Pustaka Resi Cipasung Itu Bernama Ajengan Ilyas

Ajengan Cipasung; Biografi KH Moh Ilyas Ruhiat

Kamis, 2 November 2006 | 08:04 WIB

Penulis : Iip D. Yahya, Cetakan : 1, Juli 2006, Tebal : xxxix + 327 halaman, Peresensi : Muhammadun AS*

Dalam khazanah budaya Sunda, dikenal adanya tiga pembagian kekuasaan yang setara dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ketiga lembaga kekuasaan itu menyatu dan saling mendukung. Kekuasaan yang dihormati adalah kekuasaan rohaniah yang disebut resi. Kekuasaan kedua disebut ratu, yakni pihak eksekutif yang memerintah ketiga kampung kekuasaan. Dalam bahasa yang lebih primordinal disebut negara. Dan alamat ketiga adalah rama yang tak lain adalah rakyat, yang lembaganya mengurusi keamanan dan pertahanan ketiga kesatuan tripartit kampung. Dengan demikian, ketiga lembaga memiliki pucuk pimpinan atau jawaranya sendiri-sendiri, yakni jawara rohaniah, jawara eksekutif, dan jawara silat.

Sosok kharismatik ajengan Cipasung <>Tasimalaya yang dibedah biografinya dalam buku ini tak lain adalah sosok resi yang telah mensenyawakan dirinya dan mentalitas spiritualitas Islam secara natural dengan mentalitas budaya Sundanya di Cipasung. Dia bernama KH Moh Iyas Ruhiat. Dilahirkjan hari Ahad, 12 Rabiul Awwal 1352 H/31 Januari 1934. Namanya sebagai tafa’ul terhadap tokoh muda pesantren yang tengah naik daun saat itu, KH Muhammad Ilyas, yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode (h. 37). Sejak kecil sampai dewasa, Endang Ilyas (anak kiai diseputar Tasikmalaya lazim dipanggil Endang), dididk oleh orang tuanya sendiri. Ajengan Ruhiat, bapak Endang Ilyas, adalah perintis pesantren Cipasung. Ajengan Ruhiat termasuk pelopor masyarakat Tasimalaya dalam menghadang imperialisme penjajahan Belanda, sehingga pada 17 November 1941 beliau ditangkap dan ditahan bersama ulama terkemuka, KH Zainal Musthofa di Penjara Sukamiskin dan dibebaskan 10 Januari 1942 (h. 29). Kegigihan sang ayah, sekaligus guru yang paling disegani Endang Ilyas, inilah yang menjadi spirit Ilyas untuk terus belajar secara tekun dan selalu bersikap tegar yang nantinya mampu menjadi modal memperjuangkan masyarakat Cipasung.

Kecerdasan dan ketegarannya membuat orang tuanya bangga, sehingga ketika sang Ayah merasa sakitnya parah, Endang Ilyas langsung dibai’at oleh ayahanda sebagai penerus kepemimpinan pesantren Cipasung. Ditangan Moh Ilyas, Cipasung sejak tahun 1980-an sampai sekarang menjadi pesantren besar yang penuh prestasi. Terlebih ketika Ajengan Ilyas terpilih sebagai pelaksana harian Rais Aam PBNU yang ditinggalkan KH Ahmad Siddiq dalam Munas Lampung tahun 1992. Dan kemudian beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar XXIX tahun 1994 di pesantrennya sendiri, Cipasung. Kesuksesan Ajengan Ilyas menjadi Rais Aam PBNU membuktikan akan teguhnya beliau sebagai seorang resi. Dan beliau sampai saat ini, adalah satu-satunya orang Sunda yang pernah menduduki posisi Rais Aam. Karena dalam kepemimpinan NU, jabatan Rais Aam selalu diisi orang Jawa. Dan perlu dicatat, Rais Aam bukanlah sekedar jabatan. Yang terpilih (bukan dipilih) adalah mereka yang kharismatik dan benar-benar menjadi panutan ummat. Sebut saja mislanya KH Hasyim Asy’ari, KH A. Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Sansuri.

Sosok resi yang melekat dalam diri Ajengan Ilyas sangat dirasakan oleh seluruh warga NU dan pesantren. Beliaulah yang menjadi siger tengah (tokoh moderat) dalam konflik elite NU di Munas Lampung 1992. Waktu itu, Gus Dur berseteru dengan pamannya sendiri, KH Yusuf Hasyim, dan KH Ali Yafie. Pada Muktamar Cipasung tahun 1994, ketika Gus Dur dan Abu Hasan berseteru, bahkan karena tidak terpilih, Abu Hasan akhirnya mendirikan NU tandingan bernama KPPNU, Ajengan Ilyas tampil lagi sebagai siger tengah yang mengembalikan keutuhan jam’iyyah dan jama’ah NU. Ketika warga NU digegerkan oleh Naga Hijau dan Ninja yang membantai warga Banyuwangi, beliau bersama Gus Dur tampil dengan santun menyelesaikan konflik tersebut dengan damai. Dan ketika warga NU sedang bergairah era reformasi, beliau juga merestui lahirnya PKB yang kemudian mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI. Sampai sekarang, walaupun kondisi fisik beliau sudah sangat lemah, ketika warga NU diterpa godaan politik yang menggoyahkan Khittah 1926, beliau tetap bersungguh-sungguh mempertahankan Khittah yang diwariskan para sesepuh NU.

Totalitas perjuangan Ajengan Ilyas dalam NU sangatlah besar dan dikagumi warga NU. Tidak hanya warga NU, tetapi seluruh bangsa. Karena di Jawa Barat beliau juga sering memelopori dialog lintas agama dan linta sektoral. Beliau selalu menggandeng Muhammadiyah dalam persoalan umat Islam. Dalam pluralitas keberagamaan, beliau selalu menggendeng para pemuka agama Indonesia, termasuk ikut masuk dan berceramah di pesantrennya. Walaupun demikian, beliau tetap santun dan rendah diri. Menduduki posisi tertinggi di NU, beliau tetap tinggal di Cipasung. Karena baginya, Ilyas dan Cipasung bagai biji yang tumbuh ditanahnya sendiri. Cipas