Pemilih Dewasa dari NU pada Pemilu 2009 Mencapai 57 Juta Orang
Ahad, 21 September 2008 | 03:45 WIB
Dalam setiap survei nasional, jumlah masyarakat Indonesia yang mengidentifikasi dirinya warga Nahdlatul Ulama (NU), tak pernah turun angkanya dari 30 persen. Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 nanti, jumlah pemilih dewasa dari NU diperkirakan bisa mencapai 55 sampai 57 juta orang.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, dalam paparannya pada diskusi bertajuk “Ormas dan Pemilu 2009” di Kantor Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (19/9) lalu.<>
Angka tersebut, kata Qodari, tentu sangat menarik bagi partai politi dan para politikus di negeri ini. Mereka, lanjutnya, jelas melihat NU sebagai aset penting terkait Pemilu 2009 mendatang.
“Karena NU memiliki basis massa yang riil. Mereka akan berusaha mencari dukungan dari warga NU dengan ‘melirik’ jaringan struktural yang ada di tubuh NU,” ujar Qodari.
Namun, hal itu sekaligus merupakan masalah bagi NU sendiri sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia. Ia tak mungkin bersih seutuhnya dari panggung politik karena kantong suara yang riil memang ada di ‘kantong’ NU.
NU, imbuhnya, perlu mencari formulasi yang paling ideal, apakah sebagai ormas keagamaan yang keluar dari Khittah 1926, partai politik, atau ormas yang sempat memiliki sayap politik, seperti PKB.
Selain itu, NU juga harus tetap meningkatkan pelayanan sosial. Caranya, bisa memfasilitasi program-program untuk penguatan masyarakat sipil, seperti lebih banyak membangun gedung sekolah dan rumah sakit, serta mendirikan lembaga-lembaga perekonomian.
Hal senada dikatakan Pemimpin Redaksi NU Online, Munim, DZ, yang juga hadir pada kesempatan itu. menurutnya, NU semestinya bisa bermain lebih elegan dengan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah, seperti penyederhanaan partai politik.
Memang sulit bagi NU untuk bersih dari politik praktis. Sebab, kelahirannya juga akibat masalah politik. “Sekadar mengingatkan, sejak awal, NU selalu menjadi target kepentingan politik. Maka, tidak heran kalau NU pernah bermain sebagai gerakan politik,” tandasnya.
Sebagai kekuatan yang diperhitungkan, NU memang punya hubungan erat dengan kekuasaan. Pandangan ini bisa dilacak dari peran penting NU dalam pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sejak ia menjadi federasi kelompok Islam di Indonesia hingga menjadi partai politik.
Buntutnya, tidak lama kemudian, pada Muktamar di Palembang (Sumatera Selatan) tahun 1952, NU mengikrarkan diri keluar dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri menyusul kekecewaan NU terhadap kelompok Mohammad Natsir. “Tidak heran kalau NU, sekali bergerak, selalu dinilai politis,” pungkasnya. (dar/rif)
Terpopuler
1
Khatib Tak Baca Shalawat pada Khutbah Kedua, Sahkah?
2
Meninggal Karena Kecelakaan Lalu Lintas, Apakah Syahid?
3
Masyarakat Adat Jalawastu Brebes, Disebut Sunda Wiwitan dan Baduy-nya Jawa Tengah
4
Hukum Quranic Song: Menggabungkan Musik dengan Ayat Al-Quran
5
Jalankan Arahan Prabowo, Menag akan Hemat Anggaran dengan Minimalisasi Perjalanan Dinas
6
Wacana AI untuk Anak SD, Praktisi IT dan Siber: Lebih Baik Dimulai saat SMP
Terkini
Lihat Semua