YLBHI: Operasi Militer di Papua Berlangsung Sejak 1961 dan Tak Pernah Benar-Benar Berakhir
NU Online · Selasa, 16 Desember 2025 | 17:00 WIB
Pengurus Harian YLBHI Emanuel Gobay saat memaparkan laporan situasi HAM Papua (Foto: NU Online/Fathur)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Emanuel Gobay menegaskan bahwa operasi militer di Papua bukanlah fenomena baru, melainkan telah berlangsung secara Panjang. Bahkan hal tersebut berlangsung sistematis, berkelanjutan sejak 1961, dan hingga kini belum memiliki dasar hukum yang jelas.
Menurut Gobay, pendekatan keamanan yang diterapkan negara di Papua bermula dari Deklarasi Trikora oleh Presiden Sukarno pada 19 Desember 1961 yang secara terbuka diumumkan sebagai agresi militer kepada publik nasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak saat itu, Papua menjadi wilayah dengan pola kebijakan keamanan permanen.
“Sejak Trikora, pendekatan militer di Papua dijalankan secara sistematis dan struktural oleh negara,” kata Gobay pada Peluncuran Laporan Situasi HAM Papua 2023-2025 di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Ia menjelaskan operasi militer terus berlanjut hingga 1967, beriringan dengan masuknya kepentingan ekonomi berskala besar, terutama Freeport McMoRan yang menandatangani kontrak karya pada 7 April 1967. Pada periode tersebut, negara kembali menggelar operasi militer dengan sandi Operasi Baratayuda, yang menurut data YLBHI menyebabkan sekitar 3.500 korban jiwa di Papua.
Gobay menilai operasi tersebut menunjukkan pola kuat bahwa militerisasi berjalan seiring dengan pengamanan kepentingan ekonomi, bukan perlindungan warga sipil.
Operasi militer berulang
YLBHI mencatat bahwa operasi militer kembali terjadi dalam berbagai bentuk sepanjang dekade berikutnya, termasuk operasi di Wamena pada 1977. Operasi itu menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar.
Operasi lanjutan juga berlangsung pada periode 1981–1983 dan 1984–1989, dengan nama sandi berbeda, namun pola kekerasan yang sama.
Gobay menyebut berbagai operasi tersebut sebagai bagian dari kejahatan HAM berat yang hingga kini tidak pernah dibuka secara tuntas, termasuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk pada 1994.
Meski pemerintah pernah menyatakan pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1999–2000, Gobay mempertanyakan dasar hukum pendekatan militer yang terus berlangsung hingga hari ini.
“Jika DOM dicabut, maka pertanyaannya yakni pendekatan militer yang berjalan setelah itu status hukumnya apa?” ujarnya.
Gobay menyoroti pengerahan pasukan TNI, baik organik maupun non-organik khususnya sejak 2018 yang menurutnya tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Ia menegaskan bahwa Undang-Undang Pertahanan dan peraturan terkait secara tegas mensyaratkan rekomendasi DPR untuk pengerahan pasukan dalam operasi militer selain perang.
“Dalam praktiknya, kami tidak pernah menemukan adanya rekomendasi DPR. Karena itu, YLBHI menyimpulkan bahwa pengerahan pasukan di Papua dilakukan secara ilegal,” kata Gobay.
Ia juga menambahkan bahwa hingga kini tidak ada keputusan presiden yang secara jelas menetapkan status operasi militer di Papua, sehingga seluruh rangkaian operasi tersebut berada di luar kerangka hukum yang sah.
Dampak kemanusiaan: pengungsian massal dan korban sipil
Dalam periode 2023–2025, YLBHI mencatat sedikitnya 76.228 orang mengungsi akibat operasi militer di Papua, tersebar di tujuh kabupaten lintas provinsi. Angka ini belum termasuk data pengungsian sejak 2018, yang menurut Dewan Gereja mencapai lebih dari 100.000 jiwa.
Mayoritas pengungsi adalah perempuan, anak-anak, dan lansia, dengan kondisi hidup yang sangat memprihatinkan. Gobay menyebut tidak adanya jaminan pendidikan, layanan kesehatan, maupun pemenuhan pangan bagi para pengungsi.
“Negara absen. Anak-anak putus sekolah, perempuan harus kembali ke kebun dengan risiko kekerasan,” ujarnya.
YLBHI juga mengungkap kasus kekerasan seksual brutal terhadap perempuan pengungsi, termasuk pemerkosaan, penyiksaan, hingga pembunuhan, yang hingga kini tidak pernah diproses secara hukum.
Pembunuhan di luar proses hukum
Gobay menyebut praktik extra judicial killing masih berlangsung di Papua. Dalam rentang 2013–2024, YLBHI mencatat sedikitnya 171 warga sipil tewas, termasuk anak-anak, pendeta, dan tokoh masyarakat. Namun, hampir seluruh kasus tersebut tidak pernah diproses hingga pengadilan.
“Tidak ada akuntabilitas. Ini menciptakan impunitas yang terus melanggengkan kekerasan,” katanya.
Selain kekerasan, Gobay juga menyoroti praktik bisnis militer, mulai dari pengamanan proyek tambang, perkebunan, hingga dugaan keterlibatan aparat dalam aktivitas ekonomi di luar tugas pertahanan.
Ia mencontohkan kasus perampasan tanah warga oleh satuan teritorial, serta temuan amunisi produksi PT Pindad di wilayah konflik, yang menimbulkan pertanyaan serius soal pengawasan distribusi senjata oleh negara.
“Ini menunjukkan bahwa konflik bersenjata di Papua juga membuka ruang bagi ekonomi konflik dan bisnis militer,” ujarnya.
Gobay menegaskan bahwa Papua justru menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan tertinggi, meskipun memiliki sumber daya alam melimpah.
Ia menyebut Papua Pegunungan memiliki tingkat kemiskinan di atas 30 persen, dan Papua Tengah wilayah operasi Freeport juga termasuk yang tertinggi secara nasional.
“Pertanyaannya sederhana yaitu sumber daya itu untuk siapa?” kata Gobay.
Gobay menyimpulkan bahwa pendekatan militer telah menciptakan lingkaran setan konflik yairu pengerahan pasukan memicu pengungsian, kemiskinan struktural, pelanggaran HAM, sekaligus mengamankan kepentingan ekonomi.
“Pendekatan militer bukan solusi. Ia justru menjadi bahan bakar yang terus menyalakan konflik di Papua,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Bedah Hujjah KH Afifuddin Muhajir: Dari Kewajiban Taat AD/ART hingga Pentingnya Bukti Konkret
2
Kelompok Sultan Tunjuk M Nuh sebagai Katib Aam PBNU
3
PBNU Kelompok Sultan Targetkan Percepatan Muktamar dan Gelar Harlah 1 Abad NU
4
Gus Yahya Dorong Islah Demi Keutuhan Jamiyah, Serukan Warga NU Tetap Jaga Persatuan
5
Kelompok Sultan Gelar Rapat Harian Syuriyah-Tanfidziyah di Gedung PBNU
6
Penembakan Massal Terjadi di Australia, Seorang Muslim Berhasil Lucuti Pelaku Bersenjata
Terkini
Lihat Semua