Nasional

Suara Korban Pelanggaran HAM Orde Baru: Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto

NU Online  ·  Senin, 3 November 2025 | 17:30 WIB

Suara Korban Pelanggaran HAM Orde Baru: Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Direktur Imparsial Ardi Manto dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta, pada Senin (3/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Para korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa Orde Baru menegaskan penolakan keras terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.


Mereka menilai langkah tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap korban, sekaligus upaya melanggengkan impunitas dan memberikan legitimasi kepada rezim militeristik yang menindas rakyat selama lebih dari tiga dekade.


Pernyataan sikap ini disampaikan dalam konferensi pers bertajuk Penolakan Gelar Pahlawan Soeharto: Impunitas dan Kejahatan Hak Asasi Manusia yang digelar di Kantor KontraS, Jalan Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, pada Senin (3/11/2025).


Direktur Imparsial, Ardi Putra, menilai pengusulan gelar pahlawan bagi Soeharto merupakan langkah keliru dan menyalahi prinsip kemanusiaan serta tata kelola pemerintahan yang baik.


“Ini bukan pertama kali. Sudah lima kali diusulkan, dan publik patut mempertanyakan di mana standar moral kita ketika mengusulkan orang yang memiliki catatan pelanggaran HAM berat,” ujar Ardi.


Ardi juga mengkritik pernyataan juru bicara presiden yang menyebut pengusulan gelar telah melalui prosedur administrasi. Menurutnya, suara korban tidak pernah didengar dalam proses tersebut.


“Pemberian gelar ini lebih tampak sebagai politik balas budi sebagian elite yang berkuasa, karena pola pemerintahan saat ini menunjukkan kemiripan dengan Orde Baru, terutama dalam penggunaan militer pada urusan sipil,” jelasnya.

Korban peristiwa Tanjung Priok 1984, Saeful, turut menyampaikan keresahannya. Ia menceritakan bagaimana rezim Orde Baru menekan masyarakat lewat pemaksaan asas tunggal Pancasila.


“Saya sebagai salah satu korban peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 menolak dengan keras apa yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional,” tegasnya.


“Kami ditahan, disiksa, dan dipenjara hanya karena menolak pemaksaan asas tunggal itu. Kini kami merasa dikhianati ketika negara justru memuliakan pelaku kejahatan masa itu,” ujarnya.

Uciawati, aktivis perempuan dan penyintas peristiwa 1965, mengungkap penderitaan anak-anak korban politik yang kehilangan masa depan akibat stigma negara.


“Kami hidup dengan trauma dan diskriminasi. Anak-anak korban 65 tidak boleh jadi guru, wartawan, atau abdi negara. Semua karena label yang diciptakan oleh negara,” tuturnya.


Uciawati menekankan bahwa stigma tersebut diciptakan oleh negara, bukan oleh masyarakat dan peristiwa 1965 tidak hanya menimpa perempuan dengan kekerasan fisik, tetapi juga perampasan hak sipil secara luas.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang