Sejarah JATMAN (1): Nilai-Nilai Ahli Tarekat, Kongres Pertama, dan Ilham Dua Kiai
Senin, 30 Desember 2024 | 14:00 WIB
Nur Khalik Ridwan
Kolomnis
Sejarah berdirinya Jam‘iyah Ahli Tarekat di kalangan NU (dan kemudian kini menjadi JATMAN: Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah), ada beberapa penjelasan yang disebarkan melalui media-media online. Akan tetapi tidak sepenuhnya berita-berita ini berdasarkan data dengan arsip atau karya dari pendirinya. Berkaitan dengan ini, sebagian cerita berdirinya Jami‘yah Ahli Tarekat di kalangan NU, pernah juga di-beber oleh KH Chalwani Nawani dari Purworejo yang disebarkan melalui media sosial. Kini beliau telah diangkat oleh Kongres JATMAN ke-13 di Asrama Haji Donohudan, sebagai Rais Aali JATMAN.
Tentang sejarah organisasi ahli tarekat sampai terbentuknya JATMAN berdasarkan arsip-arsip atau karya otentik, ada satu data yang menjelaskan sejarah berdirinya organisasi ini dalam karya berjudul “Risalah al-Mu’tamar al-Awwal”, dengan aksara pegon Jawi: aksara Arab dengan bahasa Jawa, tidak lebih dari 17-an halaman. Penulisnya, menurut sebagian sumber disebut namanya dengan Kiai Masruhan. Dalam, sampul karya itu, tidak ada keterangan, tetapi memang tulisannya tidak begitu jelas. Saya mendapatkan naskah ini dari Mas Abdullah Zuma, yang memperolehnya dari Mas Nanal. Kita semua, sebagai warga Nahdliyin, sangat berterima kasih, naskah-naskah seperti ini tetap terpelihara dan ada yang masih menyimpannya.
Dalam karya ini, ada beberapa penjelasan, agak pendek-pendek memang, soal seluk beluk berdirinya organisasi para ahli tarekat, tujuan, dan berkumpulnya mereka untuk melakukan bahtsul masail tentang soal ketarekatan. Karenanya, karya itu menjadi sangat penting untuk mengetahui sejarah awal berdirinya Jam‘iyah Ahli Tarekat di kalangan NU. Tulisan ini akan menjelaskan soal sejarah berdirinya wadah tarekat di kalangan NU berdasarkan versi karya ini, yang tidak menutup kemungkinan ada data lain yang memperkayanya.
Nilai-Nilai Para Ahli Tarekat
Di dalam karya ini, di lembar paling awal, setelah pembukan ada penegasan “amma ba’dhu: mangka kitha nganganggep wigatos sanget nyebaraken putusan/sejarah/susunan panitia/hasil perjuanganipun lan tujuan-tujuan kongres Alim Ulama Ahlith Thariqah tanggal 12/13-10-57 wonten ing Tegalreja Magelang Jawa Tengah//Adapun setelah itu: maka kita menganggap penting sekali menyebarkan keputusan/sejarah, susunan panitia/hasil perjuangannya dan tujuan-tujuan Kongges Alim Ulama Thariqah tanggal 12/13-10-57 bertempat di Tegalrejo Magelang Jawa Tengah” (hlm. 1).
Menurut karya ini, pertemuan para ahlith thariqah ini dinamakan dengan kata kongres, bukan muktamar, meski maknanya untuk konteks tertentu sama, tetapi sejatinya dari sudut kata dan maknanya memiliki arti yang agak berbeda. Bila dengan kata muktamar, memiliki makna yang dekat dengan keharusan mengandung di dalamnya “ada pemakmuran”, yang dalam beberapa maknanya adalah pemakmuran bumi manusia dan bumi hati, melalui amal-amal kebaikan, dan sikap-sikap yang mencerminkan penyanggaan atas pemakmuran, yang dijalani oleh para pemangku risalah kenabian sebagai khaliifah fil ardhi.
Dengan kata muktamar, para peserta muktamar diandaikan sebagai orang yang sanggup menerima titah khaliifah fil ardi dengan tugas memakmurkan bumi tanah dan bumi hati, dalam lingkup kewajiban dan tugas muktamar yang dijalankan. Ini tentu saja disadari oleh para ahli tarekat, yang bergumul dengan makna-makna pemakmuran dan baitul makmur sebagai bagian integral dari ayat Al-Quran dan dan hadits-hadits Nabi Muhammad. Diandaikanlah dengan muktamar itu, akan menjadi tempat bernaung atau berjam‘iyah itu menjadi upaya ke arah implementasi akhlak Baitul Makmur, yang penuh berbagai amal kebaikan, sebagaimana Baitul Makmur ysang dikunjungi para malaikat untuk bertasbih di langit.
Dalam perhelatan pertama para ulama ahli thariqah itu, disebut dengan “kongres”, yang persangkaan baik kita, adalah bentuk tawadhu dari para ahli tarekat untuk dapat menyelenggarakan acara yang dimaksudkan, dengan makna intinya ada dalam konsep pemakmuran bumi, dengan berupaya menanamkan nilai-nilai yang disebutkan pada pembukaan “Risalah al-Mu’tamar al-Awwal”, yaitu: “alhamdulillaah alladzii amaranaa bit ta‘aaruf wal ittihaad wattarabbuth wattashawwur…watta‘aawun wattarahum/segala puji hanya milik Allah, yang telah memerintah kepada kita untuk ta‘aaruf, ittihad,tarabuth, tashawwur … (tidak jelas kata-katanya) ta‘awun, dan tarahum” (hlm. 1).
Setidak-setidaknya demikian itulah yang dipahami para ahli tarekat tentang perintah dalam diri mereka yang dicantumkan pada pembukaan “Risalah al-Mu’tamar al-Awwal”. Mereka memaknainya, sebagai rasa syukur (dengan didahului alhamdulillah) dengan memahami perintah-perintah Allah, sehingga mereka berusaha menanamkan dalam diri mereka, dengan upaya-upaya yang didasarkan pada perintah-perintah di atas, yaitu:
“(1) lit ta‘aruf, termasuk di dalam makna ini adalah saling mengenal satu sama lain (at-ta‘aaruf), yang dalam konteks Al-Qur’an pada ayat soal ta‘aruf ini, dipahami oleh sebagian ahli tafsir sebagai “la tanakura”, tidak saling bertentangan dan mempertentangkan satu sama lain untuk menegasikan satu sama lain; dan dengan ta‘aruf itulah satu sama lain saling mengambil hikmah yang baik dari adanya interaksi yang penuh hubungan baik; untuk memperkuat amal-amal yang maslahah.
(2) lil ittihaad, termasuk di dalam makna ini adalah menggalang persatuan diantara masyarakat secara umum untuk dapat mempertahankan hal-hal yang baik dan disepakati bersama, dengan tidak bertentangan dengan sumber-sumber pokok dari agama Islam; dan di kalangan para ahli tarekat adalah bersatu dalam kemandirian masing-masing organisasi tarekat untuk mencapai tujuan bersama yang dirumuskan, di antaranya adalah tujuan littarauf, lil ittihad, lit ta‘aawun, dan seterusnya.
(3) lit ta‘aawun, termasuk di dalam makna ini adalah upaya saling menggalang tolong menolong untuk mencapai tujuan-tujuan syariat di tengah masyarakat agar tercapai kemaslahatan yang diridhai Allah, yang sering disebutkan dalam Al-Quran dengan deklarasi besar baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur; dan berusaha menjadikan setiap jengkal tanah adalah bagian dari upaya mengimplementasikan akhlak Baitul Makmur, yang dipenuhi amal-amal kebaikan, yang sangat relevan dengan titah ilahi yang dipahami para ahli tarekat;
(4) lit tarahum, termasuk di dalam makna ini adalah upaya saling mengasihi satu sama lain, saling bahu membahu menyebarkan kerahmatan kepada alam dan manusia, saling berusaha satu sama lain untuk memberikan bimbingan khusus kepada manusia untuk mengenal rahmat khusus, yaitu rahmat cinta dan kedekatan; dan saling memandang alam dan manusia dengan ‘ainur rahmah, bukan dengan mata amarah.
