Kiai Sumu Subhan, adalah seorang kiai di Bandungan yang merupakan generasi penerus ke sekian sesepuh Masjid Al-Qadim. Masyarakat sekitar terbiasa memanggilnya dengan Kiai Sumu. Mengenai tahun lahirnya, tidak ada yang mengetahuinya. Namun ia sudah cukup sepuh (meskipun tetap terlihat sehat walafiat) ketika wafatnya pada tahun 1999.
Membicarakan sosok kiai ini adalah suatu keunikan tersendiri. Ia bisa dibilang sebagai kiai yang sangat memegang teguh tradisi keulamaan dan juga merupakan ulama kebudayaan yang teguh pendirian dan tekun. Kehidupannya bisa dikatakan hampir dihabiskan untuk mengurusi Masjid Al-Qadim yang berada bersebelahan dengan rumahnya, tepatnya di sebelah selatan tepat dari rumahnya.
Kiai Sumu merupakan Imam Besar masjid Al-Qadim itu. Yang mana ia merupakan generasi ke sekian dari takmir masjid yang dibangun sejak zaman Belanda itu.
Ada suatu keunikan dalam diri Kiai Sumu ini ketika suatu saat ia menangani pengaduan tentang pencurian dari masyarakat. Ia biasanya lalu meminta untuk dipanggilkan seorang anak yatim. Kemudian membacakan beberapa doa dan meniup kuku jari jempol dari tangan si anak yatim tersebut. Kabarnya, bahwa Kiai Sumu dapat melihat si pencuri dan barang curiannya itu dari kuku si anak yatim tersebut. Jadi kurang lebih mirip kaca benggala. Kiai Sumu lalu mengatakan pesan-pesan kepada orang yang melapor itu.
“Yang mengambil barangmu adalah si anu, dan dia lari ke sebelah anu dan barangnya masih dibawa atau sudah dijual,” katanya.
Kepercayaan masyarakat menjadi tinggi karena dalam urusan begini ini masyarakat bisa medapatkan kembali barang atau uang yang hilang itu.
Keunikan yang patut dicatat dari pribadi Kiai Sumu adalah bahwa ia bisa dikatakan sebagai kiai kebudayaan. Hal ini karena, ia sangat mencintai kebudayaan masyarakat Islam Indonesia. Bersama kiai Subki dan Kiai Su’aid ia mengembangkan tradisi kesenian hadrah ala Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (Ishari) di Desa Bandungan.
Keahlian seni hadrah ala Ishari ini pada awalnya ia warisi dari Kiai Mawardi seorang pemegang jawatan penghulu di Kecamatan Pakong dan R KH Ahmad Murad. Proses belajar mereka bertiga kepada Kiai Mawardi dan RKH Ahmad Murad ini berlangsung pada sekitar tahun 1950-an.
Sampai saat ini kegiatan hadrah ini masih lestari dan populer di tengah-tengah masyarakat kecamatan Pakong. Saat ini kegiatan ini dilanjutkan kepemimpinannya oleh Kiai Mahfud.
Tentang Masjid Qadim
Namun menurut KH R. Abdus Syahir, seorang warga Desa Bandungan dan juga Imam Masjid An-Nur Bandungan Pakong Pamekasan, masjid Al-Qadim ini berdiri sejak sekitar abad ke-16 atau sekitar tahun 1500-an. Ringkasnya sudah berdiri sekitar 5 abad yang lalu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebaeradaannya hampir bersamaan dengan kedatangan Belanda yang dalam data sejarah disebutkan datang ke Indonesia (menjajah) dalam tiga kali kedatangan armada.
Masjid ini dibangun oleh Kiai Hasirudin, seorang ulama leluhur masyarakat Desa Bandungan yang makamnya hanya berjarak beberapa meter di sebelah barat masjid Al-Qadim ini.
Keberadaan masjid Al-Qadim sebagai sebuah masjid yang kuno (meskipun sekarang sudah direnovasi) adalah dihormati oleh masyarakat setempat. Masyarakat desa Bandungan Kecamatan Pakong benar-benar menjaga kehormatan (mur’ah) masjid dengan tidak berkegiatan suatu hal yang tidak membawa manfaat di dalamnya seperti sekedar beristirahat duduk-duduk tanpa berniat i’tikaf dan apalagi dengan sengaja tidur di sana.
Barongsai di Halaman Masjid
Ketika kegiatan barongsai ini (masyarakat setempat menyebutnya sebagai: can-macanan) dimulai di halaman masjid, masyarakat telah berkumpul terlebih dahulu di dalam masjid untuk menerima sedikit wejangan dari seorang Kiai (biasanya Kiai Sumu semasa masih hidupnya). Setelah itu kemudian masyarakat menerima bungkusan makanan yang biasanya berisi makanan jajan atau buah-buahan. Makanan ini sangat alami dan dibungkus dengan daun pisang atau jati.
Setelah acara makan taker selesai, maka sekarang mereka yang berada di masjid berkumpul di serambi masjid. Mereka bersiap menonton apa yang disebut can-macanan tersebut. Para ibu-ibu yang awalnya sibuk di rumah menyiapkan masakan jajanan di rumah keluar dari rumah-rumah mereka untuk menonton pagelaran ini.
Dalam sebuah kegiatan barongsai ini, biasanya terdiri dari sekitar 8 sampai dengan 10 orang dengan 4 orang memainkan 2 barongsai. Masing-masing barongsai dimainkan oleh dua orang di depan dan belakang. Sedangkan sisanya memerankan diri sebagai monyet dengan menggunakan topeng monyet dan menghitamkan tubuhnya dengan arang. Barongsai itu sendiri berbentuk menyerupai harimau.
Melihat pertunjukan ini mirip sekali dengan barongsai ala China. Hanya saja kebiasaan di China adalah barongsai dalam bentuk 7 (tujuh) naga. Meskipun sering dijumpai pula harimau dan singa. Dalam barongsai China, penggunaan simbol tujuh naga ini ada maknanya, yaitu berkemakmuran dan kesejahteraan. Namun demikian apakah kegiatan barongsai itu mengakomodasi kebudayaan China atau tidak mungkin masih perlu penelurusan lebih dalam
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
6
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
Terkini
Lihat Semua