Ahmad Rifaldi
Kolomnis
Baru-baru ini telah terbit satu buku menarik berjudul C. Snouck Hurgronje dan Wajah Islamnya (diterbitkan Maret 2024) yang ditulis oleh A. Ginanjar Sya’ban. Buku ini membicarakan isi sejumlah surat korespondensi yang ditulis dan dikirim oleh keluarga, para ulama, habaib, mufti, bangsawan, saudagar, penghulu, dan tokoh Nusantara lainnya (Hindia Belanda) kepada Snouck (atau terkait Snouck) pada rentang tahun 1884 hingga 1929. Surat-surat ini dikirim kepada Snouck baik ketika ia berada di Hijaz (1884-1885), di Belanda pasca Hijaz (1885-1889), lalu ketika ia bertugas sebagai penasihat pemerintahan kolonial di Hindia Belanda (1889-1906), juga setelah kembalinya Snouck ke negaranya di Belanda pasca tugasnya di Hindia dan bekerja sebagai ilmuwan dan guru besar di Universitas Leiden hingga akhir hayatnya (1906-1936).
Terdapat 30 buah surat yang dibicarakan dalam buku ini yang kesemuanya tersimpan di Perpustakaan Universitas (Universiteit Bibliotheek/UB) Leiden, Belanda, sebagai kelompok koleksi C. Snouck Hurgronje. Ginanjar menjelaskan bahwa surat-surat yang ditulis ini menggunakan berbagai bahasa dan aksara yang berbeda-beda, antara lain bahasa Arab, Jawa, dan Sunda aksara Arab (Pegon), bahasa Sunda aksara Latin, juga bahasa Belanda. Melalui surat-surat tersebut, kita akan disuguhkan perspektif lain terhadap sosok Snouck dan wajah Islamnya, salah satunya adalah bagaimana para tokoh besar ini memanggilnya, menganggapnya, bahkan menempatkannya sebagai seorang yang sangat disegani.
Tulisan ini tidak akan membicarakan isi-isi surat tersebut, silahkan para pembaca membeli buku A. Ginanjar Sya’ban yang menarik ini di platform terkait. Kita juga tidak akan menggiring opini pada satu sudut pandang tentang sosok Snouck ini, baik sebagai sosok yang protagonis bahwa ia benar-benar seorang Muslim yang tulus, atau sebaliknya, sebagai sosok antagonis yakni seorang munafik, penghianat, yang berpura-pura memeluk agama Islam untuk tujuan menaklukkan masyarakat muslim Hindia Belanda. Ragam spekulasi ini kerap menimbulkan kontroversi sejak dulu hingga sekarang tiap kali disebutkan nama Snouck Hurgronje, baik dari kalangan para sarjana maupun publik secara umum. Akan tetapi, tulisan ini akan membicarakan bagaimana keadaan dan posisi Snouck berdasarkan data-data yang ditulis oleh para sarjana untuk kita menilai sendiri konteks apa yang melatarbelakangi pro kontra ini.
Awal Kesan Negatif tentang Snouck Hurgronje
Ginanjar menjelaskan dalam kata pengantar bukunya bahwa kesan miring dan pandangan buruk terhadap sosok Snouck tampaknya tak lepas dari pengaruh Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935) seorang tokoh puritanisme Islam yang memusatkan aktivitasnya di Kairo, Mesir pada awal abad ke-20. Dalam majalah al-Manar yang terbit di Kairo dan tersebar pengaruhnya ke berbagai wilayah Islam, termasuk Hindia Belanda, Ridha menyebut Snouck sebagai “orang munafik, musuh agama Islam, penjajah.” Tulisan lainnya di majalah yang sama, Ridha juga kerap mengkritik ulama Hindia Belanda keturunan Arab-Hadrami yang juga menjadi mufti Batavia kala itu, yaitu Sayid Usman bin Yahya. Ridha menyebutnya sebagai “mufti antek penjajah, boneka buatan Belanda yang tidak ada kebaikan dalam dirinya.”
Pandangan miring selanjutnya juga datang dari seorang peneliti Belanda yang menulis tentang Snouck, yaitu P. Sj. van Koningsveld yang berpandangan bahwa keislaman Snouck hanyalah kepura-puraan belaka. Snouck melakukan sandiwara itu guna mendapatkan akses ke kota suci Makkah, berdialog dengan para ulama dan meneliti atau memata-matai orang-orang Jawi yang tinggal di kota suci itu. Snouck bahkan terus melakukan sandiwara itu ketika di Hindia Belanda sampai-sampai mengawini dua putri Sunda yang kedua-duanya merupakan anak seorang ulama terpandang, dan memiliki sejumlah anak.
Perlu diketahui, bahwa Snouck menikah di Hindia Belanda sebanyak dua kali. Pertama, ia menikah dengan Sangkana Resmi, gadis Sunda anak ajengan penghulu Ciamis, Rd. H. Moehammad Taibin. Pernikahan tersebut berlangsung di masjid agung Ciamis pada bulan Desember 1889. Dari pernikahannya dengan Sangkana, Snouck dikaruniai empat orang anak, yaitu Emah Salmah (l. 1890), Oemar (l. 1892), Aminah (l. 1893), dan Ibrahim (l. 1894). Ketika mengandung anak kelima di tahun 1896, Sangkana wafat karena keguguran. Dua tahun berikutnya, yaitu pada 1898, Snouck kembali menikah dengan seorang perempuan Sunda, bernama Siti Sadijah, putri dari Rd. H. Moehammad Soe’ib atau yang dikenal dengan nama Kalipah Apo, seorang ajengan penghulu Bandung. Dari pernikahan tersebut, Snouck dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Rd. Jousoef (l. 1905).
Kepura-puraan itu dibuktikan salah satunya melalui fakta bahwa ketika Snouck selesai dari tugasnya di Hindia Belanda dan pulang ke negeri asalnya pada 1906, ia tidak membawa istri dan anak-anak kandungnya ke Belanda. Melainkan yang dalam genggamanya ketika pulang adalah sejumlah hasil risetnya berkaitan tentang keislaman di Nusantara, berupa manuskrip, kitab, dokumen, rekaman, dan artefak kesejarahan. Sejak saat itu, ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke Nusantara, dan tidak ada catatan mengenai perjumpaan kembali dengan keluarga Sundanya secara fisik, kecuali melalui surat menyurat. Bahkan, empat tahun setelah berada di Belanda, Snouck menikah dengan seorang perempuan Belanda bernama Ida Maria. Dari pernikahannya itu, Snouck dikaruniai seorang putri bernama Christien (l. 1914).
Snouck kemudian melanjutkan karirnya sebagai guru besar di Universitas Leiden, memberikan ceramah dan kuliah ilmiah di beberapa kampus bergengsi di Eropa dan Amerika, serta menjadi pembicara utama di beberapa kongres orientalis internasional. Dia bahkan secara resmi menjadi penasihat untuk Kementerian Urusan Tanah Jajahan (Ministerie van Ko-loniën) hingga akhir masa hidupnya di mana ia meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936, dalam usia 79 tahun. Melalui kementerian itu, ia memberikan nasihat-nasihat yang berkaitan dengan dunia Islam dan Hindia Belanda. Meski begitu, ia kerap menjalin hubungan baik dengan para ilmuwan dunia, baik dari Eropa ataupun dari dunia Islam, termasuk pada tokoh dan ilmuwan dari Hindia Belanda.
Pandangan berbeda tentang Snouck Hurgronje
Sekarang kita beralih pada hal-hal berkaitan tentang Snouck Hurgronje menggunakan perspektif lain berdasarkan pandangan Snouck sendiri terhadap Islam. Perspektif yang berbeda ini akan kita temukan melalui interaksi Snouck dengan para tokoh Islam dan bagaimana penghormatan para tokoh tersebut terhadapnya. Tidak sampai di situ, kita juga perlu menyelami posisi Snouck sebagai seorang ilmuwan dan posisi lainnya sebagai pejabat Hindia Belanda.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Snouck telah melakukan riset ilmiah di Hijaz selama satu tahun, tepatnya dalam kurun Agustus 1884 sampai Agustus 1885. Menurut Ginanjar, Snouck telah mengikrarkan keislamannya di kota Jeddah, ia bersyahadat lalu berkhitan, setelah itu mengganti namanya dengan Abdul Ghaffar, dengan disaksikan oleh dua tokoh muslim. Setelah beberapa bulan kemudian, Snouck akhirnya melaksanakan ritual umroh. Dia memasuki kota suci Makkah pada minggu ketiga bulan Februari 1885. Tanggal 21 Februari 1885 adalah malam pertama ketika Snouck memasuki area Masjidil Haram yang sakral. Snouck pun menunaikan ibadah shalat di hadapan Ka’bah untuk pertama kalinya, bersujud di atas lantai marmer pada bagian teras baitullah (rumah Allah).
Selama di Makkah ini, Snouck berinteraksi dengan sejumlah tokoh berpengaruh dari kalangan pejabat, penyair, cendekiawan, dan juga para ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram. Mereka itu antara lain adalah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafi’i, w. 1886), Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi (ulama besar mazhab Syafi’i, w 1890), Syekh Sulaiman al-Zuhdi al-Naqsyabandi (ulama besar sufi, w. 1901), termasuk para ulama Nusantara yang mengajar di Makkah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1897), Syekh Abdul Hamid Kudus (w. 1915), Haji Hasan Mustapa (w. 1930), Syekh Junaid al-Batawi, dan lain-lain.
Hal menarik yang perlu digarisbawahi dari riset Snouck di Makkah ini adalah rasa kekagumannya terhadap dinamika kehidupan masyarakat Muslim dan kepada kota suci itu sendiri. Dalam kumpulan bahan-bahan kuliah yang disampaikan Snouck berjudul Muhammedanisme (diterbitkan tahun 1916, versi terjemahan bahasa Indonesia berjudul Muhammadanisme, diterbitkan oleh Matabangsa tahun 2018), Snouck menjelaskan bahwa aktifitas kaum Muslim di Makkah yang menetap selama bertahun-tahun untuk belajar agama dan beribadah, mentalitas mereka bukan untuk menjawab rasa penasaran mereka, melainkan tujuannya adalah untuk mendapatkan arah yang benar bagi kehidupan mereka dan keselamatan jiwa-jiwa mereka dalam kehidupan yang akan datang (akhirat).
Snouck bahkan berkata: “Faktanya, jika kita mampu melepaskan diri kita untuk sesaat saja dari seluruh prasangka dogmatik dan menjadi seorang penduduk Makkah bersama warga Makkah yang lain, menjadi salah seorang “tetangga Allah”, begitu mereka menyebutnya, maka di dalam tempat suci itu, Masjidil Haram, kita akan merasa seolah-olah sedang berbicara dengan para leluhur kita dari lima atau enam abad yang lalu. Di sinilah skolastisisme dengan warna kenabian membentuk daya tarik yang luar biasa bagi pemikiran ribuan orang yang memiliki bakat intelektual luar biasa di segala zaman.”
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa rasa kekaguman itu muncul didasari oleh pengetahuan keislamannya yang mendalam. Snouck merupakan ilmuwan yang kompeten, ia fasih dalam berbahasa Arab, dan memiliki pengetahuan yang mendalam soal ajaran Islam, hal tersebut membuatnya menjadi tokoh yang disegani dan dihormati oleh para tokoh Islam kala itu. Menurut Kevin W. Fogg dalam artikel berjudul Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hurgonje tentang Hindia Belanda (versi terjemahan bahasa Indonesia, terbit tahun 2017), fakta bahwa Snouck mempraktikkan agama itu secara sangat serius selama berada di Makkah tampak jelas dalam buku hariannya. Apakah ia berpindah keyakinan atau tidak, tetapi waktu yang dihabiskannya di Makkah telah mengubah konsepnya tentang Islam secara keseluruhan, sebagaimana disepakati oleh para sarjana.
Gambaran wajah Islam Snouck juga ditemukan ketika ia bertugas sebagai penasihat pemerintahan kolonial di Hindia Belanda (1889-1906). Di Hindia, Snouck menjalin hubungan erat dengan para ulama, mufti, penghulu, para keturunan Arab, para bupati dan sultan, penguasa dan bangsawan lokal, hingga tokoh pergerakan nasional. Menurut Ginanjar, sebagian mereka menyebut Snouck dengan sebutan “al-‘allamah” (seorang ulama yang memiliki pengetahuan yang luas), “mufti besar Hindia Belanda,” “al-syaikh,” “al-ustaz,” “al-akh fillah” (saudara dalam agama Allah), “al-ab al-syafiq” (ayah yang penuh kasih sayang), “nashiruna ‘ala din al-Islam” (penolong kami dalam agama Islam), dan lain-lain.
Pernikahan Snouck dengan dua putri Sunda juga telah mengindikasikan hal penting bahwa Snouck telah menjalani kehidupan yang begitu intens kepada para tokoh-tokoh Muslim di negeri itu. Dia bahkan menamai anak-anaknya dengan nama-nama Islami, seperti Salmah, Oemar, Aminah, Ibrahim, dan Jousoef, serta menjamin kehidupan dan pendidikan istri dan anak-anaknya bahkan sampai Snouck sudah berada di Belanda. Wim van den Doel sebagaimana dikutip oleh Ginanjar, mengatakan bahwa, “Snouck sangat bahagia hidup bersama orang-orang Sunda. Dia benar-benar ingin menjalani kehidupan di kalangan para muslim. Dia bahkan tidak suka orang Belanda yang tinggal di Batavia hanya untuk cepat kaya atau berkarir sebagai pegawai negara.”
Dalam buku Ginanjar ini juga dijelaskan, bahwa pernikahan Snouck dengan Sangkana yang dilangsungkan di masjid agung Ciamis pada awal tahun 1890 telah memicu kontroversi di kalangan pejabat Belanda. Beberapa surat kabar menyoroti pernikahan tersebut. Bahkan Menteri Urusan Jajahan Belanda, Levinus Wilhelmus Christiaan Keuchenius (menjabat 1888-1890) meminta penjelasan resmi tentang kebenaran berita tersebut. Meskipun pernikahan tersebut benar-benar terjadi, namun pihak Snouck berupaya menyangkal kebenaran berita yang dipublikasikan oleh koran tersebut. Bahkan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Cornelis Pijnacker Hordijk (menjabat 1888-1893) pun turun tangan dengan mengatakan bahwa peristiwa perkawinan Snouck itu hanya rekayasa untuk keperluan studi Snouck tentang upacara perkawinan Islam.
Hal menarik dari peristiwa ini adalah pemerintah Hindia Belanda akan merasakan aib besar dan pengaruh buruk jika membenarkan pernikahan Snouck dengan Sangkana. Ginanjar mengutip ungkapan van Koningsveld, jika Snouck terbukti melakukan pernikahan secara resmi dan tertulis menurut hukum Belanda dengan wanita inlander (pribumi), maka status hukum baginya adalah hukum untuk kaum pribumi, dan akan dianggap sebagai manusia kelas bawah. Apalagi, jika hal tersebut terjadi pada Snouck, dalam kapasitasnya sebagai salah satu pejabat tinggi pemerintahan sekaligus ilmuwan besar Belanda yang disegani.
Integritas keilmuan
Pada akhirnya, berdasarkan data-data di atas yang menggambarkan tentang sosok Snouck Hurgronje, membawa saya pada satu kesimpulan penting, yaitu posisi Snouck yang penuh dengan dilematis. Satu sisi, adalah posisinya sebagai pejabat tinggi di pemerintahan Hindia Belanda dan seorang ilmuwan yang disegani. Sisi lain, Snouck telah menyelam terlalu dalam pada pengetahuan Islam hingga menjalin interaksi yang begitu erat dengan para tokoh penting dan ulama terkemuka pada masanya. Kedua posisi itu memunculkan sebuah asumsi dasar yang memungkinkan ia menyembunyikan status agama yang dipeluknya.
Kendati demikian, kehadiran sosok Snouck dan hasil risetnya telah memberikan dampak yang cukup besar bagi perkembangan studi keagamaan dan kebudayaan. Integritas Snouck sebagai seorang ilmuwan yang berpengalaman akan studi keislaman ditunjukkan melalui hasil-hasil risetnya yang menjadi rujukan para sarjana di seluruh dunia. Disertasi Snouck dalam meraih gelar doktor di Leiden berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan Makkah), menjadi karya penting dalam menjelaskan dinamika ibadah haji umat Muslim di kota suci Makkah.
Riset lainnya yang berjudul Mekka (diterbitkan tahun 1888), dianggap sebagai rujukan penting terkait sejarah sosio-intelektual kota suci Makkah di akhir abad ke-19. Di dalamnya, terdapat sejarah intelektual para ulama Nusantara dan jaringan keilmuan mereka di Masjidil Haram pada kurun masa tersebut. Karya lainnya yang menjadi rujukan penting dalam studi keindonesiaan adalah De Atjèhers (diterbitkan tahun 1893-1894) yang menjadi sumber otoritatif terkait kajian antropologi budaya yang menjelaskan Aceh serta seluk beluk masyarakatnya. Hal-hal tersebut perlu kita anggap sebagai apresiasi positif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan sejarah dan budaya yang telah diwariskan Snouck kepada kita.
Ahmad Rifaldi, alumnus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pesantren Al-Awwabin Depok, Jawa Barat
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
2
Peran Generasi Muda NU Wujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di Tengah Konflik Global
3
Cerita Rayhan, Anak 6 Tahun Juara 1 MHN Aqidatul Awam OSN Zona Jateng-DIY
4
Daftar Barang dan Jasa yang Kena dan Tidak Kena PPN 12%
5
Luhut Binsar Pandjaitan: NU Harus Memimpin Upaya Perdamaian Timur Tengah
6
OSN Jelang Peringatan 100 Tahun Al-Falah Ploso Digelar untuk Ingatkan Fondasi Pesantren dengan Tradisi Ngaji
Terkini
Lihat Semua