Suara Warga soal Dampak PLTU di Indonesia: Laut Rusak, Gagal Panen, Anak-Anak Terkena ISPA
NU Online · Rabu, 5 November 2025 | 12:30 WIB
Ahmad Yani, warga Indramayu, yang memberikan kesaksian terkait pencemaran akibat pembangunan PLTU yang ada di daerahnya. (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Warga dari berbagai daerah di Indonesia menyuarakan penolakan terhadap keberadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang dinilai menjadi sumber utama pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Kesaksian mereka disampaikan dalam peluncuran Laporan Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).
Laporan tersebut memuat temuan mengenai dampak operasional PLTU terhadap lingkungan, kesehatan, serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Warga yang tinggal di wilayah sekitar PLTU hadir untuk memberikan penjelasan langsung mengenai pengalaman mereka sebagai pihak yang terdampak.
Warga Kecamatan Patrol, Indramayu, Jawa Barat, Ahmad Yani, mengungkapkan bahwa di Desa Mekarsari saat ini telah berdiri PLTU 1, dan sempat direncanakan pembangunan PLTU 2. Namun, warga menolak keras rencana tersebut karena telah merasakan kerugian akibat keberadaan PLTU pertama.
“Kami memiliki bukti dan fakta bahwa PLTU 1 membawa dampak kerugian bagi masyarakat, terutama yang tinggal berdekatan dengan PLTU,” ujarnya.
Ahmad menjelaskan, sejak beroperasi pada 2010, PLTU Indramayu menyebabkan pencemaran udara, penurunan hasil panen, pencemaran laut, serta gangguan kesehatan masyarakat.
“Kenapa PLTU membuang limbah ke laut? Laut kita jadi rusak. Pertanian kita tercemar asap, dan gunung-gunung kita ditebang,” tegasnya.
Ahmad bersama Jaringan Tanpa Asap dan Batu Bara Indramayu (Jatayu) terus melakukan penolakan terhadap pembangunan PLTU 2 hingga proyek tersebut akhirnya dibatalkan. Pihak Jepang kemudian menarik diri dari rencana investasi tersebut.
“Kita harus menutup PLTU karena laut sudah tercemar limbah, pertanian kita rusak, dan masyarakat sering gagal panen. Kalau hanya rencana-rencana tanpa penutupan, ya susah,” ujarnya.
Kesaksian lain datang dari Dedi Susanto, warga sekitar PLTU Pangkalan Susu di Langkat, Sumatera Utara. Ia sebelumnya berprofesi sebagai nelayan, tetapi kini terdampak akibat pencemaran laut dari limbah PLTU.
“Limbah-limbah PLTU sekarang dibuang ke laut. Kami para nelayan di Pangkalan Susu sudah tidak bisa mencari ikan di situ lagi,” ungkapnya.
“Kalau dulu, luka di badan bisa sembuh hanya dengan mandi air asin. Sekarang, kalau kena air laut, luka justru makin parah dan tidak sembuh-sembuh,” jelasnya.
Sementara itu, Novi, warga terdampak PLTU Cilacap, Jawa Tengah, menyampaikan bahwa keberadaan PLTU di daerahnya membawa kerugian besar pada kesehatan, ekonomi, dan lingkungan.
“Dampak kesehatan paling terasa sejak 2018, karena waktu itu limbah pembakaran batu bara dibuang tepat di belakang rumah warga. Limbah itu tidak dibuang sesuai mekanismenya,” ujarnya.
Ia mengungkap data Puskesmas setempat yang menunjukkan peningkatan signifikan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak-anak antara tahun 2018 hingga 2023.
“Datanya cukup jelas, riset juga sudah dilakukan oleh teman-teman LBH,” ungkapnya.
Selain itu, dampak ekonomi juga dirasakan warga, terutama nelayan dan petani. Pembangunan jetty (dermaga) untuk PLTU menyebabkan abrasi, sehingga beberapa rumah warga tenggelam.
“Ada warga yang akhirnya pindah kemudian pasrah dan menjual tanah mereka ke PLTU dibandingkan tanahnya hilang dibawa ombak tidak mendapatkan apa-apa,” katanya.
Terpopuler
1
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
2
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
5
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
6
KH Said Aqil Siroj Usul PBNU Kembalikan Konsesi Tambang kepada Pemerintah
Terkini
Lihat Semua