(5) lit taraabuth, termasuk di dalam makna ini, saya memahaminya “upaya untuk saling mewujudkan ikatan batin dan lahir sebagai sesama hamba Allah yang memiliki banyak kelemahan, manusia beriman yang terus menerus diuji, satu jam‘iyah dan bangsa, dan satu titah risalah kenabian untuk senantiasa menjadi dan meningkatkan kapasitas diri sebagai khalifatullaah, melalui hidupnya hati dan jasmani; dan dari ikatan batin itulah senantiasa ada saling tolong menolong, saling mendoakan, saling merahmati, dan saling menggalang persatuan;
(6) lit tasyaawur, termasuk di dalam makna ini adalah upaya saling bermusyawarah dalam persoalan-persoalan bersama, persoalan yang melibatkan orang banyak, persoalan yang timbul di kalangan tarekat, dan persoalan-persoalan keumatan yang berhubungan dengan keahlian tarekat, dengan kejernihan mencari dan mengimplementasikan kebenaran, kebaikan, dan kemashlahatan yang diairi semangat Islam sebagai rahmat bagis semua alam;
Apa yang disebutkan dengan “perintah-perintah kepada kita” (amarana) sebagaimana dipahami dalam awal karya itu, pada dasarnya adalah bagian dari inti-inti nilai yang berasal dari perintah-perintah Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallama. Karenanya di bagian awal itu juga ditegaskan dua ayat Al-Qur’an, yang menjadi sandaran dari nilai-nilai itu, misalnya:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran [3]: 103)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga di perbatasan (negerimu), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Ali Imran [3]: 200)
Jadi, kaum tarekat selalu berpijak pada nilai-nilai Al-Qur’an dan petunjuk Kanjeng Nabi Muhammad, tidak dilupakan. Akan tetapi mereka memaknainya sesuai dengan kehidupan dan kecimpung mereka sehingga perintah-perintah yang hendak diwujudkan itu, diantaranya telah dipahami mereka berkaitan dengan litta‘aaruf, lil ittihaad, lit ta‘awun, lit tasyaawur, dan littaraahum.
Karenanya, musuh utama yang ditegaskan dan hendak disampaikan para ahli tarekat, di pembukaan awal “Risalah al-Mu’tamar al-Awwal”, yaitu iftiraaq (saling berpecah belah), tabaaghud (saling membenci), tahaasud (saling hasad/iri dengki), tanaajus (saling menyakiti), tanazuu’, dan beberapa yang lainnya lagi. Hal ini mengacu pada hadits Nabi Muhamamd shallallaahu ‘alaihi wa sallama, yang dirujuk pada awal karya ini, yaitu:
لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَتَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخوَاناً. المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَايَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسْلِمَ. كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah saling mematai, saling tanajusy (menyakiti), saling benci, saling membelakangi-mendiamkan, dan janganlah jual beli di dalam hal jual beli saudaranya (yang sudah ada aqad-nya dengan mukmin yang lain). Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara untuk Muslim lainnya. Karenanya, tidak mendzaliminya, menghinakannya, mendustainya, apalagi menghina saudaranya Muslim. Takwa itu di sini –beliau memberi isyarat pada dada beliau 3 kali. Cukuplah seseorang (dianggap) berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim No. 2564).
Tegalrejo Tempat Kongres Pertama
Bagian awal pada “Risalah al-Mu’tamar al-Awwal” itu juga disebutkan bahwa pertemuan pertama Kongres ada di Tegalrejo, tidak lain adalah di Pesantren Tregalrejo yang diasuh oleh KH Chudori Magelang, yang beliau ini memang intens terlibat dalam proses pendirian organisasi ahli tarekat di kalangan NU. Pesantren Tegalrejo ini ada di bagian selatan ujung barat jalan utama Tegalrejo-Magelang. Komplek bangunan Pesantren Tegalrejo, pada saat penelitian dilakukan oleh Bambang Pranowo (2009: 160) luasnya sekitar dua hektare. Pesantren ini juga menjadi pesantren di mana Gus Dur pernah belajar, sejak 1957. Sekitar arah 300 m ke arah selatan pesantren, terdapat makam KH Chudori Magelang yang dibicarakan di sini.
KH Chudori mendirikan pesantren Tegalrejo (kini dikenal dengan nama API: Asrama Perguruan islam) pada tahun 1944 M. Beliau berasal dari keluarga penghulu (yang bernama Ihsan) pada zaman Belanda. Kakeknya bernama Abdul Halim, juga seorang penghulu di Kabupaten Magelang. Sedangkan ibunya, bernama Ibu Mujrah, adalah anak dari Lurah Kali Tengah dekat Muntilah, bernama Ki Kartodiwiryo. Pada tahun 1918 M, KH Chudlori menyelesaikan pendidikan di HIS, kemudian nyantri ke Pesantren Payaman (diasuh KH Siraj Payaman) dengan berjalan kaki setiap sebulan sekali dari rumah untuk mengambil perbekalan, kemudian ke Pesantren Koripan (diasuh Kiai Abdan), melanjutkan ke Pesantren Grabag (diasuh Kiai Rahmat), dan kemudian pindah ke Jawa Timur, di Tebuireng Jombang (diasuh Hadhratusy Syeh Muhammad Hasyim Asy‘ari), dan pada tahun 1937 M melanjutkan ke Pesantren Bendo dan Pesantren Lasem.
Di Pesantren Bendo, Kiai Chudlori dijodohkan dengan putri dari Kiai Dalhar Watucongol. Akan tetapi ketika pindah ke Lasem pada tahun 1937, ayahnya meninggal dunia, dan karenanya, rencana pernikahannya itu ditunda sementara. Kiai Chudlori muda itu dicari-cari ke berbagai tempat tidak dapat ditemukan. Setelah kira-kira 2 tahun, Kiai Dalhar menagih janji pernikahan, dan keluarga Kiai Chudlori mencari pemuda ini. Bambang Pranowo memberi informasi bahwa (1999: 170), ternyata seorang kerabat dari Surabaya menemukan Kiai Chudlori muda sedang uzlah di makam Batu Ampar, Madura. Setelah dijemput, akhirnya pada tahun 1940 M Kiai Chudlori muda melangsungkan pernikahan dengan Siti Kunnah: suatu pernikahan yang dijodohkan oleh ayahnya, seorang putri dari KH Dalhar Watucongol.
Tidak lama setelah menikah itu, Kiai Chudlori muda tinggal di pesantren mertuanya dan ikut mengajar di sana. Baru pada tahun 1944 M Kiai Chudlori pindah ke desa asalnya, di Tegalrejo. Di tempat ini Kiai Chudlori membangun sebuah pesantren yang terus menerus berkembang. Ketika tahun 1957 pesantren ini dijadikan tempat kongres pertama kalangan ahli tarekat yang berafiliasi kepada NU, dan namanya sudah menjadi terkenal di kalangan kiai-kiai NU, khususnya di wilayah Magelang dan Jawa Tengah.
Pertemuan kongres ahli tarekat pertama itu digambarkan Bambang Pranowo dalam penelitiannya (1999: 176) begini:
“Karena kemasyhurannya ini, pesantren terpilih sebagai tempat Kongres Nasional Tarekat Mu’tabarah (asosiasi sufisme) yang diadakan pada tanggal 12-13 Oktober 1957. Ratusan pemimpin tarekat dari seluruh Indonesia ikut serta dalam kongres ini. Hasilnya, setelah kongres jumlah santri meningkat dari sekitar 500 menjadi lebih dari 1.200 orang. Pesantren Tegalrejo menjadi salah satu pesantren terbesar di antara 830 pesantren di Jawa Tengah (pada saat penelitian Bambang Pranowo dilakukan).”
Menurut penelitian Bambang Pranowo, Kiai Chudlori disebut sering tirakat, uzlah, dan melakukan banyak aktivitas di pesantren, memiliki banyak aurad, meski tidak dikenal sebagai mursyid tarekat tertentu, dan dugaan saya, mungkin juga bertarekat meski tidak diumumkan kepada publik. Dengan adanya peran Pesantren Tegalrejo dalam pembentukan organisasi tarekat di lingkungan NU ini, menunjukkan adanya hubungan yang saling mendukung antara kiai-kiai yang berafiliasi dengan tarekat tertentu (dalam pengertian ordo) dengan mereka yang mengamalkan tarekat sejenis yang dijalani KH Chudlori.
Dua Kiai yang Mendapat Sasmita/Ilham
“Risalah al-Mu’tamar al-Awwal” kemudian menjelaskan bagian “1: Sejarah Riwayat Permulaannya”. Pada bagian ini dijelaskan begini:
“Asal bukanipun wontene Kongres Alim Ulama Thariqah menika mekaten: “setunggal, wekdal panjenengane Kiai Nawawi Purworejo silaturahmi, ing dalemipun hi Masrukhan Brumbung nalika tanggal 31/12-55 kaliyan wonten urusan sanes-sanesipun, wonten ing sa‘ah pertemuan mriku tiyang kekaleh wau muqaranah pikantuk ilham ingkang sami, lajeng kawedalaken dados rerembukan ingkang asyiq sanget antawise kekalih sehingga dados wiji uluwwul himmah/timbul cita-cita, ingkang luhur bade ngawontenaken ikatan ulama ahlith thariqah. Ing dalem pertimbangan musyawarat ngriku medal pendapat-pendapat ingkang lebar panjang ngepang-ngepang kanti alasan terang, mboten mamang hingga kitha berjuang ngantos hasil”
“Asal mulanya ada Kongres Alim Ulama Tarekat itu begini: pertama, waktu yang terhormat Kiai Nawawi Berjan bersilaturahmi di rumah Kiai Masruhan Brumbung, pada tanggal 31-12-1955, dengan ada urusan yang lain-lain, pada saat pertemuan itu, dua orang itu melakukan perbandingan (karena) mendapatkan ilham yang sama, kemudian dikeluarkan menjadi perbincangan yang sangat asyik (menyentuh hati) antara keduanya, sehingga menjadi benih cita-cita yang tinggi, yang mulia, akan menyelenggarakan ikatan ulama ahli tarekat. Di dalam pertimbangan musyawarah di situ, muncul pendapat-pendapat yang panjang lebar bercabang-cabang dengan alasan yang jelas, tidak akan ragu sampai kita berjuang sampai berhasil” (hlm. 2).
Pada bagian ini disebutkan bahwa ada dua kiai yang menerima ilham tentang perlunya mendirikan ikatan ulama tarekat di lingkungan NU. Pada bagian-bagian lain atau di halaman-halaman lain, disebutkan berbagai hal yang berkaitan dengan pembentukan susunan panitia (dan lain-lain), tetapi di sini, pada permulaan pembicaraan disebutkan tentang dua kiai yang menerima ilham sama kaitannya dengan perlunya pembentukan wadah ulama tarekat. Dua kiai yang dimaksud namanya adalah KH Nawawi Berjan Purworejo dan Kiai Masruhan Brumbung, Demak.
Tentang yang pertama, biografi Kiai Nawawi Berjan telah ditulis oleh HR. Mahsun Zain berjudul Mengenal K.H. Nawawi Berjan Purworejo: Tokoh di Balik Berdirinya Jam'iyyah Ahli Thariqah al-Mu'tabarah (Surabaya: Khalista, 2008), dan juga dalam situs annawawiberjan.or.id (13 Januari 2018) . Dari dua sumber ini, Kiai Nawawi Purworejo disebut sebagai mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berbasiskan di Pesantren Berjan, Purworejo. Beliau disebut pernah nyantri di Watucongol Magelang, Krapyak Yogyakarta, Lasem Rembang, Tremas Pacitan, Jampes Kediri, Tebuireng Jombang, dan Lirboyo Kediri.
Kiai Nawawi ini ini disebut masih memiliki silsilah dari keturunan Sultan Agung di Mataram Islam, yaitu: KH Nawawi Berjan, putra dari KH Shiddiq Berjan, putra dari KH Zarkasyi Berjan, putra dari KH Asnawi Tempel, putra dari KH Nur Iman Tempel, putra dari Kiai Burhan Joho, putra dari Kiai Suratman Pacalan, putra dari Jindi Amoh Plak Jurang, putra dari Ky. Dalujah Wunut, putra dari Gusti Oro Oro Wunut, putra dari Gusti Untung Suropati, putra dari Sinuwun Sayyid Tegal Arum, putra dari Sultan Agung Hanyokrokusomo. Setelah itu disebut Sultan Agung putra Panembahan Senapati. Untuk bagian yang terakhir ini terdapat kekeliruan, karena berdasarkan Sedjarah Dalem, Babad Nitik, dan sumber lain, disebutkan bahwa Sultan Agung adalah anak dari Panembahan Seda ing Krapyak, dan baru Panembahan Seda ing Krapyak anak dari Panembahan Senapati.
Dalam hal silsilah sanad tarekat, dua sumber yang disebut di atas menjelaskan bahwa beliau memperoleh dari dua jalur: KH Shiddiq Berjan (ayah) dan KH Munir Berjan (pakde); ayahnya memperoleh dari KH Zarkasy Berjan (bin Asnawi Berjan), dari Syeh Abdul Karim al-Bantani, dari Syeh Ahmad Khatib as-Sambasi. Kemursyidan tarekat KH Nawawi Berjan menurut annawawiberjan.or.id (13 Januari 2018) diteruskan oleh beberapa penerus, yaitu: (1) KH Achmad Chalwani bin KH Nawawi; (2) Tuan Guru Ali bin Abdul Wahhab al- Banjari Kuala Tungkal Jambi; (3) KH Masduqi Syarafuddin Purworejo ; (4) KH Abdurrahim Kebumen; (5) KH Zuhri Syamsuddin Wonosobo; (6) KH Nachrowi Magelang; (7) KH Baqiruddin Magelang; (8) KH Madchan Magelang; (9) KH Machfudz Magelang; (10) KH Mundasir Magelang; (11) KH Parlan Cilacap; (12) KH Ilyas Singapura KH Djazoeli Magelang.
Periode hidup KH Nawawi Berjan Purworejo, yaitu 1916-1982 M. Beliau dimakamkan di Pemakaman Keluarga Desa Bulus Gebang Purworejo. Pada saat kongres di Tegalrejo, KH Nawawi menjadi Ketua Panita.
Sedangkan nama kedua yang disebut di dalam “Risalah al-Mu’tamar al-Awwal”, sebagai tokoh yang menerima ilham untuk mendirikan jam'iyah para ahli tarekat adalah KH Masruhan Brumbungm, Demak. Beliau ini juga dikenal sebagai mursyid Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Selain dikenal sebagai kiai tarekat juga dikenal memiliki kepakaran dalam cabang-cabang keilmuan pesantren, dan menuliskan karya-karyanya. Kiai Masruhan ini lahir di Sendang Delik, Sumberejo, Kecamatan Mranggen, tahun 1921 M. Ayahnya bernama Ihsan sehingga sering disebut Kiai Masruhan Ihsan.
Sewaktu muda Kiai Masruhan nyantri di Pesantren Grobogan, melanjutkan ke Tremas, dan meneruskan tahfidz Al-Qur’an di Pesantren Betengan, Demak. Pada tahun 1949 M Kiai Masruhan kembali pulang dan dinikahkan dengan putri anak seorang kiai (sebagian sumber menyebut namanya adalah Kiai Muhdhar, dan putrinya bernama Hj. Mahsunah dari Karanganyar, Kecamatan Tugu, Semarang). Setelah membina keluarga kemudian pindah ke Brumbung, Demak sampai tahun 1956 M, dan memiliki 9 orang anak. Dan, baru pada tahun 1956 M beliau pindah ke Mraggen, Demak.
Kiai Masruhan Ihsan selain sebagai penulis produktif, juga berbait Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabadniyah bersama dengan KH Muslih Abdurrahman Mranggen, kepada KH Abdullatif al-Bantani. Ini diinformasikan Muhammad Abid Muaffan dalam jaringansantri.com (23 Mei 2023, yang mengulas tentang KH Muslih Mranggen). KH Abdullatif al-Bantani ini, disebut pula oleh Martin van Bruinessen (1996: 94-95) sebagai salah satu murid dari KH Asnawi Caringin, yang memperoleh tarekat dari Syekh Abdul Karim al-Bantani.
KH Abdul Latif disebut begini “semasa hidupnya memiliki pengaruh luas di seluruh Banten,” dan memiliki banyak wakil atau penerus dalam tarekat. Di Jawa Tengah dari sanad KH Abdul Latif ini kemudian berkembang di Mranggen, melalui tokoh bernama KH Muslim Mranggen, meskipun KH Muslim juga memiliki sanad tarekat ini dari KH Abdurrahman Menur, dari Syekh Ibrahim Brumbung. Selain itu, tentu saja, tarekat ini berkembang melalui Kiai Masruhan Brumbung, Demak. Dalam tulisan “Risalah al-Mu’tamar al-Awwal” (hlm. 16) juga disinggung nama KH Abdul Latif, disebutkan pada bagian “Muhimmah, Haadzihi Maqaalatu Syeh al-Mukarram, Abdullatif Banten… (tulisan tidak jelas) Syekh Muslih wa Masruhan, 5-1-1950” yang membicarakan aurad yang diterima. Berdasarkan data ini, mungkin pada tahun 1950 M itulah terjadinya baiat kepada KH Abdullatih Banten, atau di antara sekitar sebelum itu.
Dari adanya pertemuan pada tahun 1955 M antara KH Nawawi Berjan Purworejo dengan KH Masruhan Brumbung, sampai pada kongres ke-1 tahun 1957 M, ada waktu sekitar 1,5-2 tahun untuk berkomunikasi dengan para sesepuh tarekat di berbagai wilayah. Karenanya, menjalin komunikasi dan silaturahmi ke berbagai kantong yang terjangkau, telah dilakukan di antaranya oleh Kiai Nawawi Berjan, dan juga Kiai Masruhan Brumbung, melalui jaringan mereka berdua. Tujuannya adalah untuk meyakinkan perlunya ada wadah tarekat dari kiai-kiai tarekat yang berafiliasi kepada NU. Meski begitu, mungkin juga di daerah-daerah lain ada pemikiran yang sama di kalangan ahli tarekat, tetapi tidak masuk dalam ruang lingkup karya ini dan tidak diceritakan. [bersambung]
Nur Khalik Ridwan, warga NU, berafiliasi dengan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, dan Syathariyah
Terpopuler
1
Doa Rajab yang Dipanjatkan Rasulullah
2
Apa Itu OCCRP dan Bagaimana Mereka Memilih Orang Paling Korup Sedunia?
3
Menggabungkan Puasa Rajab dengan Qadha Ramadhan
4
Khutbah Jumat: Keistimewaan Rajab sebagai Bulan yang Dimuliakan
5
Data Hilal Penentuan Awal Bulan Rajab 1446 H
6
Khutbah Jumat: Mengawali Tahun Baru dan Rajab dengan Peningkatan Spiritual
Terkini
Lihat Semua