Pustaka

Scam: Menyingkap Perbudakan Manusia Era Digital di Asia Tenggara

NU Online  ·  Jumat, 26 September 2025 | 15:00 WIB

Scam: Menyingkap Perbudakan Manusia Era Digital di Asia Tenggara

Jilid buku Scam: Inside Southeast Asia’s Cybercrime Compounds (Foto: Abi S. Nugroho)

Ada buku yang setelah selesai dibaca bikin kita merasa lega, bahkan terhibur dan menyenangkan. Namun ada pula buku yang justru menciptakan kegelisahan panjang, menyisakan pertanyaan-pertanyaan meresahkan yang membuat kita tidak nyaman tentang dunia tempat kita hidup. Scam: Di Balik Industri Penipuan Siber di Asia Tenggara adalah buku dalam kategori kedua.


Ditulis oleh Ivan Franceschini, Ling Li, dan Mark Bo, buku ini mengangkat wajah tergelap dari transformasi digital di Asia Tenggara. Lahirnya pabrik-pabrik penipuan daring yang beroperasi dengan sistematis, brutal, dan terorganisir. Judul aslinya, Scam: Inside Southeast Asia’s Cybercrime Compounds, cukup menggambarkan inti persoalan, bahwa penipuan siber bukan lagi aktivitas individu iseng kurang kerjaan berkedok spam email, tapi industri bernilai miliaran dolar yang beroperasi layaknya korporasi, dengan manajer, target profit, departemen khusus, bahkan “jam kerja.”


Mirza Jaka Suryana sebagai penerjemah berhasil membawa karya ini ke pembaca Indonesia dengan bahasa yang lancar, tegas, dan tetap mempertahankan nuansa investigatif yang pekat sebagaimana versi aslinya.


Industri Gelap Bernama Scam
Buku ini membuka lapisan demi lapisan realitas yang jarang kita bayangkan. Dari luar, gedung-gedung yang jadi markas “kompaun” (compound) mungkin terlihat seperti kantor biasa. Namun di dalamnya berlangsung sebuah industri yang mengeksploitasi manusia sekaligus menjerat korban berskala global.


Scam dipahami sebagai penipuan digital yang merugikan korban secara finansial, dalam mekanisme industri kriminal terorganisir yang beroperasi dalam “kompaun” atau kompleks tertutup. Scam dalam buku ini mencakup berbagai modus seperti romance fraud, investment fraud, hingga pig butchering, dengan praktik eksploitasi ganda. Pertama, korban di luar yang ditipu, dan berikutnya korban di dalam adalah pekerja migran yang direkrut dengan janji pekerjaan sah lalu dipaksa bekerja, disekap, bahkan mengalami kekerasan. 


Dengan kata lain, scam bukan praktik tipu daya daring biasa, melainkan sistem perbudakan modern berbasis digital yang memadukan kejahatan finansial, perdagangan manusia, dan manipulasi permainan hukum lintas negara.


Para penulis melacak bagaimana perekrutan dilakukan lewat iklan pekerjaan palsu. Orang-orang dari Myanmar, Laos, Kamboja, bahkan Indonesia dijanjikan pekerjaan sah dengan gaji tinggi. Sesampai di lokasi, paspor mereka disita, mereka dipaksa bekerja menipu orang lewat romance scam, pig butchering, atau skema investasi bodong. Mereka yang menolak akan dipukul, disetrum, atau dipaksa menebus kebebasannya dengan uang.


Letak keunggulan buku ini, para penulis menyingkap modus kejahatan transnasional dengan dimensi ekonomi politik yang menopang seluruh ekosistem. Dari jaringan perekrutan tenaga kerja, jalur perdagangan manusia, sistem pengawasan internal, hingga mekanisme pencucian uang melalui platform kripto. Semua dibongkar dengan detail.


Salah satu tesis utama buku ini adalah transformasi penipuan dari level individu ke level industri. Jika dulu scammer identik dengan “penipu online” yang bekerja sendirian, kini mereka menjadi bagian dari korporasi kriminal. Ada pembagian kerja. Sebagian bertugas mengincar dan mencari target, sebagian merancang skrip percakapan, sebagian lagi mengurus aliran dana.


Para penulis menunjukkan bahwa kompaun scam beroperasi layaknya start-up. Ada investor awal, ada perekrutan tenaga kerja, ada KPI (Key Performance Indicator), dan ada sistem bonus. Bedanya, seluruh ekosistem ini dibangun di atas perbudakan modern. Mereka yang bekerja bukanlah karyawan sukarela, melainkan tawanan.


Kita menyaksikan bagaimana kapitalisme digital, ketika tidak diatur, bisa merosot menjadi kapitalisme barbar. Ironisnya, di tengah gempita “ekonomi digital” yang selalu diagung-agungkan oleh pemerintah di Asia Tenggara, industri gelap seperti inilah yang justru tumbuh subur.


Kesaksian Menyedihkan Para Korban
Kekuatan emosional buku ini terletak pada kesaksian para penyintas. Ada pekerja muda yang awalnya melamar pekerjaan sebagai customer service, lalu mendapati dirinya terjebak dalam kompaun di perbatasan Myanmar. Ada pula yang berusaha kabur tapi tertangkap, dipukuli, dan dijual kembali ke kompaun lain.


Bagi pembaca Indonesia, kisah-kisah ini bukanlah cerita jauh. Media dalam negeri sudah beberapa kali melaporkan WNI yang dipulangkan setelah menjadi korban perekrutan palsu ke Kamboja atau Filipina. Scam memberikan konteks besar bagi potongan-potongan berita itu. Ia memperlihatkan bahwa setiap kasus individu adalah bagian dari jaring kriminal raksasa yang membentang lintas negara.


Kesaksian ini menimbulkan pertanyaan moral yang cukup menghantam. Bagaimana mungkin, di abad ke-21, di era di mana kita berbicara tentang kecerdasan buatan dan internet 5G, masih ada manusia yang diperlakukan seperti budak di dalam gedung-gedung yang dijaga ketat?


Buku ini tidak berhenti pada kisah individu. Ia juga menelisik struktur lebih luas. Hubungan antara ekonomi gelap dan negara. Para penulis menunjukkan bahwa scam tidak bisa bertahan tanpa “perlindungan” politik dan celah hukum.


Beberapa kompaun berada di zona ekonomi khusus yang memang lemah pengawasannya. Investor kriminal bisa menyewa gedung, membayar aparat keamanan lokal, dan beroperasi dengan tenang. Ada pula kasus pejabat yang sengaja menutup mata karena ikut menikmati rente dari keberadaan industri gelap ini.


Di titik ini, scam menyodorkan pelajaran pahit. Kejahatan terorganisir selalu membutuhkan simbiosis dengan negara, entah dalam bentuk korupsi, regulasi longgar, atau keterlibatan langsung.


Satu bab penting buku ini membahas kerja teknologi yang mempercepat laju penipuan. Media sosial digunakan untuk mencari korban, algoritma membantu menargetkan orang-orang yang rentan, AI dimanfaatkan untuk memalsukan suara dan wajah dalam skema penipuan.


Para penulis mengingatkan, masalahnya melampaui “teknologi netral dipakai untuk tujuan jahat.” Justru, logika bisnis platform digital yang mengejar klikbait, interaksi, dan engagement secara struktural membuka ruang penyalahgunaan. Inilah ironi terbesar. Sebuah inovasi teknologi yang digadang-gadang untuk konektivitas global justru melahirkan industri kejahatan penipuan transnasional.


Catatan terhadap Buku
Meski kuat, buku ini tetap menyisakan ruang untuk kritik. Pertama, dalam menekankan peran jaringan kriminal transnasional (sering dikaitkan dengan aktor Tiongkok. Penulis buku tampak kurang mendalami keterlibatan aktor domestik. Padahal, di banyak kasus, pejabat daerah atau pebisnis domestik ikut menopang keberlangsungan kompaun. Dengan adanya analisis lebih seimbang akan membuat argumen lebih tajam.


Kedua, bagian solusi kebijakan terkesan ringkas dan kurang tajam. Setelah menggambarkan masalah dengan detail, penulis hanya menyarankan kerja sama internasional dan regulasi ketat. Padahal, pembaca mungkin menunggu blueprint yang lebih jelas, tentang mekanisme koordinasi antarnegara, langkah-langkah mendorong platform digital bertanggung jawab, atau bagaimana mendukung korban pasca-penyelamatan.


Ketiga, dari perspektif Indonesia, buku ini bisa memperkaya dengan dengan lebih banyak testimoni korban WNI. Kehadiran perspektif lokal atau domestik akan membuat pembaca Indonesia merasa lebih dekat sekaligus lebih tersentak. 


Mengapa buku ini penting bagi Indonesia? Setidaknya ada empat alasan.


Pertama, Indonesia adalah negara pengirim tenaga kerja. Banyak warga, terutama dari lapisan bawah, mudah tergiur janji pekerjaan luar negeri. Tanpa edukasi dan perlindungan yang kuat, mereka menjadi target empuk perekrut palsu.


Kedua, Indonesia adalah pasar korban. Dengan penetrasi internet yang tinggi dan literasi digital yang rendah, warga Indonesia menjadi sasaran favorit scam online. Dari penipuan kripto, romance scam, hingga phishing, kerugian finansial warga negara kian membengkak.


Ketiga, Indonesia adalah aktor politik regional. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia punya tanggung jawab untuk memimpin inisiatif regional memberantas kompaun scam. Buku ini seharusnya menjadi alarm bagi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan aparat penegak hukum bahwa masalah ini tidak bisa ditangani dengan operasi sporadis, melainkan dengan strategi komprehensif.


Terakhir, tidak kalah penting, bahwa penulis atau peneliti kriminal khususnya tentang dunia digital di tanah air setidaknya sangat terbantu dengan buku ini, sehingga dapat melakukan penelitian yang lebih mengungkap sekaligus menjawab persoalan dalam negeri.


Apa yang Bisa Dilakukan?
Membaca Scam membawa kita pada kesadaran bahwa kompaun penipuan siber tidak bisa dipahami semata sebagai perkara kriminal. Ia adalah simpul dari begitu banyak persoalan sekaligus. Mulai dari perdagangan manusia, lemahnya regulasi migrasi, kelonggaran tata kelola keuangan, hingga absennya tanggung jawab platform digital. Karena itu, arah kebijakan yang terinspirasi dari buku ini tidak boleh bersifat tambal-sulam atau insidental. 


Dalam upaya penegakan hukum, usaha yang dilakukan harus dimulai dari hulu dan hilir secara bersamaan. Pada titik paling awal perlu dibuat strategi literasi, ketika seseorang tergoda oleh iklan pekerjaan palsu bisa mengambil sikap yang tepat. 


Negara seharusnya hadir dengan sistem edukasi yang menyeluruh, menjelaskan kepada netizen calon tenaga kerja apa saja modus perekrutan palsu yang kerap menjebak mereka. Pengawasan terhadap iklan kerja daring juga tidak bisa lagi dianggap remeh. Dalam banyak kasus, pintu masuk ke jeratan kompaun selalu berawal dari tautan pekerjaan yang tampak sahih.


Namun upaya pencegahan kerap dilakukan hanya separuh jalan. Jaringan kriminal yang begitu terorganisir tidak akan runtuh jika hanya dihadapi dengan operasi kepolisian yang sesekali dilakukan. Diperlukan penindakan tegas, terkoordinasi lintas negara, dan berbasis intelijen keuangan. Aliran dana yang berputar melalui platform kripto misalnya, harus dipantau dengan serius dan dikenai regulasi yang memungkinkan transparansi. Tanpa itu, industri scam akan terus menemukan cara beradaptasi dan mengalami metamorfosis. Di sinilah peran Indonesia menjadi strategis. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Jakarta harus mengambil inisiatif memimpin kerja sama regional, bukan jadi penonton yang sibuk mengevakuasi korban setelah semuanya terlambat.


Tetapi kebijakan yang berpihak tidak boleh berhenti pada pencegahan dan penindakan. Ada dimensi kemanusiaan yang menuntut perhatian. Ribuan korban harus dipulihkan. Para korban bukan angka statistik, tapi manusia yang pernah ditipu, dipukul, dipaksa bekerja di bawah ancaman. 


Negara punya kewajiban memulihkan penyintas, mulai dari layanan kesehatan mental, pendampingan hukum, hingga program reintegrasi sosial dan ekonomi. Tanpa itu, penderitaan yang ditinggalkan kompaun scam akan berlanjut menjadi trauma pribadi dan kerentanan sosial yang sulit disembuhkan.


Di sisi lain, ada aktor yang selama ini lolos dari sorotan, yakni perusahaan teknologi. Tanpa media sosial, aplikasi perpesanan, dan infrastruktur keuangan digital, industri scam tidak akan tumbuh sebesar sekarang. Namun selama ini, platform sering bersembunyi di balik klaim netralitas, seolah mereka hanya penyedia layanan yang tak bisa disalahkan. 


Buku ini justru menegaskan sebaliknya. Logika bisnis platform yang mengejar klikbait, interaksi, dan engagement struktural membuka ruang bagi penipuan. Maka, akuntabilitas platform tidak bisa lagi ditunda. Mereka harus didesak untuk lebih proaktif dalam memblokir akun mencurigakan, melaporkan transaksi abnormal, dan bekerja sama dengan otoritas hukum.


Dengan demikian, Scam mampu memberi paparan masalah dengan fondasi empiris mengartikulasikan sebuah strategi kebijakan yang lebih utuh. Dari pintu hulu pencegahan, jantung penindakan, hingga hilir pemulihan korban dan tuntutan akuntabilitas teknologi, semuanya adalah simpul yang harus disentuh jika kita sungguh ingin membongkar industri penipuan siber di Asia Tenggara. 


Buku ini tidak menyediakan resep instan, tetapi justru itulah kekuatannya. Ia memaksa kita berpikir serius, menyusun kebijakan dengan kepala dingin, dan bertindak dengan keberanian politik yang selama ini sering absen.


Scam: Di Balik Industri Penipuan Siber di Asia Tenggara bukan buku yang mudah dibaca. Ia membuat kita menunduk pada realitas getir, bahwa dunia digital yang sering kita rayakan sebagai lambang kemajuan ternyata juga bisa menjadi ladang perbudakan baru.


Namun justru di situlah nilai penting buku ini. Ia menolak optimisme buta tentang teknologi. Ia menyodorkan fakta-fakta telanjang yang memaksa kita bertanya. Mau dibawa ke mana arah digitalisasi di Asia Tenggara? Bagaimana dengan Indonesia?


Bagi Indonesia, keharusan menyingkap bagaimana anak bangsa bisa terjerat sebagai korban, operator, atau sasaran. Kita melihat bagaimana negara kita rentan karena lemahnya regulasi, rendahnya literasi, dan kuatnya godaan rente.


Membaca buku ini berarti menyiapkan diri untuk meresahkan keadaan. Karena keresahan itu perlu, sebab dengan keresahan mendorong kita segera mengambil tindakan.

 
Data Buku
Judul buku: Scam: Inside Southeast Asia’s Cybercrime Compounds
Judul Bahasa Indonesia: Scam: Di Balik Industri Penipuan Siber di Asia Tenggara
Tebal: 180 halaman 
Penulis: Ivan Franceschini, Ling Li, dan Mark Bo
Penerjemah: Mirza Jaka Suryana
Penerbit: GDN Press
Peresensi: Abi S. Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang