKA itu adalah yang dipelajari di sekolah. Nah kalau basisnya tes kompetensi akademik ini adalah kurikulum merdeka, bagaimana dengan SMA yang dia belum menjalankan kurikulum merdeka? Kalau klaim dari pemerintah yang kemarin di masa Nadim itu kan 95% sudah menjalankan kurikulum merdeka, 5% belum. Nah bagaimana kalau ada sekolah SMA yang dia memang sudah menyelenggarakan kurikulum, tes kemampuan akademik ini tapi sebenarnya dia belum pakai kurikulum merdeka pasti mismatch,” ujarnya.
Edi menilai bahwa sebelum TKA diakui sebagai jalur seleksi kampus, pemerintah perlu memastikan kesesuaian kurikulum, transparansi penyusunan soal, serta komunikasi yang jelas dari perguruan tinggi mengenai mata pelajaran apa saja yang menjadi syarat tiap program studi.
“Kalau itu belum dibereskan, TKA belum bisa dijadikan alat seleksi yang kredibel,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua