Opini

Lorong Waktu Tragedi Kelam Pandemi Covid-19

Kamis, 22 Juni 2023 | 17:00 WIB

Lorong Waktu Tragedi Kelam Pandemi Covid-19

Ilustrasi pandemi Covid-19. (Foto: NU Online)

Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-62 tahun pada 21 Juni 2023, Presiden Joko Widodo atas nama Pemerintah RI resmi mencabut status darurat Covid-19 di Indonesia sehingga penyakit yang menyerang saluran pernafasan dampak dari Virus Corona itu otomatis telah menjadi endemi. Lebih dari 3 tahun dimulai dari 2 Maret 2020 lalu, kasus virus corona menjangkit Indonesia. Kasus pertama terjadi di Depok, Jawa Barat saat itu. Sebelum Indonesia resmi mencabut status darurat Covid, WHO terlebih dahulu mencabut status darurat global Covid-19 pada 5 Mei 2023.


Pandemi Covid-19 yang kasusnya bermula dari Wuhan, Tiongkok itu merupakan tragedi kelam bagi 231 negara di dunia termasuk Indonesia. Worldometers mencatat, total 6.893.597 orang warga dunia meninggal karena terjangkit Covid-19 dari total 690.657.848 kasus. Di Indonesia sendiri, korban meninggal sebanyak 161.853 orang dari 6.811.444 kasus. Untuk Tiongkok sendiri sebagai negara pertama yang terjangkit hanya 5.272 orang meninggal dari 503.302 kasus.


Penyematan angka 19 pada Covid sebagai tanda bahwa virus corona pertama kali muncul pada 2019 tepatnya bulan Desember di Wuhan, Provinsi Hubei. Kala itu, dalam pemberitaan beberapa media internasional, terdeteksi virus yang dengan cepat menyebar dan menyerang saluran pernafasan di Wuhan. Dalam hitungan hari, virus tersebut menyebabkan kematian beberapa orang yang terjangkit.


Pemerintah Tiongkok dibuat kalang kabut dengan virus tersebut sehingga terpaksa melakukan penguncian wilayah (lockdown) Wuhan, bahkan seluruh warga Tiongkok dilarang bepergian ke luar negeri, juga melarang turis asing masuk ke wilayah Tiongkok. Masyarakat dunia tambah dibuat geger ketika Pemerintah Tiongkok membangun rumah sakit darurat corona hanya dalam waktu 10 hari saja.


Melansir China Daily, rumah sakit bernama Huoshenshan itu mulai dibangun 23 Januari 2020, kemudian mulai menerima pasien yang terjangkit virus Corona pada 3 Februari 2020 di Wuhan. Rumah sakit tersebut berkapasitas 1.000 ranjang. Awalnya keputusan tersebut diambil dengan menjiplak rumah sakit SARS yang dibangun di Beijing pada 2003 silam.


Antisipasi cepat Tiongkok justru tidak dibarengi langkah gesit negara-negara di dunia sehingga virus ini muncul di Iran, India, beberapa negara Eropa seperti Italia, Prancis, Jerman, dan Spanyol. Kemudian merambah ke Asia Tenggara, dan memporak-porandakan Amerika Serikat. Rumah sakit di berbagai belahan dunia seketika penuh dengan orang-orang yang sesak nafas dan memerlukan oksigen. Bahkan para pasien sampai menjalani perawatan kritisnya di luar rumah sakit, padahal kondisi kala itu sedang musim dingin.


Karakter virus yang mudah menyebar melalui udara, sentuhan fisik, kerumunan, droplet dari bersin, batuk, dan bicara itu memaksa negara-negara di dunia memberlakukan kebijakan memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mencuci tangan, dan mengurangi mobilitas.


Kebijakan tersebut memaksa aktivitas manusia dipindahkan ke rumah masing-masing sehingga muncul work from home (WFH), pembelajaran daring atau online, ibadah di rumah masing-masing. Speaker di masjid dan mushala hening dari suara azan yang sering terdengar ialah suara sirine ambulans silih berganti mengangkut pasien suspect atau pun korban meninggal dunia.


Menumpuknya korban meninggal dunia karena Covid-19 memaksa petugas dan tenaga kesehatan (nakes) yang setiap hari memakai pakaian steril hazmat plus face shield berjibaku membawa jenazah ke pemakaman khusus korban Covid-19. Bahkan dari kalangan dokter dan nakes sendiri banyak yang bergelimpangan menjadi korban saat menangani pasien. Baik karena kelelahan maupun tertular virus corona.


