Tokoh

Mbah Salman, Mursyid Bersahaja nan Kharismatik

Sabtu, 31 Agustus 2013 | 23:16 WIB

Duka masih menggelayuti lingkungan Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo Wonosari Klaten. Pengasuh pesantren tersebut, KH M Salman Dahlawi wafat, Selasa (27/8) pukul 17.45 WIB, dalam usia 78 tahun. Kepergiannya membawa duka yang mendalam bagi banyak pihak, khususnya bagi kalangan Jam’iyyah Thariqah<>

Mbah Salman, begitu dia biasa dipanggil oleh para santrinya, merupakan mursyid Thariqah Naqsabandiyyah-Khalidiyyah. Saat ini, dia juga tercatat menjadi anggota Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Selama hidup beliau juga pernah menjabat sebagai Mustasyar di Nahdlatul Ulama (NU). 

Yang membuat banyak kalangan nahdliyin semakin hormat kepada sosok ini adalah kesediaannya untuk tetap mengaji kepada kiai, dengan cara antri sebagaimana santri kebanyakan, meskipun beliau sendiri sudah memimpin pesantren dan diangkat sebagai Mursyid Tarekat.  Keaktifannya di NU tidak menghalangi sosok ini untuk akrab kepada semua pihak dari beragam latar belakang.

Figur yang amat bersahaja, ramah serta tawadlu’ adalah kesan yang akan didapati oleh siapapun yang bertamu ke rumah kiai. Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya. Bahkan tidak jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu.

Menjadi Mursyid Usia 19 tahun

Mbah Salman adalah anak laki-laki tertua dari KH M Mukri bin KH Kafrawi. Dan dia merupakan cucu laki-laki tertua dari KH M Manshur, pendiri pesantren Al Manshur. Kiai Manshur sendiri adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais Makkah.

Sebagai cucu laki-laki tertua, Salman muda memang dipersiapkan oleh sang kakek, KH M Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai wali, untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thariqah Naqsyabandiyah.

Tahun 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membai’atnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. Maka, ketika pemuda-pemuda lain seusianya tengah menikmati puncak masa remajanya, Gus Salman harus memangku jabatan pengasuh pesantren sekaligus mursyid.

Untuk menambah bekal pengetahuannya sebagai pengasuh, Gus Salman nyantri lagi ke pesantrennya K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri selama kurang lebih empat tahun (1956 – 1960). Sebulan sekali, ia nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama Salman mondok di Kediri, diasuh oleh ayahnya sendiri, KH M Mukri.

Sebelum diangkat menjadi mursyid, Salman mengenyam pendidikan di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo dan beberapa kali nyantri pasan (pengajian bulan Ramadhan) kepada K.H.Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang,Seiring dengan perkembangan jaman, pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga mengalami perkembangan. Jika semula santri hanya ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan, mulai tahun 1963 didirikan lembaga pendidikan formal mulai Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Diniyah (1964), Madrasah Aliyah (1966) dan yang terakhir TK Al-Manshur (1980).

Popongan Setelah Kepergiannya

Belakangan, seiring dengan kian lanjutnya usia beliau, Kiai Salman tampaknya juga menyiapkan kader pribadinya, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam (35 th). Kondisi fisik Kiai yang sangat tawadhu ini, belakangan, memang agak melemah dan intonasi suaranya tidak lagi sekeras dulu. Maka putra ketujuhnya yang lahir di Makkah inilah yang menjadi badalnya (pengganti) untuk memberikan pengajian-pengajian.

Saat ini pesantren Al-Manshur Popongan terdiri tiga bagian : pesantren putra, pesantren putri dan pesantren sepuh yang diikuti oleh orang-orang tua yang menjalani suluk, lelaku tarekat. Berbagai bentuk kegiatan pesantren juga ditata ulang, sekaligus dengan penunjukkan penanggung jawabnya. Kiai Salman sendiri, selain sebagai sesepuh pesantren, juga mengasuh santri putra dan santri sepuh (santri thariqah) yang datang untuk suluk dan tawajuhhan pada bulan-bulan tertentu.

Sampai hari-hari terakhir menjelang masuk ke rumah sakit beliau tetap mengajar, meskipun santri yang ada di hadapan beliau hanya satu orang. Demikianlah sosok yang di dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah karya Martin van Bruinessen, termasuk tokoh tarekat yang disebut dalam mata rantai KH M Manshur dari KH Muhammad Hadi Girikusumo, Mranggen, Demak ini, dia tidak membedakan sedikit banyaknya santri yang belajar.

Santri mukim yang belajar kepada kiai sepuh ini jumlahnya ratusan orang setiap angkatan. Dan jika dihitung sudah mencapai lebih dari 100 ribu orang yang pernah nyantri kepada Almarhum.

Almarhum meninggalkan seorang isteri, Hj Siti Aliyah dan delapan anak, yaitu Musta’anatussaniyah, Umi Muktamirah, Munifatul Barroh, Murtafiah Mubarokah, Muhammad Maftuhun Ni’am, Muhammad Miftahul Hasan, Multazam Al-Makki, dan Marzuqoh Maliya Silmi. Yang tidak menyertai suami di luar Klaten juga membantu mengasuh di pesantren yang Almarhum pimpin. Para menantunya juga mengasuh pesantren di Krapyak Yogyakarta (KHM Najib Abdul Qodir); Al-Ishlah Kediri (KH Zubaduz Zaman), Al-Muayad Windan (KHM Dian Nafi’).

 

(Ajie Najmuddin/ dari berbagai sumber)