Opini

Menata Otoritas, Menjaga Khittah NU

NU Online  ·  Selasa, 23 Desember 2025 | 13:06 WIB

Menata Otoritas, Menjaga Khittah NU

Nahdliyin mengusung bendera NU (Foto: Istimewa)

Nahdlatul Ulama dibangun bukan semata sebagai organisasi modern, melainkan sebagai rumah besar otoritas moral Islam Nusantara. Sejak awal, NU hidup dari keyakinan bahwa ilmu, adab, dan kebijaksanaan ulama adalah fondasi utama jam’iyyah


Karena itu, setiap konflik yang muncul di tubuh NU sejatinya bukan hanya soal perbedaan pandangan personal, melainkan menyentuh persoalan yang lebih mendasar: bagaimana otoritas keulamaan ditempatkan secara struktural dalam organisasi yang semakin kompleks dan terbuka.


Konflik internal PBNU yang terbuka ke ruang publik dalam beberapa waktu terakhir memperlihatkan dengan jelas persoalan tersebut. Ketegangan antara Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah tidak hanya berhenti pada perbedaan pandangan, tetapi berkembang menjadi krisis legitimasi dan kebuntuan struktural, di mana mekanisme musyawarah dan konsolidasi tidak lagi bekerja secara efektif. 


Seruan islah terdengar di berbagai forum, tapi belum disertai kejelasan rujukan otoritatif yang dapat mengakhiri perbedaan secara final. Situasi ini memperlihatkan satu kenyataan pahit: PBNU belum memiliki mekanisme akhir yang tegas untuk menyelesaikan konflik di level pucuk pimpinan. Ketika dua mandat sama-sama merasa sah, organisasi justru kehilangan “hakim terakhir”.


Tulisan ini tidak lahir dari jarak yang sepenuhnya dingin. Ia berangkat dari kegelisahan yang barangkali juga dirasakan banyak warga NU, bahwa konflik yang berulang di tingkat pucuk pimpinan bukan sekadar soal figur atau perbedaan tafsir, melainkan tanda bahwa ada sesuatu yang belum selesai dalam cara kita menata otoritas. 


Sebagai akademisi yang pernah bersentuhan langsung dengan dinamika organisasi NU, saya melihat bahwa seruan islah saja tidak cukup jika tidak disertai keberanian untuk membaca ulang desain kelembagaan secara jujur dan tenang.


Fenomena yang kerap disebut sebagai “matahari kembar” ini bukanlah anomali personal, melainkan konsekuensi dari desain struktural. Selama muktamar memilih Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah secara langsung dan sejajar, NU akan selalu berisiko terjebak dalam dualisme legitimasi. Harmoni memang mungkin tercipta ketika para elite saling menahan diri, tetapi konflik selalu mengintai ketika perbedaan tafsir, kepentingan, atau konteks politik muncul. Dalam organisasi sebesar NU, ketergantungan pada keharmonisan personal elite adalah fondasi yang rapuh dan tidak berkelanjutan.


Di titik inilah gagasan reformasi struktural perlu dibaca secara jernih dan tanpa prasangka. Salah satu ikhtiar yang patut dipertimbangkan adalah membatasi mandat muktamar hanya untuk memilih Rais Aam sebagai pemegang otoritas normatif tertinggi, sementara Ketua Umum Tanfidziyah dipilih dan ditetapkan oleh Rais Aam. Dengan model ini, sumber legitimasi puncak menjadi tunggal, garis komando organisasi menjadi lebih jelas, dan potensi konflik struktural dapat diminimalkan sejak awal.


Secara historis, gagasan tersebut tidak bertentangan dengan tradisi NU. Dalam kultur pesantren, kiai adalah penentu arah, sementara santri dan pengurus menjalankan fungsi pelaksanaan. Otoritas bersifat hierarkis secara etis, bukan kompetitif secara politik. Bahkan, pengalaman awal NU sendiri menunjukkan bahwa legitimasi kepemimpinan tidak selalu lahir dari mekanisme elektoral. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tidak pernah dipilih melalui pemungutan suara sebagaimana praktik organisasi modern, namun otoritasnya justru tidak pernah dipersoalkan. Kepemimpinannya diterima karena keilmuan, integritas moral, dan pengakuan kolektif para ulama.


Fakta historis ini penting dicatat untuk menghindari anggapan bahwa demokrasi dalam NU harus selalu identik dengan pemilihan langsung semua jabatan. Demokrasi, dalam pengertian yang lebih dewasa, bukan sekadar soal siapa memilih siapa, melainkan bagaimana kekuasaan diatur agar tidak saling meniadakan. Demokrasi juga menuntut pembagian peran yang tegas antara penentu arah dan pelaksana kebijakan. 


Dalam konteks NU, muktamar yang memilih Rais Aam sebagai pemegang otoritas normatif tertinggi, lalu memberi mandat kepada Rais Aam untuk menunjuk tanfidziyah, justru dapat dibaca sebagai bentuk demokrasi berlapis—di mana kedaulatan kolektif tetap dijaga, tetapi konflik struktural diminimalkan.


Pengalaman sejarah NU pada masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memperkuat pelajaran ini. Gus Dur memahami bahwa konflik dan dinamika politik tidak pernah sepenuhnya dapat diselesaikan oleh struktur formal semata. Karena itu, ia kerap menghidupkan kembali otoritas kultural para kiai sepuh—yang dikenal antara lain melalui rujukan kepada kiai Langitan—sebagai jangkar moral dan politik ketika struktur organisasi berada dalam ketegangan. Rujukan ini tidak pernah dilembagakan secara formal, tetapi bekerja efektif karena bertumpu pada kewibawaan ilmu, usia, dan keteladanan.


Namun, NU hari ini berada dalam konteks yang jauh lebih kompleks, terbuka, dan terpolitisasi. Tarikan kepentingan politik, tekanan media sosial, dan ekspektasi publik membuat konflik internal jauh lebih cepat membesar dan sulit dikendalikan. Apa yang dulu cukup diselesaikan melalui otoritas kultural kini menuntut mekanisme yang lebih tegas dan konstitusional. Dalam konteks inilah, pelembagaan Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) layak dipikirkan secara serius sebagai bagian dari reformasi struktural.


AHWA tidak dimaksudkan sebagai lembaga harian yang mengintervensi kepengurusan PBNU, melainkan sebagai mekanisme korektif darurat yang berakar pada otoritas moral para masyayikh. Dalam situasi konflik berat yang tak terselesaikan, AHWA dapat diberi kewenangan untuk mengevaluasi kepemimpinan, menengahi secara otoritatif, bahkan—dalam batas tertentu—menarik kembali mandat dan mengembalikannya kepada muktamar atau forum legitimasi tertinggi. Dengan mekanisme semacam ini, konflik tidak dibiarkan berlarut di ruang publik, tetapi disalurkan ke jalur yang memiliki legitimasi etik dan kultural.


Dari sudut pandang fikih siyasah, penataan ini bukanlah pemusatan kekuasaan, melainkan penataan amanah. Ahl al-‘ilm menetapkan arah dan batas normatif, sementara pelaksana kebijakan bertindak dalam kerangka mandat tersebut. Ketua Umum Tanfidziyah tidak kehilangan martabatnya; sebaliknya, ia memperoleh kejelasan legitimasi dan tanggung jawab. Kekhawatiran bahwa model ini akan menggerus demokrasi internal perlu dibaca secara lebih dewasa. Demokrasi bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan cara menjaga keadilan, keteraturan, dan keberlanjutan organisasi.


Ke depan, NU akan menghadapi tantangan yang jauh melampaui konflik internal: disrupsi teknologi, krisis ekologi, polarisasi sosial, dan dinamika geopolitik global. Dalam lanskap semacam itu, NU membutuhkan struktur yang bukan hanya demokratis, tetapi juga stabil, berwibawa, dan tahan konflik. Reformasi struktural—muktamar memilih Rais Aam, Tanfidziyah dipilih oleh Rais Aam, serta AHWA dilembagakan sebagai penjaga terakhir—dapat dibaca sebagai bentuk ijtihad kelembagaan untuk menyongsong masa depan tersebut.


Mengakhiri matahari kembar bukan berarti mematikan dinamika, melainkan menata ulang pusat cahaya. Bagi NU, cahaya itu sejak awal bernama ulama. Jika NU ingin tetap besar bukan hanya secara jumlah, tetapi juga secara makna, maka kejelasan otoritas bukanlah kemunduran, melainkan syarat kewibawaan.


Eko Ernada, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember; pernah memimpin PCI NU Australia–Selandia Baru

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang