Opini

Catatan atas Pelatihan Jurnalistik Kader NU di Bandung

Senin, 1 Oktober 2018 | 10:45 WIB

Oleh Ahmad Rozali 

Mengenalkan jurnalisme bagi komunitas santri Nahdlatul Ulama sebenarnya bukan perkara sulit, mengingat sebagian besar santri telah memiliki dasar-dasar jurnalisme ‘tanpa mereka sadari’. Maksudnya, beberapa mata pelajaran di dalam lingkungan pondok pesantren pada dasarnya memiliki muatan nilai jurnalisme yang kental.

Misalnya, seorang jurnalis dituntut untuk mencari berita dari sumber yang terpercaya. Semangat mencari sumber yang terpercaya semacam ini juga terdapat dalam ilmu hadist. Di dalam mata pelajaran ulumul hadist disebutkan, sebuah hadist yang bersanad pada orang yang tak dapat dipercaya dapat diturunkan kualitasnya. Hal ini juga berlaku pada kualitas karya jurnalistik yang wajib menggunakan sumber data yang jelas dan terpercaya. Seorang jurnalis tidak dapat begitu saja menulis sesuatu yang berasal dari sesuatu yang tidak jelas sumbernya.

Contoh lain; semangat untuk melakukan verifikasi dalam sebuah kabar juga tercermin dalam perintah Al-Quran, untuk melakukan verifikasi pada kabar yang datang, terutama apabila datang dari orang fasik. Dalam jurnalistik kita mengenal istilah cover both side, untuk melakukan verifikasi pada kabar yang kita dapatkan di lapangan. Dengan itu, kita dapat mengajukan data yang objektif dengan memberikan data pembanding bagi informasi awal.

Hal kedua yang memudahkan santri dalam belajar ilmu jurnalistik adalah kesamaan tujuan jurnalisme dan Islam sebagai agama dakwah. Keduanya memiliki semangat serupa yakni semangat untuk terlibat dalam perubahan (dalam jurnalistik) dan semangat ‘mengajak pada jalan Tuhan dengan hikmah’ (dalam agama Islam). Janet steele, seorang peneliti dari Amerika Serikat mengonfirmasi hal tersebut dalam temuannya yang termuat dalam buku yang berjudul ‘Mediating Islam’. Ia menulis bahwa jurnalis media Islam seperti Sabili dan Republika (Indonesia) serta Harakah (Malaysia) menganggap bahwa bekerja untuk media Islam sama halnya dengan menyampaikan kebenaran yang berarti melakukan dakwah sebagaimana perintah agama. Semangat yang sama juga dipercaya oleh para santri, bahwa ketika ia menulis satu kebaikan yang kemudian diamalkan oleh pembacanya, maka ia mendapat pahala seperti pahala si pembaca.

Nah kesamaan-kesamaan itu memudahkan bagi santri untuk memahami tujuan dan semangat jurnalistik. Akan lebih mudah lagi, apabila si santri merupakan kader aktif dalam organisasi di bawah naungan NU seperti IPNU/IPPNU dan PMII yang telah dibekali pengetahuan tentang analisa sosial dan pengenalan politik dasar. Kader semacam ini bisa dikategorikan sebagai peserta pelatihan yang ‘setengah jadi’. Sehingga dalam pelatihan, para pelatih tak perlu berlama-lama untuk memberikan pemahaman tentang keberpihakan dalam jurnalistik, sebab mereka telah dibekali dalam pelatihan organisasi sebelumnya. 

Kemudahan itu juga tercermin saat penulis menyampaikan materi kepenulisan berita dalam pelatihan videojurnalistik yang digelar bersama oleh LTN PWNU Jawa Barat, 164 Channel dan Majlis Dzikir Hubbul Waton di Bandung akhir pekan lalu. Ke-30 peserta menunjukkan bahwa mereka tak hanya paham semangat jurnalisme di atas, namun juga memiliki dasar kemampuan yang sangat baik dalam mengoperasikan perangkat videojurnalistik seperti kamera, aplikasi editing video dan program animasi video. Sehingga akselerasi para peserta lebih cepat dari pada yang dibayangkan. Buktinya, pada akhir pelatihan para peserta sudah bisa menghasilkan sejumlah karya videojurnalistik yang dibuat dengan sangat baik.



Tantangannya Pendampingan

Walau demikian, bukan berarti setelah mengikuti materi pelatihan jurnalistik, para santri langsung dapat dianggap mampu ‘dilepas’ untuk menghasilkan produk jusnalistik dengan baik. Diperlukan proses pendampingan terhadap para santri untuk mendalami dan menekuni praktik jurnalistik. Pendampingan bisa berupa pemberian feedback dan koreksi pada karya yang dihasilkan, pemberian jadwal atau ide liputan yang tersusuk sistematik, hingga pemberiaan apresiasi atas karya yang dihasilkan. 

Pendampingan seperti ini perlu dilakukan secara intensif dalam durasi setidaknya tiga bulan pertama untuk memastikan kualitas karya dan endurance dari masing-masing santri peserta pelatihan termonitor secara baik. Nah pada proses pendampingan ini, kesabaran pelatih juga sangat dibutuhkan untuk terus berhubungan dengan santri peserta pelatihan. 

Pelatihan ini sendiri, dalam dalam lanskap yang lebih besar adalah bagian dari semangat yang lebih besar. Dalam era boardless seperti saat ini, produk jurnalisme digital, mengutip apa yang dikatakan Hery Haryanto, bisa jadi modal bagus untuk menyatukan Islam washatiyah di level global. Sebab pada dasarnya mayoritas muslim di dunia menghendaki kedamaian, namun sayangnya suara mayoritas ini kalah oleh suara mereka yang jumlahnya sedikit yang namun berhasil menguasai media dengan konten kebencian.

Penulis adalah Redaktur NU Online