Sejak ditetapkan sebagai Pandemi Global oleh Organisasi Kesehatan Dunia, WHO pada 11 Maret 2020 lalu, penyebaran dan penularan Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) berdampak buruk terhadap seluruh mobilitas yang menyertai kehidupan manusia di bumi. Tak terkecuali aktivitas keagamaan di mushola dan masjid yang turut kena dampak peniadaan ibadah untuk memutus rantai penyebaran virus tetapi dipahami secara fatalis oleh sebagian orang.
Kelompok-kelompok fatalis ini kerap melontarkan, “takutlah kepada Allah, bukan pada virus corona”, “corona ini tentara Allah”, “corona ini adalah azab”, dan lontaran-lontaran fatalis lainnya sehingga menafikan langkah-langkah pencegahan untuk kepentingan bersama.
Menyadari akan kesulitan tersebut, maka para ulama di negara-negara tersebut di atas melakukan ijtihad dengan mengambil kebijaksanaan meniadakan shalat Jumat dan sebagai gantinya diperintahkan shalat Dhuhur di rumah masing-masing. Hal ini mereka tempuh karena sebagai pemimpin mereka berkewajiban menghomati dan melindungi hak asasi manusia di antara umatnya, yakni hak atas keselamatan jiwa (hifdzun nafs) yang diamanatkan oleh syariat.
Allah dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an dengan tegas melarang manusia berbuat kerusakan di atas bumi sebagaimana ayat berikut: “Dan janganlah membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS al-A’raf: 85)
Allah adalah Dzat yang menghidupkan manusia dan memberinya kesehatan agar mereka dapat melaksanakan dengan baik kewajiban-kewajibannya, yakni beribadah hanya kepada-Nya.
Bagi para ulama, membiarkan keselamatan jiwa manusia terancam oleh virus Corona dengan membolehkan mereka berkumpul dalam jumlah besar dalam ruang dan waktu yang sama adalah sebuah tindakan yang bisa menimbulkan kerusakan karena mengancam keselamatan jiwa. Sebab itu, mencegah keburukan harus didahulukan ketimbang mengambil manfaat.
Hal ini sesuai dengan salah satu bunyi kaidah fiqih dar’ul mafasid muqoddam ‘ala jalbil masholih (upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan).
Argumentasinya adalah bahwa upaya melindungi keselamatan jiwa manusia agar terhindar dari wabah virus Corona yang sangat berbahaya itu harus diutamakan daripada upaya untuk terlaksananya kewajiban shalat Jumat.
Kedua hal tersebut, yakni menghindari wabah virus Corona demi keselamatan jiwa dan terlaksananya perintah shalat Jumat di masjid sama-sama merupakan perintah agama yang bertemu secara bersamaan dalam situasi yang sama sehingga menjadi dilema. Oleh karena itu harus ada solusi yang benar menurut syariat.
Dalam situasi seperti ini upaya melindungi jiwa manusia harus diutamakan karena bersifat mendesak dibandingkan dengan pelaksanaan shalat Jumat yang bisa diganti dengan shalat dzuhur karena terhalang adanya uzur, yakni ancaman wabah virus Corona itu sendiri yang sangat berbahaya.
Kaidah ini sangat penting untuk dipahami oleh publik dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan urusan-urusan ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah termasuk dalam urusan duniawi seperti sosial, ekonomi, hingga politik. Contoh lain, jika seseorang menghadapi dua masalah sekaligus seperti antara tuntutan memperbaiki rumah yang hampir roboh dengan keinginan beribadah umrah ke Tanah Suci.
Dalam situasi seperti ini tentu saja upaya memperbaiki rumah yang hampir roboh itu wajib didahulukan karena mendesak dan bisa menimbulkan korban jiwa bagi seluruh penghuni rumah daripada berangkat ke Tanah Suci yang hukumnya sunnah dan bisa diundur waktunya.
Dalam pandangan Islam, tidak ada sehelai daun gugur pun yang tidak berada dalam pengetahuan Allah. Semua yang ada di bumi dan segala isinya merupakan makhluk yang tidak saja diciptakan oleh Sang Khalik, tapi juga semuanya bertasbih memuji-Nya. Tidak ada penyakit kecuali Allah sediakan penawarnya. Pada saat yang sama, tidak ada yang sia-sia dari penciptaan Allah, termasuk makhluk kecil bernama Covid-19 ini.
