Pustaka

Ketika Santri Jatuh Cinta

Senin, 30 April 2012 | 06:03 WIB

Judul: Bentang Pasantren
Pengarang: Usep Romli H M
Penerbit: Kiblat Buku Utama
Cetakan: Ke-4 
Tahun : 2011
Tebal: 70 Halaman 
Peresensi: Abdullah Alawi
<>
Pesantren memiliki dunianya sendiri dengan kiai sebagai pusatnya (Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, 1982). Dengan demikian, pesantren  memiliki ciri khas sendiri, norma sendiri yang berbeda dengan dunia luar, kendati hanya beberapa meter jaraknya. Meminjam istilah Gus Dur, yang demikian itu, disebut subkultur.

Begitu juga dalam urusan cinta. Pesantren punya cara sendiri mengekspresikannya. Hal itu bisa kita nikmati dalam novel berbahasa Sunda Bentang Pasantren karya Usep Romli HM.

Novel ini mengisahkan seorang santri bernama Aep, jatuh cinta kepada putri ajengan (gelar kiai di Pasundan) bernama Imas. Selain cantik jelita, Imas juga ahli qiroah sab’ah dengan suara merdu. Suaranya mirip Rofiqoh Darto Wahab (Penyanyi Lesbumi di tahun 60-an) (halaman 9)

Tetapi, tata tertib pesantren sangat ketat. Jangankan bercengkrama, untuk sekadar melihat wajah, susahnya bukan main. Hanya rindu yang menggelayut di dada Aep. Antara cemas dan harap campur-baur setiap malam. Apalagi ketika ia tahu santri-santri senior dan lurah santri juga menaruh hati kepada Imas. Diam-diam mereka sudah lebih dulu mengirim surat cinta. Persaingan dingin terjadi. 

Tanpa disengaja, Aep bertemu Imas di Pemandian. Keduanya hanya bertatapan, terpana, kemudian kabur. Tak dinyana, pertemuan itu dilaporkan kepada lurah santri. Meski tidak melakukan apa-apa, Aep ditajir, rambutnya dibotak sebelah. 

Ta’jir memicu Aep semangat mengaji. Ia melampiaskan kemarahannya dengan melalab kitab-kitab yang diajarkan. Karena ketekunannya, ia punya kesempatan untuk sorogan secara khusus kepada Mama Ajengan.

Nah, pada setiap sorogan itulah Aep merasa selalu ada suara berjinjit di pelupuh, kemudian mengintip di balik gorden tempat ia sorogan kepada Mama Ajengan.  

Jeung nu kacida nguntungkeun, eta saban-saban kuring rek asup ka kamar panglinggihan Mama nu husus diangge tempat anjeuna ngawuruk, jeung nyimpen kitab, reregan kamar sagigireunna sok katenjo oyag-oyagan. Lebah dinya sok katenjo aya teuteup ngajorelat, nyerangkeun saliwat, samemeh ngelok ka jero. (halaman 56-57)

(Yang menguntungkan, setiap aku masuk ke kamar Ajengan, khusus tempat sorogan, dan menyimpan kitab, gorden kamar sebelah tampak bergoyang-goyang. Di situlah aku melihat tatap selintas, kemudian hilang). 

Meski tidak jelas benar, Aep yakin suara pelupuh, gorden bergoyang dan pengintip itu adalah Imas, pujaan hatinya, bentang pasantren, yang bersuara merdu. Dan ia yakin itu pertanda cintanya gayung bersambut, berbalas. Berdasar keyakinan ini, ia makin semangat mengaji. 

Bentang Pasantren karya Usep ini mampu menampilkan kearifan pesantren seperti kebersamaan, setia kawan, taat aturan, menghormati orang tua, qonaah, dan menghargai waktu. Semua itu merupakan ajaran yang diilhami ayat Al-Quran, hadis, qaul ulama, dan teladan ajengan, yang sudah bersenyawa dengan kehidupan pesantren.  

Usep yang pernah mendapat anugerah sastra Rancage dari Yayasan Rancage ini, kisah percintaan dengan ruang pertemuan yang demikian sempit. Ia lihai menggambarkan suasana hati Aep dengan menukil Syair-Syair Kerinduan Umrul Qais. Usep paham dunia pesantren karena pernah ada di dalamnya. 

Pengarang kahot (populer) ini juga pandai menampilkan percakapan cerdas diselingi guyon sehingga pembaca bisa imut gelenyu (tersenyum) atau cacalakatan (tertawa terbahak-bahak). 

Sayangnya, Usep tidak terlalu detail dalam menggambarkan suasana pesantren ketika mengaji, dan jumlah kobong, misalnya. Dan perjumpaan Aep bersama Imas selalu berdasarkan kebetulan-kebetulan yang beruntun. 



* Pengamat sastra Sunda