Oleh KH Yahya C. Staquf
Seorang peneliti dari Institut Paramadina, Ikhsan namanya, bertemu saya beberapa hari yang lalu di Kuala Lumpur, Malaysia. Dia kebetulan membaca seri tulisan ini dan tertarik untuk mencari tahu lebih jauh karena bersinggungan dengan spesialisasi akademiknya, yaitu bidang negosiasi bisnis.
“Bagaimana kiatnya menarik pihak-pihak yang berseteru itu sehingga bersedia duduk bersama di meja perundingan?” Ia bertanya.
Jelas bahwa mengundang mereka datang tidaklah seperti mengundang kondangan.
Pada dasarnya, mereka pun telah lelah dengan konflik. Dan tak melihat apa pun dalam konflik itu selain kesengsaraan. Tapi mereka juga terjebak dalam hutang-piutang aniaya satu sama lain. Mereka tidak akan sudi berdamai jika itu berarti penaklukan oleh satu pihak atas pihak lainnya. Mereka tak mau perdamaian tanpa keadilan.
Tentu mustahil juga mengharap mereka menerima begitu saja uluran tangan seteru. Tak satu pihak pun mempercayai pihak lainnya. Karena sudah lama pula mereka saling bertukar tipu-daya.
Maka merupakan keberuntungan besar bagi mereka saat ada orang seperti Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dulu: dipercaya semua orang, menggelar sorban dan meletakkan Hajar Aswad diatasnya untuk kemudian semua pemuka kabilah boleh menggenggam tepiannya untuk mengangkatnya bersama-sama.
Dan Kiai As’ad Said Ali (Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015) datang kepada mereka.
Bagaimana rincian upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan mereka, bukanlah sesuatu yang boleh dibicarakan secara terbuka di ruang publik. Itu bukan proses yang singkat. Melalui segala macam kesulitan yang bisa dibayangkan orang. Dan jatuh-bangun yang tak terhitung.
Pendek kata, kabilah-kabilah yang saling berseteru di Afghanistan itu akhirnya menemukan semua alasan bahwa mereka bisa dengan yakin mempercayai Kyai As’ad dan Nahdlatul Ulama untuk menjadi penengah diantara mereka. (bersambung)
Penulis adalah Katib ‘Aam PBNU