Nadirsyah Hosen (2020) dalam tulisannya di Jawa Pos mengungkapkan sebuah riwayat yaitu saat menafsirkan surah Al-Fatihah, Imam Ar-Razi menuliskan sejumlah kisah yang menceritakan aspek spiritual dari kalimat bismillah. Salah satu kisahnya ini:
Nabi Musa merasakan sakit di perutnya. Beliau mengadu kepada Allah yang kemudian menyuruhnya mengambil sejenis daun di padang pasir. Nabi Musa mengunyahnya dan sembuh dengan izin Allah. Kemudian Nabi Musa mengalami masalah lagi dengan perutnya, maka Nabi Musa langsung mengunyah kembali dedauan itu, namun sakitnya malah bertambah nyeri.
Beliau mengadu: ’’Ya Rabb, waktu kali pertama aku makan, aku langsung sembuh. Tapi, kali kedua tidak hanya nggak sembuh, tapi malah bertambah parah.”
Allah menjawab: ’’Kali pertama kamu datang mengadu kepada-Ku memohon kesembuhan. Tapi, pada kali kedua kamu langsung saja mengunyahnya tanpa meminta petunjuk dan izin dari-Ku. Tidakkah kamu tahu bahwa dunia ini semuanya adalah racun dan penawarnya hanyalah dengan menyebut nama-Ku?”
Teguran halus kiai sepuh persis seperti teguran kasih sayang Allah SWT kepada Nabi Musa. Segala macam ikhtiar tanpa izin-Nya adalah sebuah kenisbian, bukan kepastian. Jikalau kita tidak bisa menyelesaikan masalah, ubahlah persepsi kita terhadap masalah itu. Kita harus belajar hidup berdampingan dengan seluruh makhluk Allah, termasuk virus korona.
Mungkin kita bukan lagi meminta Allah mengangkat virus ini, melainkan meminta Allah agar kita bisa hidup damai berdampingan dengan korona, sebagaimana kita hidup bersama sekian banyak penyakit di sekitar kita. Inilah yang sekarang disebut beranjak dari fase denial alias penyangkalan menuju fase acceptance atau penerimaan. Kita menerima kondisi baru ini sebagai sesuatu yang normal.
Dalam situasi krisis karena wabah virus corona, berbagai bentuk kreativitas filantropi dari masyarakat luas mengalir, baik dalam bentuk barang kebutuhan harian, hingga barang kebutuhan siap saji. Aksi galang bantuan untuk masyarakat yang membutuhkan mendapat antusiasme dari banyak pihak, tujuan mereka satu membantu masyarakat yang sangat membutuhkan agar terpenuhi kebutuhan dasar mereka.
Hal ini menunjukan bahwa filantropi telah menjadi bagian kehidupan bermasyarakat yang tak terpisahkan di Indonesia. Pada dasarnya konsep filantropi sendiri berhubungan erat dengan rasa kepedulian, solidaritas sosial antara orang kaya dan orang miskin, antara yang beruntung dan yang tidak beruntung, dan antara si kuat dan si lemah.
Kegiatan derma itu sendiri merupakan upaya bagaimana dapat meringankan beban kehidupan masyarakat terdampak Covid-19. Sebagian besar mereka ialah pekerja informal, tidak berpenghasilan tetap, dan ekonomi rentan. Mereka juga kelompok yang kehilangan pekerjaan atau PHK. Solidaritas sosial ini perlu dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari walau tanpa wabah.
Keterlibaran dan keikutsertaan masyarakat untuk bergotong-royong membantu rakyat yang terdampak Covid-19 merupakan kekuatan sebuah bangsa. Kegiatan tersebut sangat membantu ketika bantuan pemerintah turun dengan lambat padahal masyarakat sudah menanti. Gotong-royong dan kepedulian di tengah wabah ini seolah menghidupkan kembali identitas bangsa Indonesia.
Penulis adalah Redaktur NU Online
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua