Imam Ghazali adalah salah seorang pemikir Muslim terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Sebagian besar kaum Muslim menempatkan Imam Ghazali sebagai pemikir genius yang berhasil memadukan fiqih dan tasawuf secara mengesankan dan paling luas diterima. Semasa hidup, ia telah menuangkan pemikirannya ke dalam beberapa karya monumentalnya. Selain itu, tulisan dari orang lain sesudahnya juga tak kalah banyak.
Jika demikian, lalu apa yang membedakan buku ini dengan karya lain?
Meski pemikiran Imam Ghazali telah banyak dikaji, namun karya yang satu ini tetap memiliki beberapa kebaruan. Pertama, buku Metode Zikir dan Doa al-Ghazali ditulis bukan oleh seorang Muslim. Kojiro Nakamura adalah seorang pemeluk agama Buddha berkebangsaan Jepang yang bergiat dalam bidang studi Islam. Buku ini tak lain merupakan revisi dari desertasinya tahun 1970 di Universitas Harvard. Kini ia mengajar di Universitas Obirin dan menjadi profesor di sana.
Kedua, Metode Zikir dan Doa al-Ghazali secara ekstensif mengkaji pemikiran dan pengalaman Imam Ghazali tentang zikir dan doa. Dari penelitian Nakamura, ditemukan bahwa Imam Ghazali menggolongkan penggunaan zikir ke dalam lima kategori. Kategori pertama, zikir sebagai upaya untuk selalu mengingat Tuhan, kemudian mengalihkan perhatian utama kita dari dunia kepada Tuhan dan akhirat.Kategori kedua, zikir sebagai semacam olah meditasi atau mental yang memupuk kondisi jiwa tertentu atau sikap batin yang saleh.
Zikir kategori ketiga melibatkan pelafalan kalimat suci secara terus-menerus sambil selalu mengingatnya untuk memupuk cinta seperti yang dilafalkan dan diingatnya. Kategori zikir keempat menggambarkan situasi manusia ideal yang dicapai melalui praktik zikir mental dan lisan yang panjang. Kategori zikir kelima sekaligus terakhir merupakan metode pengonsentrasian pikiran yang paling intensif dengan cara pengulangan frasa suci yang sederhana, tanpa melibatkan aktivitas lain yang bisa mengganggu konsentrasi ini (hal. 98-99).
Tak beda dengan zikir, Imam Ghazali berpendapat bahwa doa merupakan elemen esensial dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Maka dari itu, sudah semestinya manusia melakukannya sesering mungkin tanpa menunggu datangnya musibah. Sebab selama seseorang masih manusia, ia tidak bisa mengenyahkan doa kepada Tuhan.
Meski begitu, Imam Ghazali menetapkan sejumlah persyaratan bagi pendoa untuk bersikap rendah hati (tadharru’), rindu (raghbah), takut (rahbah), kemutlakan, ketulusan, serta kemurnian hati dan penyesalan atas dosa-dosa (hal. 107-110).
Mengingat posisinya yang cukup vital ini, berbagai doa indah telah diturunkan dari para nabi, sahabat nabi, dan para wali. Lafal-lafal doa yang mereka ajarkan sangat dianjurkan untuk kita gunakan setiap kali memohon pada Allah. Karena dengan demikian, paling tidak kita dapat belajar tentang sikap batin yang benar.
Namun, Imam Ghazali pun mengakui bahwa pada tingkatan tasawuf yang tertinggi, tidak ada lagi doa karena tidak ada perbedaan antara pemohon dan Tuhan. Pada tahap ini, doa dalam pengertian yang kaku tidak diperlukan lagi (hal. 105).
Buku ini, selain cocok dibaca para pengagum sosok dan pemikiran Imam Ghazali, sangat pas pula dimiliki oleh mereka yang sedang konsen melakukan studi komparatif antara Islam dengan Buddha. Nakamura telah melakukan perbandingan antara ritual ibadah pada kedua tradisi agama yang sekilas tampak berbeda dari segi doktrin namun terdapat sedikit kemiripan bila ditinjau dari praktik utama dan basis psikologis dari suatu ibadah.
Di sini, Nakamura memfokuskan penelitiannya pada zikir dalam tasawuf, kóan dalam Buddhisme Zen, dan nembutsu dalam tradisi Jodo-shu (Tanah Murni) yang ternyata merepresentasikan praktik inti dari masing-masing tradisi.
Kóan adalah metode yang sangat efektif untuk mengarahkan orang-orang yang baru belajar Zen pada situasi Pencerahan atau penyatuan dengan cara mendorong akal pada titik ekstrem hingga ia mengalami kebuntuan total. Sekilas, kondisi konsentrasi ini sama dengan kondisi yang berusaha dicapai oleh sufi melalui zikir sebagai persiapan untuk menerima berkah dan kasih Tuhan (hal. 118). Namun dalam zikir, titik puncaknya ada pada kebisuan konsentrasi pemikiran dan harapan untuk mendapat nikmat tuhan melalui penyerahan diri.
Lain halnya dengan nembutsu yang secara teknis berarti terus mengingat Buddha yang ideal dan meditasi tentang kebaikan-Nya, jasa-jasa-Nya, atau sosok-Nya, dan kemudian menancapkan nama tersebut dalam pikiran dengan “hasrat untuk mengalihkan perhatian tentang Buddha yang mulia kepada hamba yang bergelimang dosa” (hal. 121).
Nembutsu lebih menyerupai cara berpikir orang-orang yang mempraktikkan sesuatu karena yakin akan kegunaannya. Sedangkan zikir sendiri menurut Imam Ghazali adalah metode menggapai keyakinan sejati. Dengan demikian, dapat ditarik persamaan bahwa keduanya sama-sama menolak memberikan nilai positif pada dunia fana ini dan menganggapnya sebagai sesuatu yang nista.
Selain berkutat pada metode, kelebihan berikutnya dari buku ini adalah disajikannya praktik wirid yang biasa dibaca ketika Imam Ghazali berzikir dan berdoa dalam kesehariannya. Pembahasan tentang wirid-wirid Imam Ghazali tersebut terbilang cukup lengkap karena meliputi segala aktivitas manusia dari bangun tidur sampai tidur lagi yang disarikan langsung dari kitab Ihya’ Ullumuddin.
Lalu seperti apa zikir dan doa tersebut serta bagaimana pula cara mengamalkannya dalam kehidupan kita sehari-hari? Biarkanlah ia menjadi alasan mengapa Anda harus membaca buku ini.
Peresensi adalah Ach. Khalilurrahman, pecandu buku yang kini bermukim di Sumenep
Identitas Buku
Judul Buku : Metode Zikir dan Doa al-Ghazali
Penulis : Kojiro Nakamura
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Juni 2018
Tebal Buku : 206 hal.
ISBN : 978-602-441-040-7