Laku koruptif dan sikap diskriminatif masih saja aktif. Tindak radikal dan ujaran kebencian tak pernah pasif. Langkah taktis nan strategis pemerintah sudah represif. Namun, suasana kebangsaan tak kunjung kondusif. Belum lagi diperparah dengan berita-berita fiktif.
Lahirnya Wawasan Pancasila dari rahim pemikiran Yudi Latif menjadi oase dan angin segar bagi gersangnya suasana dan panasnya atmosfer politik yang tengah berkecamuk akhir-akhir ini guna mengoreksi atas keindonesiaan pribadi.
Di Papua, terjadi penembakan terhadap para pekerja yang tengah membangun jembatan di Kabupaten Nduga. Sebelumnya, publik juga diramaikan dengan pro kontra perda syariah. Ada lagi tentang pertemuan ribuan orang di Monumen Nasional mengatasnamakan identitas tertentu. Publik seolah terus dibenturkan menjadi dua kelompok, satu kubu setuju dan lainnya yang tak sepakat.
Benturan demikian bukan saja membulirkan peluh, tapi juga membuat lingkungan teduh menjadi gaduh. Penyakit demikian dari dulu tak kunjung sembuh. Malah semakin mengaduh akibat sana sini saling misuh. Padahal pengalaman kita jika dihitung tahun sudah berbilang puluh.
Keramaian di jagat maya tak menghasilkan buah manis di dunia nyata. Alih-alih memikirkan manfaat bagi masyarakat, kita justru terjebak pada kepentingan sesat dan sesaat. Habis energi, bangsa sendiri yang harus menanggung rugi.
Melihat kondisi demikian, perlu kiranya masyarakat menengok kembali ke masa lalu guna refleksi, kilas balik atas perjalanan para pendiri membangun pondasi negeri. Di atas segala perbedaan, baik ras, agama, maupun golongan, mereka telah bersepakat Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yudi Latif menguraikan perumusan lima poin penting hasil perasan atas berbagai pemikiran yang ada di dunia itu dengan rinci yang terbagi ke dalam tiga fase, yakni fase perintisan, fase perumusan, dan fase pengesahan.
Pria yang menamatkan studi magister dan doktoralnya di Universitas Nasional Australia (ANU) itu juga membahas Pancasila secara yuridis, filosofis, hingga praktis. Pada sektor pertama, Kang Yudi, sapaan akrabnya, menguraikan Pancasila sebagai dasar konstitusi negara. Selanjutnya, ia menjelaskan makna terdalam yang terkandung dalam lima sila itu dari segi dimensi ontologis, epistimologis hingga aksiologis. Dimensi terakhir, aksiologis, diperluas bukan hanya sebagai laku diri dan karakter pribadi, tetapi juga sebagai benteng atas degenerasi akibat globalisasi yang mencakup ideologi transnasional hingga gempuran pasar internasional.
Sebagai suatu diskursus yang sejak mula kelahirannya juga sudah menuai perdebatan, Pancasila tentu saja tidak antikritik. Ia tidaklah sempurna. Namun, ketidaksempurnaan itu tidak menggugurkan posisinya sebagai suatu hasil dari sebuah kesepakatan. Baik buruk dari hasil itu harus ditanggung bersama. Adapun segala kekurangan, sebagaimana yang dikritisi oleh Yudi Latif, seperti eksklusi sosial dalam berketuhanan yang tidak lagi mencerminkan berkebudayaan, itu yang harus dipenuhi oleh kita saat ini. Tidak lagi mempersoalkan redaksi lima sila itu, terlebih mengganti dasar konstitusi tersebut yang sudah sejak dulu menjadi kesepakatan bersama. Karena itu juga, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin menyebut NKRI sebagai negara kesepakatan (dar al-mitsaq).
Oleh karena itu, kehadiran buku dari akademisi yang secara mendalam menekuni diskursus Pancasila ini tentu sangat penting saat ini. Tulisan yang cair memberikan kenikmatan tersendiri bagi pembaca. Meskipun Yudi sulit atau entah sengaja tidak melepaskan diksi-diksi ilmiahnya sehingga bagi awam sesekali perlu sedikit waktu memahaminya atau bahkan hingga membuka kamus.
Syakir NF adalah mahasiswa pascasarjana Fakulas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
Identitas Buku
Penulis : Yudi Latif
Judul : Wawasan Pancasila, Bintang Penuntun untuk Pembudayaan
Cetakan : Ke-1, Oktober 2018
Tebal : VIII+315
Penerbit : Mizan
ISBN : 978-602-441-089-6