Pustaka

Rintihan Burung Kedasih: Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Karesidenan Pati

Jumat, 5 Juli 2024 | 17:00 WIB

Rintihan Burung Kedasih: Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Karesidenan Pati

Jilid novel Rintihan Burung Kedasih karya Pandir Kelana

Rintihan Burung Kedasih merupakan novel bertemakan revolusi 1945, novel ini mengambil setting waktu tahun 1948-1949 yang merupakan fase terakhir apa yang disebut dengan Revolusi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Sementara itu setting tempat dalam novel ini adalah di Karesidenan Pati, Jawa Tengah.


Novel ini ditulis oleh Pandir Kelana yang merupakan nama pena dari Slamet Danusudirdjo, penulis novel dan juga tentara yang lebih mengkhususkan diri pada kisah revolusi kemerdekaan Indonesia. Selain Rintihan Burung Kedasih, novel lainnya dari Pandir Kelana antara lain berjudul Bara Bola Api, Huru-Hara di Kaki Gunung Slamet, Kereta Api Terakhir, dan lain sebagainya. Untuk novel Kereta Api Terakhir sendiri sudah difilmkan dengan judul yang sama.


Rintihan Burung Kedasih ini merupakan bagian dari delapan novel yang berlatar belakang sejarah perjuangan bangsa dalam Rrevolusi Kemerdekaan. Sehingga tokoh dalam novel ini juga muncul di novel Pandir Kelana lainnya. Itulah yang memang menjadi ciri khas dari Pandir Kelana, di mana tokoh novel yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan.


Pandir Kelana dalam novel ini bisa dikatakan memberikan gambaran tentang bagaimana situasi Indonesia khususnya di Karesidenan Pati, di mana konsolidasi pemerintah sipil dan militer berjalan sulit. Sebab sedikit sekali pasukan TNI yang berada di Karesidenan Pati.


Jadi, Karesidenan Pati ini kan salah satu basis dari Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan daerah terakhir yang dibersihkan oleh pasukan TNI. Pasca Muso mati, Amir Syarifuddin pun  melarikan diri ke Karesidenan Pati dan dengan pengawalan yang kuat. Nah, Divisi Siliwangi yang hampir seluruhnya dikerahkan untuk menumpas pemberontakan ini ditarik, dipersiapkan di dekat garis demarkasi sebelah barat, menunggu perintah kembali masuk Jawa Barat bila Belanda menyerang wilayah Republik.


Seperti namanya, novel ini menggabungkan unsur mitos di dalamnya, di mana rintihan burung kedasih dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai pertanda akan datangnya marabahaya, lebih tepatnya kematian. Pada akhirnya beberapa tokoh dalam novel ini mati diberondong timah serdadu Belanda. Seperti Mayor Ali Junaedi dan Letnan Musa.


Cerita dalam novel ini tak melulu soal pertempuran, juga menyelipkan tentang kisah cinta di tengah revolusi. Tetapi, jangan harap kisah cinta dalam novel ini berakhir indah, justru berakhir ironi, karena maut yang memisahkan. Selain itu, dalam novel ini juga menyelipkan bait-bait puisi berbahasa Belanda.


“Ik zwerf hier verlaten,
hier langs de straten.
Ik kan het leven haten,
wanner ik droevig ween.
Al wat ik liefheb is miji ontnomen.
Zie mij aan als een arme zwerveling.”


“Aku mengembara,
sepanjang jalan.
Kubenci hidup ini,
bila ku menangis.
Yang kukasihi disambar orang.
Aku hanya seseorang pengembara.” (Hal. 10).


Dalam dunia kesusastraan latar belakang penulis pasti berpengaruh terhadap karya sastra, itulah yang juga terjadi dalam novel ini. Ya, penulis memang seorang tentara dengan pangkat terakhir mayor jenderal dan menjadi tentara sejak tahun 1945. Sehingga bisa dikatakan secara tidak langsung lebih banyak menceritakan tentang peran TNI di masa tersebut.

Pria yang pernah menjabat sebagai Rektor Institut Kesenian Jakarta ini adalah satu dari sedikit Jenderal yang menghasilkan karya fiksi, meskipun namanya boleh dibilang kalah tenar dengan Trisno Yuwono.


Lalu yang menarik adalah jika dikaitkan dengan periodisasi karya sastra Indonesia, ia menulis novel di tahun 1990-an. Nah, ia mengambil jalan berbeda dengan kebanyakan karya sastra di zaman itu, di mana tema dalam novel Pandir Kelana ini  merupakan ciri khas dari Sastrawan Angkatan 45.


Tentu karya-karya Pandir Kelana ini patut dikulik lebih lanjut, khususnya oleh para mahasiswa Sastra Indonesia sekarang ini.

 

Data Buku

Judul: Rintihan Burung Kedasih
Penulis: Pandir Kelana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 1992
Jumlah Halaman: 404 halaman
ISBN: 9795114077
Peresensi: Malik Ibnu Zaman

 

Malik Ibnu Zaman, kelahiran Tegal Jawa Tengah. Malik, menulis sejumlah cerpen, puisi, resensi, dan esai yang tersebar di beberapa media online.