Virus corona yang benar-benar menjadi momok dan ancaman manusia menjadikan korban meninggal juga tidak terurus. Seperti yang terjadi di beberapa negara di Amerika Selatan, tepatnya di Ekuador. Mayat korban Covid-19 dibiarkan membusuk di pinggir jalan, di rumah sakit, di Lorong-lorong bangunan, dan lain-lain. Peristiwa serupa juga terjadi di India yang memperlihatkan banyak mayat menggenang di Sungai Gangga dan ketika sungai surut, banyak mayat dengan kain kafan putih yang terlihat.


Kasus di Indonesia sendiri, seluruh rumah sakit penuh sehingga memanfaatkan gedung kosong dan hotel sebagai tempat isolasi pasien terjangkit. Tidak sedikit yang ditolak rumah sakit karena penuh. Banyak juga yang tidak mendapat tempat di gedung-gedung isolasi sehingga melakukan isolasi mandiri di rumah. Dampaknya seluruh keluarga terjangkit. Di beberapa daerah kerap terdengar satu keluarga meninggal dunia karena terjangkit.


Kebijakan pengetatan wilayah pun dilakukan. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Lalu berlanjut ke PSBB Transisi hingga ke PSBB Ketat kemudian balik ke PSBB Transisi. Transisi dilakukan ketika Covid-19 landai kemudian levelnya dinaikkan lagi ketika kasus Covid-19 kembali meninggi. Begitu juga dengan PPKM yang berubah-ubah menjadi PPKM Mikro, PPKM Darurat, dan PPKM level 1 hingga 4. Termasuk kebijakan wajib vaksin yang harus sudah divaksin hingga booster.


Huru-hara Covid-19 di Indonesia semakin bertambah ruwet ketika tidak sedikit orang yang tidak mempercayai adanya Covid-19. Sikap tersebut diikuti dengan penolakan untuk divaksinasi baik saat kondisi kritis maupun era new normal. Sehingga tingkat vaksinasi Covid-19 di Indonesia termasuk yang terendah. Ketika badan sepak bola Eropa, UEFA, sudah bisa melaksanakan perhelatan Piala Eropa 2020 yang dilaksanakan pada 2021 dan penonton sudah diperbolehkan memenuhi stadion, di Indonesia masih berjibaku dengan Covid-19. Salah satu alasannya, kasus Covid-19 di Eropa sudah melandai, warga Eropa pun 90 persen sudah divaksinasi.


Zaman pandemi Covid-19 manusia merasakan betul keheningan dunia sekaligus keprihatinan mendalam atas banyaknya korban meninggal. Kota-kota di berbagai belahan dunia sepi bak kota mati. Namun, udara menjadi bersih, langit terlihat biru karena tidak ada polusi dari kegiatan manusia. Bahkan, selama ratusan tahun, masyarakat di dekat gunung tertinggi di dunia, Everest dapat melihat badan gunung dengan sangat jelas. Keprihatinan mendalam juga dirasakan oleh kalangan pesantren. Karena selama pandemi Covid-19, ratusan ulama pesantren meninggal dunia.


Pandemi Covid-19 juga membawa perubahan kehidupan sosial ke arah ekosistem digital yang teknologinya dapat dimanfaatkan hingga sekarang. Seperti beberapa aplikasi meeting online yang digunakan perusahaan, media, dan lembaga pendidikan. Kecenderungan masyarakat dalam berjual beli juga berubah drastis dari yang tadinya kerap langsung ke pasar, kini cukup rebahan di rumah dengan membuka toko-toko online.


Disrupsi teknologi sebetulnya telah terjadi sebelum pandemi Covid-19 menjangkit. Namun, pandemi Covid-19 hanya menjadi semacam katalisator disrupsi tersebut. Bahkan tidak hanya disrupsi teknologi, tetapi juga disrupsi kehidupan sosial-ekonomi. Karena dampak besar Covid-19 salah satunya krisis ekonomi. Di Indonesia bahkan hampir terjadi resesi ekonomi. Tidak sedikit pula pengusaha dan pedagang yang gulung tikar. Sehat selalu Indonesiaku!


Patoni, Redaktur Pelaksana NU Online